Yeongwonhi Saranghae, Chagiya.. – Part 1

Author : Im SangEun aka Lyra

Ni ff pertamaku, jadi mohon maaf kalo jelek dan banyak kekurangan.. *deep bowing*
Gomawo buat yang udah baca.. Kritik dan saran sangat diharapkan dari komen-komen reader..
Syukur-syukur kalo ada pujiannya.. 😀 *pedetingkattinggi.com*
huehehehehehehe.. XDDDDD
Ok, feel enjoy to read it! (^o^)
*****

(SangEun POV)
Aku menikah dengan Cho Kyuhyun karena dijodohkan orang tua.
Karenanya, aku tahu bahwa Kyuhyun tak pernah mencintaiku. Sewajarnya pula jika ia tak pernah memperhatikanku seperti seorang suami memperhatikan istrinya. Ia hanya menganggapku sebagai adiknya.
Aku telah mencintainya sejak pertama kali Appaku memperkenalkan kami di malam perjodohan itu. Namun demikian, dalam masa pernikahan kami yang tiga tahun lebih ini, dia tampaknya tak pernah menyadari perasaanku.
Yah, kami memang menikah secara resmi. Tapi orang tua kami tidak pernah tahu bahwa kami hanya berpura-pura dalam pernikahan ini. Di depan orang tua kami dan di depan public, kami memang menunjukkan kemesraan kami, sesuai kesepakatan rahasia yang kami buat berdua sebelum menyetujui pernikahan ini. Tetapi jika tiba waktunya kami berduaan, kami hanya akan bersikap layaknya Oppa dan dongsaeng. Ia bahkan belum pernah ‘menyentuhku’. Jadi sudah pasti, meskipun aku telah menikah dengannya selama tiga tahun lebih, aku masih tetap suci.
Wajar saja jika dia tidak pernah menyentuhku. Ketika dipaksa menikah denganku dulu, dia sudah memiliki Goo JiEun sebagai kekasihnya. Dan sekarang pun, setelah Goo JiEun meninggal dan kami telah cukup dekat, ia kembali menujukkan ketiadaktahuannya akan perasaanku. Secara tidak sadar ia bahkan menghancurkan hatiku, saat 4 bulan yang lalu ia memperkenalkan seorang wanita bernama Kwon HyeonJi sebagai kekasih barunya padaku. Jelas sudah, perasaanku bertepuk sebelah tangan. Cho Kyuhyun memang tidak pernah melihatku sebagai seorang wanita.
Sekalipun demikian, aku tak pernah menyesal menikah dengannya. Sebab aku mencintainya, sangat mencintainya. Setidaknya, selama ini, aku bahagia bersamanya. Meskipun ia hanya menganggapku sebagai dongsaengnya.
Namun saat ini, ketika aku duduk sendiri di dekat jendela kamarku dan menatap hujan yang turun deras di luar sana, aku meragukan tindakanku dulu, dan bertanya-tanya sendiri.
Apakah keputusan untuk menikah dengannya adalah hal yang benar?
Entahlah.
Dikepung udara dingin dan pikiran-pikiran yang melelahkan, aku menyandarkan kepalaku ke dinding kamar di dekat jendela dan memejamkan mata, berusaha rileks. Tak berapa lama, aku pun tertidur.
*****
(Kyuhyun POV)
“Aku pulang,” seruku begitu memasuki rumah.
Sejenak aku menunggu suara SangEun yang menyerukan, “ Selamat datang!”. Tetapi sambutan yang kuharapkan tetap tak ada.
Sepi.
Mungkinkah dia belum pulang? Atau mungkin ada di kamarnya? Kulepaskan jas dan dasiku, kemudian mulai naik ke lantai atas.
“SangEun-ah?” panggilku sembari mengetuk pintu kamarnya. Tak ada jawaban. Perlahan, kubuka pintu kamarnya. Benar saja. Aku menemukannya tengah tertidur, bersandar pada dinding di dekat jendela kamarnya.
Aku tersenyum kecil. Dasar gadis ceroboh, bisa-bisanya dia tertidur di dekat jendela kamar pada hari sedingin ini, tanpa berselimut pula. Bisa-bisa ia sakit nanti. Perlahan, kuangkat tubuhnya dan kutidurkan ke ranjang, kemudian kuhamparkan selimut di atas tubuh mungilnya. Sejenak, kupandang gadis yang ada di hadapanku ini.
Ah, dongsaengku memang manis.
Kusingkirkan rambut yang menutupi pelipisnya. Saat itu, kulihat cairan bening mulai keluar dari sudut mata SangEun. Tak berapa lama, tubuhnya terguncang-guncang kecil. Mungkinkah ia bermimpi buruk?
“SangEun-ah,” panggilku, mengguncang-guncangkan tubuhnya pelan untuk membangunkannya. Tak ada reaksi. “SangEun-ah, ayo bangun,” panggilku lagi. Kali ini, SangEun membuka matanya.
“Oppa,” panggilnya serak, layaknya orang yang habis bangun tidur. Ia duduk dan menatapku, masih setengah sadar. Aku tersenyum padanya.
“Maaf membangunkanmu. Tapi, aku khawatir karena tadi kau menangis dalam tidurmu. Kau bermimpi buruk, ya?” tanyaku, mengusap sisa air mata di wajahnya.
“Eh?” katanya, menatap air mata di tanganku dengan kaget. “Oh, chonmaneyo, Oppa. Nan gwenchana,” katanya, tersenyum menenangkanku.
Entah mengapa, aku menangkap ada yang berbeda pada senyumnya. Terkesan dipaksakan.
Adakah yang disembunyikannya dariku?
*****
“Tumben Oppa pulang jam segini. Biasanya kan, sekitar jam sepuluh. Ada apa?” tanyanya saat kami turun menuju ruang makan.
“Ada sesuatu yang menyebalkan terjadi, “jawabku. Aku menghela napas, teringat akan kejadian menjengkelkan di kantor tadi.
SangEun mengangkat alis, menanti kelanjutan kata-kataku.
“Sudahlah, nanti kuceritakan sambil makan,” kataku lagi.
Mendengar itu, ekspresi SangEun berubah.
“Eh, kurasa aku harus minta maaf, Oppa,” katanya salah tingkah dengan ekspresi bersalah. “Seperti yang Oppa tahu, aku ketiduran tadi. Jadi aku belum menyiapkan makanan,” lanjutnya lagi, menundukkan kepala.
“Kenapa sepertinya aku bisa membaca pikiranmu dari jarak jauh, ya?” Suara riangku membuatnya mengangkat kepala dan menatapku heran. “Entah kenapa , tiba-tiba saja tadi aku merasa ingin membeli ramyun di kedai favoritmu. Dan lagi aku membeli dua porsi, bukan hanya satu,” jelasku tersenyum, menunjuk bungkusan ramyun di atas meja makan.
Mata SangEun membulat senang melihat makanan favoritnya.
“Kalau begitu, biar kusiapkan dulu,” katanya riang, mengambil bungkusan itu dan membawanya ke dapur. Aku tertawa, geli melihat tingkahnya yang kelewat bersemangat dan kekanak-kanakan jika sudah berhadapan dengan ramyun.
Sesaat kemudian, kami sudah duduk di meja makan, siap menikmati makanan kami.
“Bagaimana harimu?” tanyaku memulai percakapan.
“Tak ada yang spesial,”jawabnya, tersenyum. “Seperti bisaa, tadi aku berangkat ke kantor dan menyelesaikan pekerjaanku. Tapi tadi aku pulang lebih awal, karena pekerjaanku selesai tepat sebelum jam makan siang,”ceritanya senang. “ Jadi, setelah makan siang bersama Donghae, aku langsung pulang,” katanya lagi.
“Donghae?” tanyaku, mengerutkan kening. Sepertinya aku belum pernah mendengar nama itu.
“Iya, Donghae,” SangEun mengangguk. “Memangnya aku belum cerita, ya?” SangEun memiringkan kepalanya lucu, memperhatikan ekspresiku yang bingung.
“Donghae itu sahabatku sejak kecil. Setelah kami lulus SMA, dia kuliah di kota lain dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Tapi tiga bulan yang lalu, dia tiba–tiba dimutasi ke cabang perusahaan kami di sini, jadi kami bertemu lagi,” jelasnya, tampak senang.
“Oh,” kataku singkat, tak tahu harus berkata apa. Entah kenapa, aku tak pernah suka membayangkan SangEun bersama pria lain. Mungkin, aku mengidap sister complex. Tahu, kan? Merasa terlalu sayang pada saudara perempuan sehingga sering bersikap kelewat protektif.
“Oppa sendiri? Apa Oppa bertemu HyeonJi Onnie hari ini?” SangEun balik bertanya.
Aku tersenyum, dan mulai menceritakan pertemuanku dengan HyeonJi hari ini. Sesekali SangEun tersenyum mendengar ceritaku, atau memberi komentar. Tapi tetap saja, ada awan mendung di matanya. Itu membuatku penasaran.
Tak bisakah ia menceritakan padaku apa yang membuatnya sedih? Padahal aku selalu bercerita segala hal padanya. Aku merasa sedikit sedih. Apakah ia tak percaya sepenuhnya padaku? Tapi tak kusuarakan pertanyaanku padanya.
Selesai makan malam, kami berdua duduk di ruang keluarga dan menonton TV bersama.
“Oh iya, Oppa belum menceritakan padaku kenapa Oppa pulang cepat,” katanya tiba-tiba. Ia mengubah posisis duduknya sehingga berhadapan denganku. “Memangnya ada kejadian menyebalkan apa, sih?” tanyanya penasaran.
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja, tadi siang aku bertemu dengan Appa,” Air mukaku keruh mengingat kejadian tadi.
“Dengan Abonim? Bukannya itu bagus? Kalian kan, sudah lama tidak bertemu.” SangEun mengerutkan alis, tak mengerti dengan kekesalanku.
“Ya, sebenarnya itu bagus. Apalagi aku juga sebenarnya merindukannya. Pertemuan itu pasti bisa sangat menyenangkan, kalau saja Appa tidak mulai mengungkit-ungkit masalah cucu,” kataku, menghela napas berat.
“Oh,” kata SangEun, memahami maksud kekesalanku. “Oppa bilang apa pada Abonim?”
“Aku hanya tersenyum saja, tak berkomentar apapun. Tapi pada akhirnya, aku tidak tahan dengan segala sindirannya dan minta diri untuk kemudian langsung pulang,” jawabku apa adanya.
SangEun terdiam, tak lama kemudian ia berkata,”Mianhae, Oppa..”
“Kenapa minta maaf?” tanyaku, mengangkat alis. “Bukan salahmu kalau kau tidak hamil-hamil. Bagaimana bisa hamil, kalau aku sebagai suamimu saja belum pernah menyentuhmu?” candaku.
“Bukan itu maksudku,” katanya, tersenyum lemah. “Maksudku, maaf karena dulu membujuk Oppa untuk berpura-pura menikah denganku. Kalau saja waktu itu kita berdua sama-sama ngotot menolaknya, pasti saat ini Oppa sudah bisa menikah dengan orang lain, dan memberikan cucu pada Abonim dan Ommonim, bukannya malah terjebak dalam pernikahan pura-pura ini bersamaku.”
“Bukan salahmu,” kataku langsung.
“Lagipula, dari awal kita merencanakan pernikahan pura-pura ini, kita berdua sudah mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya, kan? Dan kalau kupikir-pikir, aku lebih banyak mendapat keuntungan. Setidaknya, orangtuaku tidak lagi memaksaku untuk cepat-cepat menikah lagi,“ kataku, mengangkat bahu. “Hidupku lebih tenang sekarang. Jadi, aku tidak pernah menyesali pernikahan ini,” jelasku tersenyum padanya.
SangEun balas tersenyum padaku. Tak lama kemudian, terdengar suara bel pintu berdentang dari ruang depan.
“Biar aku saja,” kata SangEun, beranjak dari duduknya untuk membuka pintu. Aku mengawasi kepergiannya dengan sudut mataku.
“Donghae-ya?” kudengar pekikan kecil SangEun saat membuka pintu. Aku mengerutkan kening. Donghae? Pria yang baru saja diceritakan SangEun padaku? Penasaran, aku menyusulnya ke ruang depan.
“Siapa yang datang, SangEun-ah?” tanyaku sesampainya di ruang depan.
SangEun berbalik dan menatapku dengan mata berbinar.
“Ini Lee Donghae, Oppa,” katanya riang, memperkenalkan pria yang berdiri di hadapannya.
Lagi-lagi, aku tak suka itu. Aku tak suka ia terlihat lebih riang bersama pria lain, dibandingkan bersamaku. Aish, aku ini mikir apa, sih? Kutepis pikiran itu jauh-jauh, dan memaksakan diri tersenyum pada Lee Donghae.
“Annyeonghaseyo, joneun Lee Donghae imnida, sahabat SangEun, “ katanya, memperkenalkan diri dengan sopan sembari membungkuk kecil.
“Annyeonghaseyo, Donghae-sshi. Joneun Cho Kyuhyun imnida, suami SangEun,” kataku, balas membungkuk dan tersenyum kecil.
“Oppa,” SangEun menarik-narik lengan bajuku,” Donghae sudah tahu tentang kita. Jadi, tidak usah berpura-pura sebagai suamiku di depannya,” jelas SangEun geli.
“Jeongmal?” tanyaku kaget.
“Ne,” jawab Donghae, tertawa kecil. “Sejujurnya, aku tak habis pikir bagaimana kalian bisa memikirkan ide gila semacam pernikahan pura-pura untuk menghindari tekanan dari orangtua kalian,” komentarnya, masih geli.
“Tapi begitu aku tahu bahwa SangEun-lah yang mengusulkan rencana ini, aku tak heran lagi. Dia kan selalu punya ide untuk keluar dari masalahnya, sekalipun idenya itu aneh dan bahkan nyaris ajaib,” katanya, setengah-mengejek-setengah-memuji, dan mengacak-acak rambut SangEun pelan. Sementara, SangEun menatap Donghae cemberut dan merapikan rambutnya.
“Oh, iya Oppa,” kata SangEun, kembali menatapku,” Bolehkah aku pergi dengan Donghae?” pintanya.
Aku mengangkat alis mendengar permintaanya.
“Bukannya aku tidak memperbolehkan,” jawabku lembut. “Tapi ini sudah jam 9 malam, SangEun-ah. Tidak baik bagi seorang wanita untuk keluar malam-malam,” kataku, menunjuk jam dinding.
“Tenang saja,” SangEun tersenyum manis,” Ada Donghae yang akan menjagaku,” katanya riang. “Iya,kan?” tanyanya, tersenyum pada Donghae.
Donghae tidak menjawab, hanya balas tersenyum pada SangEun.
Aku terdiam sejenak, masih berpikir.
“Oppa,” panggil SangEun memelas, kembali menarik-narik lengan kemejaku. Tak lupa, ia memasang puppy eyes, ekspresi andalannya jika sedang merengek padaku. SangEun tahu, aku tak pernah bisa menolak keinginannya jika ia sudah memasang ekspresi seperti itu.
“Baiklah,” kataku akhirnya, luluh pada tatapan matanya.
“Kalau begitu, aku ganti baju dan ambil tas dulu, ya,” kata SangEun riang, berlari ke kamarnya. Ia meninggalkan aku dan Donghae berdua di ruang depan. Sesaat keheningan menyelimuti kami.
“Donghae-sshi,” panggilku, memulai pembicaraan.
“Panggil aku Donghae saja, Kyuhyun-sshi. Toh, aku seumuran dengan SangEun,” Ia menyelaku, tersenyum ramah.
“Kalau begitu, panggil saja aku Hyung,” Aku balas tersenyum. “Aku ingin tanya, seberapa dekat hubunganmu dengan SangEun, Donghae-ya?”
“Kenapa? Hyung ingin tahu?” tanyanya balik, tersenyum usil.
Aku mengangkat bahu,” Aku hanya penasaran. Tidak biasanya SangEun bermanja-manja pada orang lain, kecuali kalau ia sudah kenal sangat akrab dengan orang itu. Kuduga, kau punya hubungan spesial dengannya.”
“Aku hanya sahabatnya, Hyung,” katanya, mengangkat bahu. Tapi kulihat sorot matanya tampak sedih saat mengatakannya.
“Tapi kau menyukainya?” tebakku, tanpa berpikir.
Donghae hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku. Di saat itu, SangEun turun dan langsung menghampiri kami.
“Ayo berangkat, Donghae-ya!” ajaknya penuh semangat. Lagi-lagi, Donghae hanya mengangguk sembari tersenyum.
“Oppa, aku berangkat,” pamit SangEun, memelukku ringan. Aku membalas pelukannya.
“Hati-hati di jalan. Dan jangan pulang di atas jam 11 malam, oke?” pesanku.
SangEun memutar-mutar bola matanya kepadaku.
“Oppa, aku sudah 23 tahun! Masa’ masih ada jam malam segala, sih?” protesnya.
“Tidak ada protes. Pokoknya, kau harus pulang sebelum jam 11. Araseo?” kataku tegas, menepuk-nepuk kepalanya pelan.
SangEun menghela napas dengan dramatis, sebelum akhirnya mengangguk dan berkata,”Araseo.”
“Kalau begitu, aku titip SangEun, Donghae-sshi,” kataku pada Donghae.
Donghae hanya tersenyum dan mengangguk tegas.
“Dah, Oppa!” SangEun melambaikan tangan dari dalam mobil Donghae. Aku tersenyum dan balas melambai, sampai mobil yang mereka tumpangi menghilang di tikungan. Sesaat aku merasa hampa dan tidak rela.
Aish, lagi-lagi.
Kupukul-pukul kepalaku ringan, mengusir pikiran bodoh itu dari kepalaku.
*****
to be continue~~