Eternal Sunshine for Fiona: How I Met You, Not Your Mother [1/?]

eternal-sunshine-primrose-deen

Author: Primrose Deen

Title: Eternal Sunshine for Fiona: How I Met You, Not Your Mother

Cast: Cho Kyuhyun, Fiona Hutcherson

Genre: Romance, Angst

Rating: Teenager

Length: Chapter

P.s. Akhirnya liburan semester 4 datang juga T_T maaf karena sudah menghilang cukup lama. Sebenarnya cerita ini sudah saya tulis di liburan semester lalu, tapi perlu banyak perbaikan. Kritik dan saran yang membangun selalu ditunggu. Happy reading, people!

***

Ini bukanlah pertemuan indah di bawah hangatnya sinar mentari dan guguran cherry blossom di musim semi. Ini hanyalah pertemuan sederhana yang telah diatur sedemikian rupa oleh semesta di bawah hamparan langit malam. Dialah yang nantinya akan membawaku pada matahari.

***

Matahari sudah bersembunyi sejak lebih dari tiga puluh menit yang lalu.

Senja telah menyimpan semburat jingganya di balik jubah gelap milik sang malam yang dengan gagah menangkup langit Melbourne. Tanda-tanda ini telah menjadi semacam alarm untukku sebagai tanda bahwa jam kerjaku hampir tiba. Walaupun masih beberapa jam lagi, namun malam ini sebelum pergi ke tempatku bekerja, aku memang berencana untuk mampir ke suatu tempat.

Melbourne memasuki musim panas. Walaupun Melbourne cukup terkenal dengan cuacanya yang sering berubah-ubah, tapi hari ini Melbourne setia dengan status musim panasnya; matahari terik yang membuat keringat bercucuran meskipun hanya duduk dan tak melakukan apa pun. Dengan demikian, sebelum matahari terbenam, aku harus puas dengan menunggu di dalam rumah sembari mendengarkan lagu favoritku yang kuputar dalam mode repeat.

Petang ini aku hanya mengenakan kaus oblong putih dengan cardigan abu-abu tipis yang kupadukan dengan celana jeans belel kesayanganku. Kusampirkan tasku di pundak dengan sembarangan, lalu bergegas menuruni tangga.

Seorang wanita cantik berusia empat puluhan berwajah oriental melirikku sekilas dari bawah tanpa menghentikan aktivitasnya menata piring-piring berisi menu makan malam di atas meja ruang makan. Bersamaan dengan lirikan wanita yang tak lain adalah ibuku, seorang pria yang wajahnya kebarat-baratan, yang berusia sekitar lima tahun lebih tua daripada ibu―yaitu ayahku―ikut melirikku sekilas dari balik kaca mata frameless-nya.

“Sudah mau berangkat, Fi?”

“Iya, Mom. Aku ingin berjalan-jalan sebentar sebelum ke tempat kerja.” Aku menjawab sembari menyambar piring yang telah disiapkan Mom, lalu kulanjutkan dengan mengambil nasi dan lauk yang masih mengepul¾baru saja matang.

“Perlu Dad antar?” Kali ini Dad ikut bertanya setelah meletakkan gelas airnya yang telah kosong.

“Tidak perlu, Dad. Dad lupa, ya, kalau Fi ini sudah berumur dua puluh lima tahun? Sudah besar, Dad. Wonder woman-nya Dad, nih.” Aku menepuk-nepuk dadaku, menunjukkan bahwa aku benar-benar kuat seperti layaknya tokoh heroik.

Dad mengendikkan bahunya sambil membalas,”Ya, siapa tahu kalau wonder woman-nya Dad ini menjadi manja secara tiba-tiba seperti kemarin?”

Tawa kami bertiga berderai memenuhi seluruh ruang makan yang sedikit remang-remang.

Memang benar bahwa kemarin tiba-tiba aku menjadi agak manja; merengek-rengek minta disuapi makan malam oleh Mom, lalu diantar ke tempat kerja oleh Dad. Kemarin aku sedang tidak ingin sendiri. Berbeda dengan hari ini, aku perlu banyak waktu untuk menghabiskannya sendirian.

“Pastikan kau sudah kembali ke rumah sebelum pukul empat pagi. Mengerti?” ujar Dad saat mengantarku sampai ke depan rumah.

“Jika ingin dijemput, langsung telepon saja.” Mom menambahkan tanpa jeda sedikit pun dari kata-kata Dad.

Aku terbahak. “Aku khawatir jika Mom dan Dad justru yang tidak mengangkat teleponku karena tidur terlalu pulas.” Kuambil setarik napas. “Tidak usah khawatir.”

Karena sebenarnya, malam hari tidaklah semenakutkan itu.

***

Aku mampir ke sebuah restoran masakan korea yang tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja. Ketika pintu restoran kubuka, aroma khas galbi yang baru saja dicelupkan dalam minyak wijen menyeruak bercampur dengan bumbu-bumbu masakan lainnya. Itu, dan terdengar bunyi desisan ketika daging-daging tersebut diletakkan di atas pemanggang. Seorang pegawai menyapaku dengan ramah dalam bahasa Korea dan menawarkan aku sebuah meja yang masih kosong. Aku tidak mendapat tempat duduk di dekat jendela yang tembus pandang dari luar seperti biasanya, namun aku mendapatkan meja yang berada tepat di sebelahnya.

Meja yang biasa kutempati itu sedang ditempati oleh orang lain. Seorang laki-laki berkaus oblong lengan panjang berwarna biru tua dengan garis-garis putih horizontal dan topi berwarna senada. Dia sendirian saja dengan beberapa piring yang telah kosong di depannya―sepertinya dia sudah selesai makan. Aku berhenti memperhatikannya ketika ddeokbokki dan patbingsu pesananku telah tiba.

Sebelum melahap ddeokbokki yang telah melambai-lambai di depanku, aku menghirup aromanya dalam-dalam. Saus pedasnya menggoda indra penciumanku, membuatku tidak sabar ingin segera mengunyahnya dalam mulutku lalu menyalurkannya ke kerongkonganku.

Ketika ddeokbokki itu kurang beberapa sentimeter dari mulutku yang sudah menganga, suara yang berasal dari meja sebelahku menginterupsi. “Pardon,” ujarnya. Kini aku bisa melihat wajahnya dengan sedikit lebih jelas. Wajahnya oriental, matanya agak lebar, dan hidungnya runcing.

Yes?” Aku menatapnya sedikit tidak sabar. Kelenjar salivaku tak memberi kompensasi sedikit pun sehingga setetes air liurku pun tak dapat tertahan untuk keluar dari mulut.

Dan dia justru hanya bergeming menatap apa yang baru saja terjadi, seakan-akan itu adalah pertunjukan yang membuatnya benar-benar shocked.

Aku ingin berteriak, menusuk kedua bola mata laki-laki ini dengan sumpitku agar dia tak bisa melihatku lagi. Aku merutuki diriku sendiri. Aku benar-benar malu!

“Maaf mengganggumu.”

Aku mengembuskan napas cukup keras. Cukup keras hingga membuat laki-laki itu mengerti bahwa dia harus segera mengatakan maksudnya di balik interupsi yang memisahkanku dengan ddeokbokki kesayanganku ini.

“Apa kau tahu kantor radio yang ada di sekitar sini? Kudengar kantor radio itu cukup terkenal di Melbourne dan jika aku bertanya pada seseorang, mereka akan tahu lokasinya.”

“SBS Radio?”

“Ah, iya, benar. Apa kau bisa memberi tahu aku jalan menuju ke sana?”

“Bisa menungguku hingga selesai makan? Setelah makan, aku juga akan pergi ke SBS Radio. Kebetulan, aku bekerja di sana.”

Dia melirik jam tangannya, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu, hingga akhirnya ia pun mengiyakan.

Tidak sampai tiga puluh menit, aku sudah selesai menghabiskan seluruh makananku tadi. Aku makan dengan sangat lahap tadi, karena tiba-tiba aku rindu masakan korea. Dulu, aku lahir dan tinggal sekeluarga di Korea hingga usiaku menginjak sepuluh tahun. Setelah itu, kami pindah ke Melbourne karena Dad dipindahtugaskan lagi di sini (seperti sebelum bertemu Mom). Dad yang merupakan keturunan asli orang Australia mengaku bahwa lidahnya tidak cocok dengan masakan korea. Mau tidak mau, Mom yang merupakan orang Korea harus dapat menyesuaikan kebiasaan suaminya. Jadilah setiba di Melbourne ini aku sudah sangat jarang menyantap masakan korea. Sampai usiaku yang sudah menginjak dua puluh lima tahun ini, aku masih juga belum merasakan bagaimana rasanya minum soju. Aku tahu bahwa itu sedikit payah, tapi aku selalu mengobati perasaan “kosong” itu dengan minum bir. Walau tak sekeras soju, tapi setidaknya….

“Kurasa siarannya hampir mulai.” Laki-laki tadi menginterupsiku lagi.

“Kau DJ baru di sana? Atau pegawai baru?” Aku menyahutnya dengan nada agak tinggi. Sejak awal aku sudah merasa bahwa laki-laki ini akan mengganggu quality time-ku. “Jika yang kau maksud adalah siaran musik tengah malam, kita masih punya waktu tiga puluh menit.

“Tapi aku perlu menyiapkan….”

“Baiklah, baiklah. Aku akan membayar makananku dulu, setelah itu kita langsung ke sana. Oke?”

Aku mengutuknya dalam setiap langkah beratku menuju kasir.

“Kenapa sangat terburu-buru? Ini hari pertamamu bekerja?” Aku berjalan beriringan di trotoar bersama laki-laki tadi.

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia justru terkekeh pelan.

Kusambut kekehannya dengan kerutan kening yang mewakili tanda tanya besar dalam benakku. Kenapa dia malah tertawa?

“Kurasa aku tidak bisa menjawabnya sebelum sampai di sana.”

Astaga, kenapa dia bersikap sok begitu misterius? Ini benar-benar menggelikan.

Sesampainya di tempatku bekerja, dia masih menolak untuk menuntaskan rasa penasaranku sebelum tiba di ruangan yang dia tuju. Dia mengatakan bahwa dia akan menuju ke ruangan yang herannya, adalah ruangan yang sama untuk tempatku siaran.

Aku bekerja sebagai freelancer siaran musik yang mengudara tengah malam. Jika dihitung-hitung, aku sudah bekerja di sini hampir dua tahun. Aku mendapat pekerjaan ini ketika mendengar pengumuman lowongan saat aku menyetel radio ini. Sebelumnya, aku juga pendengar setia acara musik tengah malam di radio ini. Jadi sedikit banyak, aku tahu bagaimana cara berbasa-basi, menyapa dan merespons pendengar, merangkai kata demi kata agar tidak terdengar membosankan. Kudengar, acara musik yang kubawakan menjadi salah satu acara siaran favorit walaupun pemutarannya adalah saat tengah malam. Pendengar-pendengarku mengatakan bahwa mereka sangat menyukai cara penyampaianku yang mampu membuat mereka tetap terjaga di jam-jam kritis ketika kantuk menyerang.

Saat pintu ruang siaranku kubuka, hampir semua orang yang ada di ruangan berdiri bersamaan dengan memasang senyum lebar yang sangat ramah dan… manis.

“Cho Kyuhyun!” sapa mereka hampir bersamaan.

Siapa barusan? Cho Kyuhyun?

Welcome to SBS Radio. Welcome to Melbourne, talented singer Cho Kyuhyun.” Produserku menyambut dengan begitu hangat lalu menjabat tangan laki-laki bernama Cho Kyuhyun tadi.

Tunggu, aku perlu menata pikiranku.

Kyuhyun adalah tamu kami malam ini. Aku tidak tahu banyak tentang dia―termasuk wajahnya―kecuali yang aku baca pada bahan siaran yang diberikan oleh penulis skrip. Dia adalah penyanyi solo yang berasal dari tanah kelahiranku. Oh astaga, lebih gilanya lagi, aku tak mengenalinya sama sekali. Bahkan sikapku tadi….

Pardon,” dia menyentuh pundakku. “Apa aku masih perlu menjawab pertanyaanmu tadi?”

Aku membalikkan badanku tanpa berani menatapnya. “Maaf, maafkan aku.” Aku membungkukkan tubuhku berkali-kali.

Dia tersenyum. Itulah pertama kalinya aku melihat senyum senyaris-sempurna itu; kedua sisi bibir tertarik secara simetris, ujung bibirnya berbentuk seperti ujung anak panah, dan dari senyum itu tampak gigi-gigi yang rapi. Senyumnya yang begitu hangat, seakan sangat meyakinkanku bahwa kejadian tadi benar-benar tidak masalah untuknya. Senyum yang memancarkan ketulusan dan sangat bersahabat di saat yang bersamaan.

Tapi, aku benar-benar ingin mengganti wajahku detik ini juga.

***

Kyuhyun datang ke Melbourne setelah mendapat undangan untuk menjadi guest di acara siaran radio kami. Ia baru saja selesai mengadakan acara fanmeeting and fansigning di Sydney. Ide untuk megundangnya sebagai guest star muncul dari salah satu anggota creative team yang notabene adalah fans berat Kyuhyun. Karena tingkat kepopuleran acara radio kami yang perlu dipertahankan, apalagi ditingkatkan, kami semua―kecuali aku yang tidak tahu siapa itu Kyuhyun―menyetujuinya.

“Melbourne adalah kota yang sangat rapi dan indah. Setiap sudut kotanya menawarkan kenangan-kenangan yang tak akan terlupakan. Sayang sekali, aku tidak bisa berlama-lama untuk berada di sini,” jawabnya dengan sangat lancar saat kutanyai pendapatnya mengenai Melbourne. “Kuharap aku bisa datang lagi ke sini dan banyak membuat kenangan baru.”

“Kuharap juga demikian. Di waktu yang akan datang, berkunjunglah lagi ke Melbourne dan menyapa penggemar-penggemarmu di sini.”

“Tentu saja.”

“Cho Kyuhyun-ssi, karena kau sudah sampai di sini, apakah kau memiliki sesuatu untuk para penggemarmu yang sedang tidak beranjak sesentimeter pun dari depan radio?”

“Ya, tentu saja. Aku akan menyanyikan salah satu lagu dari albumku yang baru saja rilis beberapa waktu lalu dalam dua bahasa; bahasa Korea dan bahasa Inggris. Sekarang, aku akan menyanyikan versi bahasa Inggrisnya agar semua penggemarku yang ada di Australia, terutama di Melbourne, bisa ikut memaknai lagunya.”

Kemudian Kyuhyun berdiri di balik standing mic yang telah disiapkan. Dengan headphone yang masih melingkari kepalanya, Kyuhyun mengacungkan ibu jarinya, memberi tanda bahwa ia telah siap.”

“Para pendengar, ini dia lagu Eternal Sunshine oleh Cho Kyuhyun!”

“I have so many thoughts

After you left, every little chance I get, it’s about you

Wanting to forget you and wanting to hold onto you

My heart gets mixed up and fights

Today is like yesterday and tomorrow

Like I’m floating along like a small piece of dust….”

Aku mendengarkan setiap tarikan napasnya yang menghasilkan nada merdu dari pita suaranya. Tak hanya menyanyikannya dengan biasa, Kyuhyun tampak begitu menghayati setiap arti yang tersirat dalam lagu tersebut. Membuat semua orang ikut merasakan apa yang ingin ia sampaikan melalui lagunya. Kuakui, dia sangat pantas mendapat banyak penggemar. Suaranya lembut, bersemangat, dan sedih di saat-saat tertentu. Merangkul dan menyayat hati secara bersamaan layaknya antara harapan yang akan segera terpenuhi dan mimpi yang tak terwujud. Semuanya menyatu dalam satu tarikan napasnya.

“I try hating you

Looking for the reason we had to break up

Then my heart sinks

When I find myself not having forgotten anything

Another day passes like this

If I had a way to erase my memory, what would I do?”

“Sayang sekali, kita telah tiba di penghujung acara. Apa ada yang ingin kau sampaikan, Cho Kyuhyun? Mungkin untuk para penggemar setiamu atau orang-orang yang telah kau temui selama di Australia?”

“Ini benar-benar pengalaman yang sangat menakjubkan untuk dapat bertemu banyak penggemarku yang terus-menerus memberikan dukungan dan rasa cintanya padaku. Tak satu hari pun di tanah Australia ini terlewati tanpa kenangan yang indah. Terima kasih. Aku berjanji akan bekerja lebih keras lagi. Mohon untuk dukungan kalian.” Kyuhyun terdiam sejenak, lalu melanjutkan,“Aku bertemu banyak orang selama di sini. Dan semua orang di sini cukup unik, namun aku tahu mereka baik.” Aku bisa merasakan tatapan Kyuhyun yang meluncur ke arahku. Sial, aku teringat kejadian di restoran Korea tadi. “Kuharap aku bisa bertemu lagi dengan mereka dan memiliki waktu untuk berbincang-bincang lebih lama. Terima kasih.”

“Ya, itulah kata-kata yang sangat tulus dan manis dari Cho Kyuhyun. Semoga karirmu semakin sukses dan kau akan datang ke Australia lagi dengan konser tunggalmu.”

“Terima kasih.” Kyuhyun tersenyum.

“Para pendengar setia Midnight Dynomite, itulah bincang-bincah kita malam ini bersama talented singer Cho Kyuhyun. Kuharap kalian menikmatinya dan bisa tidur dengan nyenyak malam ini. Sampai jumpa besok!”

Tepuk tangan riuh memenuhi ruang siaran. Seketika, Kyuhyun pun berdiri dan membungkukkan badannya hampir ke segala arah sembari mengucapkan terima kasih secara berulang-ulang. So far, my impression about him is he is a humble person. Interesting.

At Gwanghwamun, lagu Kyuhyun, menjadi lagu terakhir sebagai penutup siaran dini hari ini. Jam dinding yang tergantung sedikit miring di dinding dekat pendingin ruangan menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul dua pagi. Setelah selesai foto bersama, para kru mulai membereskan segala peralatan dan kertas-kertas yang berserakan di atas meja agar dapat segera pulang. Office boy pun mengambil kembali cangkir-cangkir kopi yang tadi dipesan langsung oleh produser. Kyuhyun masih berbincang-bincang sedikit dengan produser.

Aku yang masih stuck di tempat dudukku sejak tadi belum melakukan apa pun. Kertas-kertas masih berserakan di depanku, dan sekarang aku justru menumpunya dengan tangan, kepala, dan separuh badanku. Kenapa hari berganti begitu cepat?

“Kenapa belum bersiap-siap pulang?” Pertanyaan dalam bahasa Korea itu terdengar dari laki-laki yang malam ini mulai kuketahui aspek-aspek dalam kehidupan karirnya, walau hanya sebatas dari wawancara yang kulakukan tadi.

Aku mengangkat tubuhku dan menyerangnya dengan tatapan heran. “Dari mana kau tahu jika aku bisa berbahasa Korea?”

“Entahlah. Hanya menerka-nerka dari caramu memanggilku dengan akhiran -ssi.”

Aku hampir saja tertawa sangat keras jika produser tidak menatapku dengan tatapan jaga-sikapmu-di-depannya. Dia… Kyuhyun ini, sedikit konyol.

“Apakah hanya orang yang bisa bahasa Korea saja yang bisa memanggilmu dengan akhiran -ssi?”

Aku sangat percaya diri saat mengatakan ini.

“Memang tidak. Tapi sebenarnya kau memang bisa kan?” Ia menyeringai, tak mau kalah.

“Yah… begitulah.”

“Orang Korea?”

“Ibuku orang Korea. Ayahku orang Australia. Tapi wajahku kan mewarisi ayahku. Bagaimana kau menebak bahwa aku orang Korea?”

“Caramu makan ddeokbokki sangat mirip dengan anak-anak sekolah di Korea pada umumnya.” Tawanya berderai.

Dan… bayangan tentang air liurku yang menetes tanpa permisi itu langsung menghantuiku lagi. Ah, apa laki-laki ini ingin mempermainkanku agar aku terlihat semakin bodoh?

“Kau unik.”

“Apa?”

It’s nice to meet a kind of person like you.” Kyuhyun berdiri dan mengambil jaket topinya.

Saat membuka pintu ruangan, ia terhenti sejenak dan memutar sebagian tubuhnya. “See you.

***

TO BE CONTINUED

***

You can find my other fanfics on:

http://primrosedeen.wordpress.com

7 Comments (+add yours?)

  1. Alice
    Sep 17, 2015 @ 17:51:56

    Ini keren! Ceritanya bikin penasaran!!
    Apa ya, yang trjadi selanjutnya? 😀
    Next chapter thorrr

    Reply

  2. ranakim9387
    Sep 17, 2015 @ 21:01:44

    Cool bgt!! Suka sm gaya bahasanya… Jgn keberatan kalo aku mampir blogmu yah thor 😁😁

    Reply

  3. Queen
    Sep 18, 2015 @ 20:20:28

    EYDnya rapiiiiiiii
    suka gaya bahasanya!

    Reply

  4. Laili
    Sep 20, 2015 @ 00:57:22

    wah… keren.. rapih jdi enak dibaca. bahasanya mudah dpahami. keep writing, thor

    Reply

  5. minkijaeteuk
    Nov 17, 2015 @ 05:24:47

    bikin penasaran alur cerita y bagaimana nanti….
    mereka ketemu di luar negri…
    lanjut…

    Reply

  6. autumnkim
    Dec 08, 2015 @ 20:17:48

    Ayayaya~~~ sweetness cho! ^^

    Reply

  7. choanhis13
    Dec 26, 2015 @ 13:22:34

    Reader baru.. 🙂 annyeong..
    Keren! Duhh kok jadi anti ama “kau unik” . :v “soalanya sering dikatain unik” *edisicurcol
    Ak panggil eonni aja ya.. Salken. 🙂

    Reply

Leave a reply to Laili Cancel reply