Vanished

Aku melirik lagi ponsel di sebelahku. Diam, tanpa getar yang menandakan adanya pesan maupun panggilan yang masuk. Aku menghela nafas dan mencoba mengalihkan pandangan. Meyakinkan diri sendiri, seribu kali lebih pun aku menengok,
tidak akan membuat perubahan.

Namun, 5 menit berikutnya aku gagal. Semakin berusaha meyakinkan diri, semakin kuat godaan itu. Aku melirik ke arah ponsel itu lagi. Meskipun aku tau, keadaannya tetap sama.

Hmm.. Benar, lama-lama aku bisa menjadi gila. Menunggu sesuatu yang tidak pasti. Mengabaikan tugas rumah yang terbentang di depan mata. Ini salah, aku harus memperbaikinya.

Menguatkan tekad, aku mencabut kartu ponselku. Mematahkannya menjadi dua bagian, dan membuangnya sembarangan. Kemudian menggantinya dengan yang baru. Selesai. Aku tidak perlu harap-harap cemas lagi jika menatap ponsel itu.

**************
Kelas sudah ramai ketika aku datang. Tanpa semangat, aku meletakkan tas dan mengeluarkan beberapa buku. Kesalahan besar, pandanganku terpaku pada bangku di deretan pojok yang kosong selama beberapa bulan ini. Memori ingatanku beberapa bulan lalu seolah terputar kembali.

Ketika itu, dia menghampiriku dengan wajah sumringahnya. Gayanya sudah seperti memenangkan undian besar saja. “Aku berhasil! Aku lolos pertukaran pelajar!” teriaknya tiba-tiba.

 

Sontak perhatian penghuni kelas tertuju pada kami berdua. Aku meninju bahunya pelan. “Carilah sesuatu yang lebih logis lagi untuk berbohong.” tegurku.

Dia menggeleng, dan menyerahkan sebuah surat padaku. Aku membacanya perlahan. Senyumnya semakin lebar ketika aku selesai. “Bagaimana? Kau sudah percaya? Aku lolos pertukaran pelajar!”

Setengah hati aku mengangguk. Antara percaya dan tidak. Percaya karena memang ini buktinya. Namun mengingat kemampuan akademik serta bahasa inggrisnya yang berada di batas rata-rata, bagaimana mungkin bisa?

“Aku juga tidak percaya awalnya. Tapi anggaplah ini keberuntunganku. Bagaimana? Kapan lagi aku bisa ke Paris?” cerocosnya, mengapresiasikan kesenangannya.

Mau tidak mau ikut tersenyum. Siapa yang tidak akan senang jika pacarnya mendapatkan keberuntungan seperti ini?

“Kau mengambil progam yang mana? 1 tahun atau 2 minggu?” tanyaku.

“1 tahun.”

Deg. Perasaan tidak enak merasuki ketika mendengar jawabannya. Apa ini..?

Beberapa minggu kemudian, aku ikut mengantarnya ke bandara. “Jangan merindukanku. Aku tidak akan lama.” pesannya, membuatku ingin memukulnya.

“Satu lagi. Jangan menghubungiku duluan. Kau tidak boleh menggangguku. Hanya aku yang boleh mengganggumu.” lanjutnya. Wajahku memerah. Dasar, anak ini.

Tapi, janji hanyalah sebuah janji. Dia takkan berarti jika tidak ditepati.
Hingga 3 bulan, tidak ada kabar darinya. Tidak ada telpon maupun sms.

Berbagai spekulasi aneh mulai bermunculan di pikiranku. Salah satu yang paling ekstrim adalah bayangan bahwa dia diculik, hingga tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar. Tapi ini jelas tidak mungkin. Untuk apa anak sebesar dia diculik? Dijual untuk dijadikan penyanyi?

Atau, apa mungkin dia terlalu sibuk disana? Aku tidak memintanya bercerita panjang lebar betapa indahnya kota Paris. Cukup dengan pesan singkat ‘Aku baik-baik saja disini.’ Sesulit apakah mengambil ponselmu sekedar untuk melakukan itu?

Aku sudah mencoba menghubunginya. Tidak aktif. Aku mencoba bertanya pada Jongjin, adiknya. Dia menjawab bahwa hyung nya baik-baik saja disana. Aku bisa sedikit bernafas lega, walaupun sedikit kecewa. Hanya aku kah orang yang tidak dihubunginya?

Ada satu hal yang membuatku semakin kesal dengan keadaan ini. Datangnya murid baru di kelas kami. Awalnya terlihat baik, namun sikapnya lama-kelamaan membuatku ingin memusuhinya.

Dia termasuk dalam golongan orang yang suka pamer. Dia suka bercerita tentang negara apa saja yang pernah dikunjunginya, terutama Paris. Aku membencinya. Mendengar Paris, mengingatkanku pada Jongwoon.

Suatu hari, emosiku tidak bisa ditahan lagi. Aku mendatanginya. “Kau bilang Paris itu kota yang romantis, bukan?” aku sengaja berbasa-basi dulu.

Dia menanggapinya penuh semangat. “Ya, benar sekali. Banyak pasangan yang bersatu disana.”

 

“Kalau begitu, apa kau bisa menunjukkan padaku satu saja foto yang menggambarkan keindahannya? Kau kan sering kesana, pasti banyak menyimpan fotonya.” kataku, melakukan serangan.

Dia terdiam, pucat pasi. Lama hingga akhirnya aku berseru, “Kau pencerita yang handal. Sayangnya kau tidak berbakat untuk berbohong. Aku juga bisa bercerita sepertimu dengan panduan buku atau internet. Aku tidak perlu berbohong.”

Setelah itu, dia tidak pernah mengumbar kisahnya tentang Paris lagi di kelas.

*************
“Noona..” panggil seseorang ketika aku pulang sekolah. Aku tersenyum padanya. Jongjin.

“Hyung memintaku untuk..”

“Sstt..” aku memotong bicaranya. “Bisa tidak, jangan membicarakan hyung mu setiap kita bertemu?”

Jongjin menatapku polos. “Noona membencinya?” tanyanya.

“Menurutmu bagaimana?” jawabku, menggantung.

*****************
Aku langsung merebahkan diri ketika sampai di kamar. Badan dan pikiranku sama lelahnya.

Aku menggeliat sedikit untuk mengambil benda yang terasa mengganjal di punggungku. Sebuah boneka kura-kura dengan warna hijau mencolok. Hadiah darinya ketika aku berulang tahun. Aku mendapatkannya setelah menolak keras niatnya yang ingin membelikan kura-kura asli.

Aku memeluk boneka berukuran sedang itu. Kenapa banyak sekali hal di sekitarku yang mengingatkanku padanya?

**************
Hari ini cuaca tidak secerah biasanya. Awan mendung menutupi matahari, menghalangi sinarnya. Aku bersantai di depan rumah, membaca novel.

Aku menghentikan aktifitasku sejenak saat menyadari pagar depan rumahku dibuka seseorang. Aku ceroboh sekali. Lupa menguncinya padahal aku sendirian sekarang.

Seseorang yang menenteng sebuah koper besar kini berada di depanku. Aku mengamatinya dari sepatu, dan terhenti di pundaknya. Tidak berani menatap wajahnya.

 

“Aku kembali !” serunya, membuatku berani mendongak. Wajah dan senyumnya masih sama seperti dulu.

Hening. Aku tidak membalas perkataannya.

Dia menatapku bingung. “Kenapa diam? Kau tidak ingin menyambutku?” dia merentangkan tangannya.

“Untuk apa?” aku berkata berat.

“Satu tahun kita tidak bertemu. Kau tidak kangen denganku?” tanyanya dengan mimik tidak percaya.

“Ya, satu tahun kita tidak bertemu. Kau menghilang begitu saja, tanpa kabar. Dan sekarang kau datang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Apa mau mu?” Bila tadi aku sulit mengumpulkan kalimat yang ingin dibicarakan, sekarang tidak. Semua emosi yang ku tahan selama ini seolah keluar begitu saja.

“Kau marah padaku?” pertanyaan yang benar-benar salah darinya. Kemudian dia melanjutkan, “Aku bisa menjelaskan semuanya.”

“Aku tidak mau dibohongi.” ucapku sarkatis.

Dia mulai mencoba menjelaskan, namun aku selalu memotong kalimatnya. Dengan tenaga yang tidak seberapa, aku mendorongnya keluar. “Jangan menemuiku dulu. Bersenang-senanglah dengan temanmu yang lain. Ceritakan bagaimana indahnya Paris pada mereka.” kataku, sebelum menutup pagar tepat di depan wajahnya.

Aku masuk ke rumah, dan mengunci pintu. Mencoba melanjutkan novel yang ku baca, namun konsentrasiku seperti terpecah. Terlebih ini, kenapa air mata terus membasahi pipiku? Aku mencoba menghapusnya, maka semakin banyak dia keluar. Sepertinya dia benar-benar bisa menggambarkan perasaanku yang sedang tidak menentu.

Akhirnya aku memutuskan untuk menyalakan TV. Tayangan pertama yang ku lihat adalah laporan langsung kecelakaan lalu lintas. Aku berniat mengganti channelnya, tapi ku urungkan begitu mendengar nama korban di sebutkan. Itu..namanya.

Tidak, tidak mungkin itu dia. Baru saja dia pulang dari rumahku. Dia pasti sedang di jalan dengan selamat. Aku mencoba menenangkan diri sendiri.

Namun, sebuah koper yang ikut tersorot kamera membuat jantungku berpacu cepat. Aku membuka pintu dan memeriksa keadaan di luar pagar. Memanggil namanya, berharap dia masih berada disana. Tapi nihil.

Perasaanku semakin tidak enak. Entah apa yang merasuki, aku berlari secepatnya menuju rumah sakit yang disebutkan dalam berita itu. Aku harus memastikan, itu bukan dia.

Tepat di tikungan, aku menabrak seseorang. Selain karena jalan yang licin akibat hujan, tenagaku juga sepertinya melemah.

“Min Gi, apa yang kau lakukan? Berlari di tengah hujan seperti ini, kau mau kemana?” tanya orang itu. Secepatnya aku mendongak. Itu dia..

Aku mengucek mata. Takut itu hanya halusinasiku. Takut jika aku membuka mata kembali, dia sudah menghilang.

 

“Kenapa diam saja?” tanyanya gemas. Dia membantuku berdiri dan mengajakku berteduh di salah satu cafe tak jauh dari sini. Sementara aku menatapnya seolah tanpa berkedip.

Dia melepaskan jaketnya, dan memakaikannya padaku. “Jelaskan, apa yang kau lakukan tadi? Kau bisa sakit berkeliaran di bawah hujan seperti ini.” ucapnya.

“Aku tidak tau. Aku melihat berita, kau kecelakaan. Tapi tiba-tiba kau muncul di depanku. Aku bingung.” aku menjelaskan tanpa jeda.

“Aku kecelakaan? Tidak. Lihat, aku ada di depanmu. Baik-baik saja.” dia mencoba menenangkanku.

“Tapi aku tidak tau, kau yang di depanku ini nyata atau bukan. Aku bingung.” tangisku pecah kembali.

Dia menggenggam tanganku erat. Matanya menatapku. “Aku nyata. Lihat, aku bisa menyentuhmu.” ucapnya.

Aku masih menggeleng. Air mataku semakin deras saja.

“Sstt..” dia mencoba menenangkanku lagi. “Coba kau ingat-ingat nama korban kecelakaan itu. Apa benar Kim Jongwoon? Jika iya, apa mungkin hanya aku pemilik nama itu di kota ini?”

Aku mencoba mengingat tayangan berita itu. Nama korbannya Kim Jongwon. Astaga, Kim Jongwon dengan satu ‘o’ . Bukan Kim Jongwoon.

Aku menarik tanganku untuk menutupi wajah. Rasanya malu sekali. Tapi bagaimana lagi, perasaanku benar-benar tidak enak saat itu. Mengacaukan pikiranku.

Dia tertawa. “Tadi kau menangis sendiri, membuatku cemas. Sekarang malu sendiri juga. Apa mau mu?” dia menirukan gaya bicaraku.

Aku memukulnya. Dia membuatku bertambah malu.

“Sekarang jujur padaku. Kau marah padaku karena tidak menghubungimu?” tanyanya. Aku membuang muka. Dia melanjutkan, “Terserah kau mau mendengarkan atau tidak. Aku akan tetap menjelaskannya.”

Diam-diam aku menajamkan pendengaran.

“Kesialan menimpaku pada hari pertamaku di Paris. Tasku tertukar dengan seseorang ketika di bandara. Padahal isinya ada begitu penting, termasuk juga ponselku. Selama beberapa minggu aku terpaksa repot mengurusnya.”

“Di rumah yang sudah di sediakan untukku, memang ada telpon. Namun aku hanya bisa menelpon keluargaku. Aku lupa nomor ponselmu.” dia terkekeh.

Aku mendelik. Lain kali aku akan memaksanya menghapal.

“Aku meminta Jongjin untuk mencari nomormu. Tapi kau selalu menghindar darinya. Akhirnya, dia mendapatkannya dari salah satu teman kita.”

“Tapi kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi? Kau mengganti nomormu?”

Aku mengangguk pelan. “Aku kan tidak suka menunggu kau menghubungiku. Sedangkan kenyataannya kau tidak menghubungiku sama sekali.”

Dia menatapku gemas dan mencubit pipiku. “Keputusan yang salah! Seandainya kau tidak mengganti nomor, aku bisa menghubungimu saat itu juga.

Aku menunduk dan mengelus pipiku yang sedikit memerah. “Aku kan tidak tau. Aku pikir kau sudah lupa padaku.” kataku pelan.

“Kalau aku sudah melupakanmu, kenapa aku mau langsung pergi ke rumahmu dari bandara?” tanyanya. Dia menunduk, matanya mencari mataku.

Aku mendorongnya menjauh. Tanganku menutupi wajah kembali. Rasa malu ku berlipat ganda dari sebelumnya.

“Aku benar-benar minta maaf. Aku membuat kesalahpahaman disini.” katanya lagi.

Aku menatapnya. “Aku juga minta maaf. Sikapku terlalu kekanak-kanakan. Maaf.”

Dia meraih tanganku dan menjabatnya. “Kita damai?” tanyanya. Aku mengangguk dan mengguncang tangan kami sekali.

Dia mengerling padaku. “Kau setia sekali ya padaku. Padahal kita setahun tanpa komunikasi sama sekali. Seperti seorang istri yang menunggu suaminya pulang bekerja dari kota lain.”

Aku membelalak. “Jangan mengatakan sesuatu yang aneh.”

THE END

maaf ya kalau aneh+ pendek. Kalau bingung, tanya aja ^^