This Pain

this-pain-henry_e589afe69cac

THIS PAIN

Oneshot FF

Author : Nita Henny

Casts : Henry Lau– Cho Kyuhyun

Supporting Casts : GOT7 Jaebum –Park Jung Soo (Leeteuk)

Genre : Family – Brothership – Friendship

Rating : PG-13

Note :

Well, ff ini udah kupublish di blog-ku, tapi karena aku masih setia sama sujuff, jadinya coba lagi aku kirim ke sini ^^. Maaf kalo stoy-nya rada aneh dan umum banget.

Happy Reading~

==============================

*

*

*

 

Bagaimana rasanya bila kau kehilangan sebuah harapan di tengah jalan?

Harapan yang kau bangun susah payah, hancur berantakan begitu saja.

Sakit, bukan?

Ini tidak hanya sekedar tersandung batu dan tersungkur ketika kau berlari.

Ini lebih seperti…. kau tidak pernah bisa bangun lagi setelah tersungkur.

Entah itu karena kau sudah tak memiliki kekuatan untuk berdiri ataupun…. kau sendiri yang tidak ingin berdiri kembali.

Rasa sakit yang kurasakan…. semacam itulah.

Itupun bila kau bisa merasakannya.

 

———oOo——–

Suara sorak sorai ratusan orang yang memenuhi tribun penonton di sebuah stadion olahraga terdengar begitu memekakkan telinga, tapi masih bisa membuat bulu kuduk merinding. Begitu riuh, semangat dan mampu menggetarkan siapapun. Tak ada satupun dari penonton tersebut yang tak berteriak. Mereka seakan mengeluarkan semua tenaga mereka untuk berteriak memberikan dukungan bagi para peserta lomba lari yang sedang berjuang di lapangan bawah sana. Semua nama dari para peserta diteriakkan oleh pendukung mereka.

Tidak.

Itu salah.

Tidak semua orang yang duduk di tribun penonton bersorak-sorai menghiasi udara kosong yang ada di stadion itu dengan suara-suara mereka. Ada satu orang yang tampak terdiam di tempatnya. Tak mengangkat tangan seperti yang dilakukan orang-orang di sampingnya. Tak berteriak dan bernyanyi lagu-lagu penyemangat seperti yang dilakukan orang-orang di sampingnya. Tak ada yang ia lakukan selain duduk di sana, dengan sepasang mata yang mengikuti gerak lari para peserta di bawah sana yang berlomba-lomba mencapai garis finish. Wajahnya begitu datar. Sama sekali tak ada raut wajah tegang karena lomba lari yang sedang disaksikannya itu tampak sengit, ataupun raut wajah senang karena beberapa dari peserta lomba tersebut adalah orang-orang yang dikenalnya.

Rambut coklatnya bergerak lemas dimainkan angin pagi yang cukup segar mengingat keadaan di stadion pagi ini begitu panas karena dipenuhi banyak orang. Akan tetapi, ia sama sekali tak bisa merasakan angin segar tersebut. Seakan ia tak bisa merasakan apa-apa.

Sejenak kemudian ia beranjak dari tempatnya setelah mendengar suara teriakan yang lebih kencang dari sebelumnya. Perlombaan telah usai. Pemenang dari lomba lari hari ini sudah didapat. Peserta nomor 08 mendapat pelukan dan ucapan selamat dari peserta lain. Sebagian penonton meneriaki namanya selama beberapa detik sebelum kembali bersorak.

“Yaa, kau mau ke mana?”

Seorang pemuda seusianya bertanya padanya. Namun, ia hanya melihat sekilas pemuda tersebut sebelum kembali melanjutkan langkah kakinya keluar stadion. Terus berjalan. Berjalan. Dan berjalan hingga ia sampai di depan gerbang sekolahnya.

 

Sekolah Olahraga Seung Ri.

 

Ia hanya memandang nama sekolahnya sekilas sebelum melangkah lagi ke arah gedung asrama yang ada di sisi kanan bangunan sekolah tersebut. Matanya tak sengaja melihat sebuah kertas pengumuman di pintu masuk asrama tentang lomba lari antar sekolah yang diadakan pagi tadi di stadion. Dihelanya napas panjang dan berjalan memasuki gedung.

 

Kamar 114 : Henry – Im Jaebum

 

Untuk beberapa detik ia hanya memandang pintu kamar asramanya. Matanya tertuju pada nama teman sekamarnya yang pagi ini kembali memenangkan lomba lari antar sekolah untuk yang ke-tiga kalinya. Meski samar, tersirat rasa iri di dalam benaknya ketika membaca nama temannya, Im Jaebum. Akan tetapi, dengan cepat ia mengembalikan “kesadarannya”.

Sesaat setelah masuk ke dalam kamar asramanya, ia tak lantas menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur seperti yang biasa ia lakukan. Jemarinya menyusuri sederet piala yang ada di sebuah meja kecil di dekat meja belajarnya. Piala-piala tersebut milik seseorang bernama Henry yang berhasil memenangkan banyak lomba lari sejak dua tahun lalu.

 

Henry.

 

Ya, itu adalah namanya. Dan piala-piala itu semua miliknya. Piala-piala yang ia dapatkan dengan susah payah. Namun, sekarang semua kerja keras yang dulu ia agung-agungkan terasa hambar. Tak terasa apapun. Piala-piala yang tertulis namanya sebagai Juara Satu itu seolah hanyalah benda mati berwarna kuning emas dan berbentuk indah hanya karena dibuat oleh orang-orang terampil, tapi tak memberinya kesan apapun. Ia bukannya tidak menghargai orang-orang yang membuat benda-benda ini, ia hanya…… tak bisa lagi menganggap benda-benda seperti ini bisa ia jadikan alasan untuk tersenyum bangga.

Suara pintu yang dibuka dari luar memaksa Henry menjauhkan jemarinya dari piala-piala tersebut. Ditolehkannya kepalanya ke arah pintu yang memunculkan sosok Jaebum. Teman satu kamarnya itu tampak tersenyum lebar sambil memandang piala yang baru diperolehnya. Sebelum menutup pintu, temannya itu masih sempat membalas ucapan selamat dari siswa-siswa lain yang melintas di depan kamar asrama.

“Kau……, ada di sini?” tanya Jaebum setelah menurunkan tangannya yang memegang piala dan sedikit membawanya ke belakang tubuh ketika Henry memandangnya. Ekspresi senang yang sebelumnya begitu kentara di wajahnya, langsung memudar.

“Selamat.”

Hanya itu yang diucapkan Henry sebelum merebahkan diri ke atas tempat tidur dan memejamkan mata. Panggilan Jaebum pun sama sekali tak digubrisnya. Ia tahu ini adalah panggilan langka dari Jaebum setelah sebelumnya mereka berdua seolah seperti dua orang asing yang tak saling kenal, yang bersekolah di sekolah yang sama, dan tinggal di kamar asrama yang sama. Sebenarnya sikap kita-berdua-tak-mengenal-satu-sama-lain-jadi-anggaplah-aku-seperti-orang-asing baru berlangsung enam bulan ini. Sebelum sebuah kecelakaan menimpanya dan mengubah semua yang ada pada dirinya.

“Perlombaan Lari Tingkat Nasional akan diadakan enam bulan lagi. Dan namamu masih menjadi kandidat yang paling kuat untuk dikirim ke sana sebagai perwakilan dari sekolah kita. Kalau kau tidak ikut, berarti kau pengecut. Ani. Kata pengecut tidak pantas untukmu. Mungkin lebih tepatnya….. Pecundang.”

Mata Henry tetap terpejam.

“Apakah ini sikap yang diinginkan kakakmu?”

Sekali lagi, Henry tak bergerak hingga akhirnya Jaebum menyerah dan memilih untuk segera meletakkan piala miliknya ke atas meja belajarnya dan keluar dari kamar.

Perlahan Henry membuka matanya, memandang langit-langit kamar asrama yang berwarna putih. Tatapannya kosong.

‘Apakah ini sikap yang diinginkan kakakmu?’

Ucapan Jaebum bermain-main di benaknya.

Diambilnya ponselnya yang ada di dekatnya dan mencari sebuah foto yang selalu ia jadikan sebagai penambah semangat dirinya bersekolah di sekolah ini. Sebuah foto yang menampilkan dua orang kakak-beradik yang tengah duduk di salah satu anak tangga dan sama-sama tersenyum lebar. Mereka berdua bahagia. Kebahagiaan itu jelas terpancar pada mata mereka.

Sebulir air mata turun dari mata Henry, mengalir ke arah samping ketika memandang foto tersebut. Ingatannya berjalan mundur pada saat-saat di mana ia masih bisa tersenyum dan selalu menjalani hari-harinya dengan semangat.

.

.

Flashback 1 year ago….

“Bersiap! Lari!” teriak seorang pria 25 tahun berambut gelap yang memiliki keterbelakangan mental setelah sebelumnya menginjak sebuah balon putih hingga meletus hingga membuatnya terkejut sendiri.

Henry yang masih berusia 17 tahun tampak berlari memutari pinggir lapangan sepak bola sesaat setelah mendengar suara balon meletus. Laju larinya begitu kencang. Berulang kali ia berteriak sendiri sambil tertawa. Dari kejauhan ia masih bisa mendengar sorakan pria tersebut. Senyumannya semakin lebar ketika mendengar namanya dipanggil-panggil.

Tak lama kemudian, ia bisa melihat sosok pria tersebut lagi setelah sebelumnya berlari memutari lintasan lari yang ada di pinggir lapangan. Dari kejauhan pria tersebut tampak melompat-lompat dengan kedua tangan di atas sambil memanggil-manggil namanya. Entah kenapa, hanya dengan melihat pria tersebut melompat-lompat di garis Finish memberinya tenaga lebih untuk segera sampai di garis finish.

“AAAAAAAAAA!!!! HENRY MENANG! HENRY JUARA SATU! HENRY JUARA SATU! HENRY JUARA SATU!!!

Melihat pria tersebut berlari-lari kecil mengelilinginya sambil berteriak-teriak seperti itu membuat Henry yang berusaha mengatur napas karena kelelahan hanya bisa tertawa.

“Kau senang melihatku menang?” tanya Henry.

“Henry menang! Henry menang! Kyuhyun sangat senang! Kyuhyun sangat senang!”seru pria yang bernama Kyuhyun tersebut sambil tetap berlari-lari kecil.

“Hyung, berhentilah. Nanti kau bisa jatuh.” Henry terpaksa menghentikan Kyuhyun yang sepertinya tak mau berhenti berlari mengelilinginya dengan memegang kedua tangannya.

“Kyuhyun lelah. Kyuhyun lelah. Kyuhyun lelah,” ucap Kyuhyun terengah-terengah.

Henry terkekeh dan mengajak Kyuhyun duduk di tepi lapangan dan menyuruhnya agar tidak ke mana-mana.

“Henry mau ke mana?” Kyuhyun tampak ketakutan saat melihat Henry berdiri lagi.

“Kita akan minum jus jeruk yang dingin. Hyung suka dengan jus jeruk yang dingin, kan? Aku akan membelikan jus jeruk yang botolnya bergambar banyak jeruk,” ucap Henry, jemarinya menyeka peluh yang menghiasi pelipis Kyuhyun.

Raut wajah ketakutan yang sebelumnya menghiasi wajah Kyuhyun kini menghilang. Mata gelap Kyuhyun tiba-tiba berbinar setelah tahu adiknya tersebut akan membeli jus jeruk yang botlnya bergambar banyak jeruk untuknya.

“Yang harus Hyung lakukan hanyalah duduk di sini dan menghitung ini.” Henry mengeluarkan kotak yang berisi ratusan tusuk gigi dan mengeluarkan semua isinya di dekat kaki Kyuhyun.

“Jumlah tusuk giginya 288,” sahut Kyuhyun setelah kurang dari lima detik menatap ratusan tusuk gigi tersebut.

“Eeeey…., jangan curang. Aku menyuruhmu menghitung satu per satu selama aku pergi membeli jus jeruk dingin. Mengerti? Hyung, coba lihat aku.” Henry menyuruh Kyuhyun agar menatapnya karena sejak tadi Kyuhyun hanya menunduk memandangi kotak tusuk gigi yang ada di tangannya. “Aku tidak lama. Kurang dari dua menit.

“Kurang dari dua menit?

Henry mengangguk. “Kurang dari dua menit.

“1 menit 59 detik?”Kyuhyun menunjukkan kesepuluh jarinya tepat di depan wajah Henry.

Sambil tersenyum, Henry menurunkan salah satu tangan Kyuhyun dan melakukan high five dengan tangan Kyuhyun lainnya yang masih ada di depan wajahnya. “1 menit 5 detik.

“1 menit 5 detik. Kyuhyun akan menghitung 288 tusuk gigi satu per satu sambil menghitung mundur 1 menit 5 detik. Henry tidak boleh lebih dari 1 menit 5 detik,” kata Kyuhyun seraya melakukan high five pelan untuk beberapa kali dengan Henry.

“Tunggu di sini, ya.

Henry seraya berlari kecil ke arah pintu yang akan mengantarnya ke sebuah lorong panjang. Tak jauh dari lorong tersebut ada cafetaria yang menjual berbagai macam minuman dingin. Setelah mendapatkan minuman tersebut, ia langsung berlari ke tempat kakaknya.

“Henry-ya!

Panggilan seseorang menghentikan laju larinya. Dilihatnya Jaebum berlari ke arahnya.

“Kau belum pulang? Ini kan akhir pekan. Kau mau tidur di asrama dua hari ini?” tanya Jaebum, mengikuti Henry yang berjala pelan.

“Apa aku ini bodoh sampai-sampai harus menghabiskan akhir pekanku di asrama? Pamanku menitipkan kakakku padaku di sini sebelum menjemput kami berdua nanti,” jawab Henry sambil memukul pelan kepala Jaebum dengan botol jus jeruknya.

“Kakakmu? Maksudmu…. Hyungnim? Hyungnim ada di sini?

Henry mengangguk, membenarkan pertanyaan Jaebum. Namun, sesaat kemudian ia mengumpat pelan setelah teringat Kyuhyun. 1 menit 5 detik. Dan ia tidak boleh lebih dari itu. Buru-buru diajaknya Jaebum berlari ke stadion.

Perasaan lega menggelayuti benak Henry takkala kakaknya masih duduk di tempat yang sama. Dilihatnya semua tusuk gigi sudah masuk ke dalam kotak.

“Anyeong haseo, Hyungnim!” sapa Jaebum sambil membungkukkan badannya pada Kyuhyun. Meski tahu kalau kakak Henry adalah seseorang yang memiliki keterbelakanngan mental, teman Henry tersebut masih bersedia menghormati Kyuhyun sebagai orang yang lebih tua.

“Saingan Henry. Saingan Henry ada di sini. Anyeong haseo.” Kyuhyun menundukkan kepalanya beberapa kali pada Jaebum.

“Aku ini teman Henry, Hyungnim,” elak Jaebum seraya duduk di samping Kyuhyun.

Henry yang melihat tingkah kakak dan temannya hanya tertawa kecil. “Ini, Hyung. Jus jeruk dingin yang botolnya bergambar banyak jeruk. Minum pelan-pelan, ya. Kalau baju Hyung kotor, aku bisa dimarahi Paman.

Ketika Kyuhyun meminum sedikit demi sedikit jus tersebut dan sesekali memanggil gambar jeruk yang ada pada botolnya, Henry dan Jaebum membahas persiapan mereka untuk perlombaan lari antar sekolah yang akan diadakan minggu depan.

“Kau yakin, kali ini kita yang akan menang lagi? Aku sedikit ketakutan setelah tahu kita menang sepuluh kali berturut-turut tahun ini. Kurasa entah itu sekolah biasa ataupun sekolah olahraga lainnya pasti memiliki dendam yang sangat besar pada kita. Ani… tepatnya padamu. Kau ingat bagaimana kau membuat peserta dari sekolah lain seperti siput di lintasan ini? Waaaah…, tidak salah kalau semua orang di sekolah ini menyebutmu Running Monster. Ada juga yang menyebutmu Running Devil.

Ucapan Jaebum memaksa Henry untuk memukul kembali kepala temannya tersebut. “Apa aku semengerikan itu hingga aku harus disebut monster? Yaa, bahkan tubuhku saja tidak sebesar monster. Wajahku bersih. Aku juga tidak memiliki sepasang taring dan tanduk tajam.

Jaebum dibuat mengeluh lagi saat tiba-tiba Kyuhyun ikut memukul kepalanya. “Aaa…, Hyungnim, kenapa memukulku juga?

“Saingan Henry tidak boleh memanggil Henry monster. Saingan Henry tidak boleh memanggil Henry monster,” kata Kyuhyun berkali-kali.

“Aku ini teman Henry, Hyungnim. Bukan saingannya!

.

.

.

.

Henry sudah bersiap di belakang garis START bersama peserta lomba lari lainnya yang berasal dari sekolah berbeda. Mereka tampak melakukan pemanasan, meregangkan otot-otot agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di tengah lintasan.

Sorak-sorai penonton di tribun terdengar sangat riuh. Masing-masing tempat terdapat pendukung dari masing-masing sekolah. Dan yang paling kencang sorakannya adalah tuan rumah perlombaan tahun ini, Seung Ri High School.

Senyum Henry mengembang ketika ia bisa melihat sosok kakaknya ada di dekat garis FINISH sana. Kakaknya tidak sendirian. Jaebum juga ada di sana bersama teman-temannya yang lain.

“Dasar anak-anak kurang ajar. Sudah tahu harus duduk di tribun, tapi masih di sana,” gumam Henry sambil melompat-lompat pelan. Dari kejauhan ia melihat Jaebum merangkul kakaknya dan menunjuk ke arahnya, seakan memberitahu kakaknya kalau ia ada di sana, bersiap untuk berlari.

Tak lama kemudian terdengar suara dari speaker yang memberitahu para peserta agar bersiap di posisi masing-masing. Henry menarik napas dalam-dalam dan menghembuskanya secara perlahan. Matanya berubah tajam ke arah lintasan. Semua fokusnya terpusat pada ujung lintasan dan lambaian tangan kakaknya yang ada di sana.

Hyung, aku akan ke sana—batinnya sambil memejamkan matanya untuk beberapa detik sebelum terdengar suara letusan pistol yang menandakan lomba lari dimulai.

Pendukung yang ada di tribun semakin mengeraskan sorakan mereka ketika semua peserta melesat hampir bersamaan. Tak ada satupun peserta yang berniat mengurangi kecepatan laju lari mereka. Tak terkecuali Henry yang berada di posisi terdepan. Meski merasa di atas angin karena semua lawannya berada jauh di belakangnya, ia tetap tak bisa meremehkan mereka. Ia tidak ingin posisinya direbut oleh siapapun. Maka dari itu, ia tetap mengayunkan kakinya dengan cepat tanpa mengurangi konsentrasinya.

Sosok kakaknya semakin jelas di matanya. Itu artinya garis FINISH semakin dekat. Senyumnya melebar takkala menyadari pita putih ada di hadapannya. Dan setelah melihat bendera hitam putih dikibarkan oleh wasit dan suara teriakan pendukungnya kembali terdengar oleh telinganya, barulah ia tahu kalau ia menang.

Teman-temannya yang ada di dekat garis FINISH langsung berhambur padanya dan mencoba “membunuh”-nya. Meski ikut tertawa dengan mereka, mata Henry mencari sosok Kyuhyun yang rupanya berdiri tak jauh darinya. Di sana, Kyuhyun tampak melompat-lompat pelan sambil mengangkat dua jempol tangannya dan tersenyum lebar. Melihat kakaknya begitu bahagia melihatnya menang lagi, mau tidak mau memaksanya diam-diam harus meneteskan air mata. Di dunia ini, hanya kakaknyalah yang ingin ia lihat saat ia memenangkan lomba lari.

.

.

.

.

“Satu… dua… tiga… empat… lima… enam…tujuh… dela—”

“Apa yang sedang kau lakukan, Hyung?

Henry menginterupsi Kyuhyun yang tampak serius jumlah piala miliknya yang ada di kamar asrama.

“Menghitung piala Henry. Henry punya banyak piala, tapi masih kurang banyak. Henry harus membeli meja yang lebar supaya pialanya bisa lebih banyak lagi,” jawab Kyuhyun seraya kembali menghitung piala dari awal lagi.

“Jadi, aku harus ikut lomba lari lagi ke depannya? Hyung, kau mau berapa lomba lari lagi yang harus kuikuti?” Henry duduk di tepi tempat tidurnya, memandang Kyuhyun yang begitu serius mengamati gerak jarinya pada piala-piala tersebut.

“Banyak. Banyak. Banyak lomba lari. Semakin banyak lomba lari, semakin banyak piala yang Kyuhyun hitung,” jawab Kyuhyun yang menggeser posisi berdirinya ke depan piala di dekat Henry dan mulai menghitung dari awal lagi.

“Hyung suka menghitung piala yang kudapat?

Kyuhyun mengangguk. Sejenak kemudian kakak Henry tersebut mengerjap-ngerjapkan matanya dan menghitung dari awal untuk kesekian kalinya.

“Tapi kan aku tidak bisa selamanya ikut lomba lari! Kakiku tidak bisa terus-terusan disuruh berlari! Aku kan juga perlu istirahat!” Henry berpura-pura melontarkan protes sambil menahan senyum.

Protes Henry mendapat gelengan kepala Kyuhyun beberapa kali. “Henry harus terus berlari. Henry bilang Henry bisa terus berlari karena ada Kyuhyun. Selama Kyuhyun ada, Henry harus terus berlari. Dari kecil, Henry suka berlari. Dan Kyuhyun suka melihat Henry berlari. Kalau Henry berhenti berlari, Kyuhyun tidak mau pulang ke rumah.

Tiba-tiba Henry melompat ke arah Kyuhyun dan merangkul bahunya. “Jadi, Hyung harus menemaniku lebih lama lagi. Hyung juga harus menungguku di dekat garis FINISH. Janji, ya?Hyung, lihat aku dan berhentilah menghitung pialaku.” Henry menunjukkan jari kelingkingnya pada Kyuhyun.

Kyuhyun menuruti perkataan adiknya. Untuk beberapa detik Kyuhyun hanya memandang kelingking Henry. Alih-alih mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Henry, ia justru menggenggamnya dan berkata, “Setelah itu Kyuhyun dibelikan jus jeruk dingin yang botolnya bergambar banyak jeruk. Lalu minum bersama Henry dan Saingan Henry di pinggir lapangan.

“Call! Kakakku memang hebat! Sekarang mau menghitung piala bersama-sama?” ajak Henry seraya mendudukkan Kyuhyun pada kursi yang ada di dekatnya. Namun, baru dua detik ia berhasil membuat Kyuhyun duduk, Kyuhyun langsung berdiri kembali.

“Kyuhyun mau menghitung piala sendiri. Satu… dua… tiga… empat… lima…”

———oOo——–

Suasana cafetaria sekolah tampak ramai. Banyak siswa yang mengelukan kelas yang baru saja mereka ikuti sambil menyantap makan siang mereka. Tak sedikit dari mereka yang masih membahas kemenangan sekolah mereka atas lomba lari antar sekolah dua hari yang lalu. Nama Jaebum masih disebut-sebut. Bahkan terdengar sorakan ketika Sang Pemenang lomba tersebut masuk ke cafetaria bersama beberapa temannya.

Henry yang menikmati makan siangnya sendirian di meja paling sudut, samping kaca besar yang menampilkan pemandangan lapangan sepak bola milik sekolah, hanya menghentikan kerjapan matanya yang pelan, sebelum kembali memandang lapangan tersebut dengan ekspresi sendu.

Drrrt….drrrrt…. drrrt….

Ponselnya bergetar. Ada satu pesan yang ia terima. Dan itu rupanya pesan dari pelatihnya.

 

<Setelah selesai makan siang, datanglah ke ruanganku>

 

Diletakkannya sumpit yang sejak tadi dipegangnya ke atas meja dan bangkit dari kursinya. Kakinya terayun keluar dari cafetaria menuju ruangan pelatihnya yang ada di lantai dua. Sebenarnya ia tahu beberapa siswa mengarahkan pandangan mereka padanya. Bahkan ia yakin mereka semua diam-diam tidak berhenti membicarakannya beberapa bulan ini. Tapi, ia tidak peduli lagi. Dirinya yang sekarang adalah dirinya.

“Duduklah,” perintah seorang pria berusia 30 tahunan pada Henry yang sudah masuk ke ruangannya. Henry menuruti perintah pria tersebut dan menanti apa tujuannya menyuruhnya kemari.

Park Jung Soo, nama pria tersebut, alias pelatih lari Henry, menyodorkan sebuah amplop besar pada Henry.

“Hasilnya sudah keluar. Kalau kau mau ikut terapi, kau pasti bisa sembuh sebelum enam bulan dan—“

“Terima kasih, Pelatih. Tapi saya tidak ingin ikut terapi,” potong Henry tiba-tiba.

“Lomba Nasional akan diadakan enam bulan lagi. Ini akan menjadi batu loncatanmu. Bila kau menang di lomba itu, peluangmu menjadi atlet internasional akan semakin terbuka lebar. Bukankah itu cita-citamu sejak dulu? Menjadi atlet lari profesional yang ditakuti atlet negara lain?”

Henry memandang Park Jung Soo dengan tatapan datar, kemudian berkata, “Cita-cita orang bisa berubah, Pelatih. Saya sudah tidak memiliki cita-cita seperti itu.”

Park Jung Soo menghela napas pelan menyaksikan seorang pemuda berbakat di hadapannya yang kehilangan begitu banyak rasa percaya diri dan sikap optimis di dalam dirinya dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Dan kini yang ia lihat hanyalah seorang pemuda yang seolah sudah mati meski jantungnya masih bisa berdetak, masih bisa bernapas, masih bisa melahap makan siang di kantin sekolah, dan masih bisa berbicara.

“Saya sudah menyerahkan Surat Berhenti Sekolah sejak lima bulan lalu. Kenapa sampai sekarang, Anda belum mengurusnya?” tanya Henry.

“Kepala Sekolah melarangmu keluar dari sekolah. Sama seperti Kepala Sekolah, aku juga tidak ingin kau keluar, Henry-ya. Sekolah ini tidak bisa mengeluarkan siswa berbakat sepertimu, yang memiliki potensi besar dan—“

“Berhentilah berbicara omong-kosong, Pelatih! Anda sudah tahu kalau cidera saya tidak bisa disembuhkan. Anda juga sudah tahu saya sendiri yang menyebabkan cidera itu. Saya ceroboh waktu itu. Bahkan gara-gara kecerobohan saya, saya harus menerima konsekuensi yang saya sendiri tidak bisa menanggungnya. Saya kehilangan kakak saya dan cita-cita saya. Apa lagi yang Pelatih harapkan dari saya?” elak Henry dengan mata berkaca-kaca. Napasnya mulai tak teratur.

“Itu hanya kecelakaan, Henry-ya. Kecelakaan yang tidak bisa diprediksi semua orang. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri seperti itu,” Park Jung Soo mencoba menenangkan Henry.

Tampaknya Henry tak menghiraukan ucapan Park Jung Soo. Setelah menundukkan kepala sebentar, Henry langsung keluar dari ruangan Park Jung Soo dengan langkah tergesa-gesa. Langkahnya terhenti pada tangga yang ada di ujung lorong. Tangannya yang gemetar berusaha memegang dinding yang ada di sampingnya. Kakinya entah kenapa mendadak mulai kehilangan kekuatan hingga akhirnya ia hanya bisa terduduk lemas di anak tangga.

Ingatannya berlari pada saat-saat ia kehilangan kakaknya di tengah jalan raya yang diguyur hujan deras. Ketika itu, ia memaksa Kyuhyun keluar dari rumah di akhir pekan setelah pulang dari asrama. Ia ingin bermain bersama Kyuhyun dan makan makanan kesukaan Kyuhyun bersama-sama untuk merayakan ulang tahun Kyuhyun.

Saat mereka berdua menyeberang, tiba-tiba botol jus jeruk milik Kyuhyun terjatuh. Henry mengantar Kyuhyun ke tepi jalan terlebih dulu sebelum ia kembali ke tengah jalan untuk mengambil botol tersebut. Naas, sebuah mobil melaju kencang ke arahnya tanpa ia sadari. Barulah, setelah mendengar decitan mobil yang memekakkan telinganya, Henry menyadari sesuatu yang buruk baru saja menimpanya. Tubuhnya terlempar sedikit jauh dari tengah jalan, sedangkan Kyuhyun terkapar bersimbah darah di dekat mobil yang terguling.

Henry masih ingat bagaimana sulitnya ia mendekati kakaknya yang tak bergerak sama sekali di tengah jalan karena ia merasakan sakit yang begitu hebat pada pergelangan kaki kirinya. Berharap tidak terjadi apa-apa pada kakaknya tersebut meski jantungnya berdetak sangat kencang. Semuanya terasa gelap dan dingin setelah ia mengetahui tak napas ataupun detak jantung pada tubuh Kyuhyun yang ada di dekapannya. Kakaknya, Kyuhyun, meninggal setelah menyelamatkannya dari mobil yang melaju kencang di tengah jalan.

Dan itu karena ia harus mengambil botol jus jeruk kakaknya. Salahnya karena sudah memaksa kakaknya keluar bersamanya, padahal kakaknya tidak mau dan menyuruhnya agar tetap tinggal di rumah bersama sambil meletuskan banyak balon warna-warni. Salahnya karena begitu egois dan tidak mau mendengarkan kakaknya.

Kematian kakaknya dan cidera pada pergelangan kakinya……., murni kesalahannya. Karena itulah, ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Perasaan sakit ini akan terus mengikutinya ke manapun dan kapanpun. Persetan dengan cita-citanya. Persetan dengan dirinya yang berbakat atau memiliki potensi besat atau apalah itu. Membiarkan dirinya merasa bersalah seumur hidup adalah satu-satunya hukuman yang bisa ia berikan pada diirinya sendiri. Meskipun begitu……, terkadang ia merasa tidak bisa menanggung hukuman ini seorang diri. Tubuhnya sakit. Hatinya sakit. Semuanya terasa sakit.

.

.

.

.

Brak!

Pintu kamar asrama terbuka lebar dan Jaebum muncul dengan wajah yang merah padam. Di tangannya terdapat sebuah amplop besar. Setelah menutup pintu tersebut dengan kencang, Jaebum langsung melempar amplop tersebut pada Henry yang duduk sambil bersandar pada headboard tempat tidur. Tak ada reaksi dari Henry.

“Selain Pecundang, rupanya kau juga Idiot, ya?” desis Jaebum, mencoba menahan amarahnya meski di matanya ada api yang berkobar.

“Terserah kau menyebutku apa,” sahut Henry pelan sambil tetap membaca komik.

“Kau baru saja menolak tawaran terapi dari Pelatih. Iya, kan?”

“Aku memang tidak tertarik.”

Jaebum langsung merampas komik yang ada di tangan Henry dan membuangnya begitu saja.

“Berikan komikku!” bentak Henry yang kesal karena Jaebum membuang komik yang sedang dibacanya.

Tanpa mempedulikan bentakan Henry, Jaebum langsung menarik kerah seragam Henry hingga Henry terpaksa berdiri di samping tempat tidurnya.

“Kau pikir kau siapa, hah? Membuang semua orang yang peduli padamu hanya demi rasa egoismu yang konyol itu? Menganggap kami angin sampai-sampai kau tidak merasa keberadaan kami? Kau yakin dirimu waras, hah?” desis Jaebum, menggenggam erat kerah Henry.

Henry hanya memasang wajah datar. “Aku tidak meminta kalian peduli padaku.”

“Apa? Kau tidak meminta kami peduli padamu? Baiklah, kau bisa bicara seperti itu padaku atau pada yang lain. Tapi, bukankah itu sama kau juga tidak peduli dengan kakakmu yang sangat peduli padamu?”

Ekspresi wajah Henry berubah ketika mendengar Jaebum menyebut Kyuhyun. Dengan kasar ia menepis tangan Jaebum dan mendorong teman satu kamarnya itu menjauh darinya.

“Kenapa? Kau merasa marah? Aku berkata benar, kan? Kyuhyun Hyungnim adalah satu dari orang-orang yang peduli padamu, yang peduli cita-citamu, meski sekarang kau benar-benar brengsek dan memuakkan! Mungkin dari semua orang, hanya Kyuhyun Hyungnim yang paling peduli padamu. Di dunianya hanya ada dirimu,” ucap Jaebum, tak terpengaruh dengan Henry yang terlihat mengerikan.

Emosi Henry sudah tak terbendung lagi. Ia langsung menyerang Jaebum. Jaebum yang juga sama-sama emosi, akhirnya membalas Henry hingga akhirnya mereka berdua berkelahi, saling memukul satu sama lain, tak peduli wajah mereka memar di beberapa bagian.

Tampaknya suara gaduh mereka menarik perhatian beberapa siswa yang kebetulan melintas di depan kamar. Sesaat setelah siswa-siswa tersebut membuka pintu dan mendapati Henry dan Jaebum berkelahi, mereka langsung berteriak pada siswa lain agar segera memanggil guru sambil berusaha melerai dua pemuda yang sudah berteman cukup lama itu.

Berita perkelahian mereka menyebar ke seluruh sekolah. Banyak yang berlari menuju stadion hanya untuk melihat dua siswa yang tinggal satu kamar tersebut dihukum oleh Pelatih Park Jung Soo.

Sudah hampir satu jam ini Henry dan Jaebum berdiri di tengah lapangan sepak bola yang luas dan langsung terpapar sinar matahari yang cukup terik. Andai mereka berdua lupa kalau mereka sedang dihukum, mungkin mereka sudah berlari ke tepi lapangan yang tidak terkena sinar matahari.

“Sial…, kenapa mereka tidak pergi dari sana juga,” gerutu Jaebum yang melirik ke arah kiri lapangan di mana di sana ada puluhan siswa yang melihatnya.

Henry hanya terdiam sambil menatap rumput lapangan. Didengarnya Jaebum mendesis kesakitan. Perlahan ia menoleh ke arah Jaebum dan melihat temannya itu memegang sudut bibirnya yang lebam. Masih ada darah di sana. Bila ia bandingkan, tampaknya luka yang didapat Jaebum lebih banyak darinya.

“Kau…… tidak apa-apa?” tanya Henry pelan.

Jaebum mendengus sambil memandang langit siang hari yang berwarna biru tanpa ada hiasan awan satu pun.

“Jaebum-ah….”

Jaebum-ah? Kau tahu, ini pertama kalinya kau memanggilku setelah enam bulan kau seperti menjahit mulutmu sendiri,” potong Jaebum tanpa memandang Henry.

“Setelah ini pergilah ke UKS dan obati lukamu,” ujar Henry yang justru mendapat respon sebuah tawa dari Jaebum.

“Aku berencana membiarkannya begini sebagai tanda temanku menghajarku untuk pertama kali dalam hidupnya. Dengan begitu, dia akan menyadari dirinya benar-benar konyol dan idiot,” sahut Jaebum. “……juga brengsek,” lanjutnya kemudian.

Henry hanya terdiam menundukkan kepalanya.

“Henry-ya,” panggil Jaebum setelah satu menit mereka terdiam. Henry menegakkan kepala dan memandangnya. “Nanti malam datanglah kemari. Aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi.”

“Apa?”

Jaebum hanya tersenyum tipis sebelum memandang lurus ke depan dan menegakkan tubuhnya. “Pelatih Park sedang berjalan kemari. Kalau kau tidak mau berdiri di sini tiga jam lagi, tegakkan tubuhmu dan lihat lurus ke depan. Asal kau tahu saja, aku sudah kepanasan.”

.

.

.

.

Hampir lima menit Henry duduk di depan meja kecil yang ia gunakan untuk meletakkan semua piala hasil jerih payahnya memenangkan lomba lari sejak pertama masuk sekolah ini. Dilihatnya satu per satu piala-piala tersebut. Di piala-piala tersebut ada bekas jari telunjuk Kyuhyun yang sudah tak bisa lagi ia hitung sudah berapa kali kakaknya tersebut menyentuh mereka. Setiap kali Kyuhyun berkunjung ke kamar asramanya, hal pertama yang akan dilakukan adalah menghitung piala-piala itu dengan serius. Dan tiap kali ia mencoba mengajaknya bicara, Kyuhyun pasti akan menghitung dari awal lagi setelah menanggapi ucapannya.

Mengingat kenangan manis itu… membuat dadanya berdenyut. Sakit. Sakit sekali. Saking sakitanya, ia tak menyadari ada sesuatu di matanya. Namun, setelah merasa pandangannya mengabur, buru-buru ditariknya napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan

Jam dinding yang ada di kamar menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Diraihnya jaket tebal miliknya yang menggantung di dekat tempat tidur. Sambil mengambil ponsel yang ada di atas meja ia menutupi kepalanya dengan tudung jaketnya dan berjalan ke arah pintu. Sebenarnya ia tak ingin keluar dari asrama pada jam-jam yang hampir tengah malam begini, tapi rasa penasarannya akan ajakan Jaebum untuk bertemu di stadion tak bisa ia abaikan.

Letak stadion sekolahnya tak terlalu jauh dari gedung asramanya. Hanya saja, jalan yang ia lalui malam ini terasa begitu panjang. Tak ada pergerakan di sudut manapun. Ia yakin semua siswa sudah lelap di kamar masing-masing. Atau mungkin beberapa siswa yang biasanya menyelinap keluar pada sore hari untuk pergi bermain entah ke mana, belum kembali di jam-jam begini.

Matanya memandang stadion yang ada di depannya sebelum ia masuk ke dalam. Suasana di dalam stadion jauh lebih sunyi dan gelap. Namun, baginya keadaan seperti ini sudah biasa baginya. Mungkin ini karena dulu ia sering menyelinap kemari bersama Jaebum untuk berlatih lari bersama-sama secara diam-diam.

Sosok Jaebum yang melambai padanya terlihat ketika ia memasuki lapangan utama stadion. Di stadion tersebut hanya ada satu lampu besar yang menyala. Tapi, tetap saja tak membuat semua sudut lapangan dan tribun penonton terlihat terang. Dengan langkah ringan, ia berjalan menghampiri Jaebum yang berdiri di lintasan lari. Apa yang ingin dilakukan temannya itu di sana?

“Setidaknya kau masih mau datang kemari,” ujar Jaebum seraya menyodorkan sekaleng cola.

“Kenapa mengajakku kemari?” tanya Henry.

Jaebum tak lantas menjawab dan hanya mengajak berjalan bersama di lintasan lari sambil menikmati cola. Mau tidak mau Henry pun menurutinya. Namun, setelah hampir lima belas mereka berdua berjalan pelan, tak ada satupun dari mereka yang berniat membuat topik pembicaraan. Bila Jaebum lebih memilih untuk tetap diam sambil meneguk perlahan-lahan cola miliknya dan sesekali diam-diam tersenyum tipis, Henry justru terus menundukkan kepala, memandang bentuk garis lintasan yang berwarna putih, dan selalu menghindari pandangannya dari tulisan FINISH yang ada di depannya sana.

Jujur, ada rasa takut yang menggerayangi benak Henry tiap kali memandang tulisan itu.

“Henry-ya,” panggil Jaebum.

“Hm?”

Jaebum mengangkat tangannya, menunjuk tribun penonton di sampingnya yang kosong dan gelap. “Kau bisa lihat itu? Di sana ada ratusan teman kita yang memakai atribut-atribut aneh dan mirip seperti orang gila.”

Henry terpaksa mengalihkan pandangannya pada tempat yang ditunjuk Jaebum. Apakah saat ini temannya itu mabuk hanya karena meminum cola? Yang ia lihat hanyalah tribun kosong dan gelap.

“Mereka semua berteriak-teriak, tak peduli dua jam lagi mereka harus minum minuman hangat karena kehilangan suara. Lalu di sana, di tribun yang lain, siswa-siswa dari sekolah lain tampak kesal karena teman-teman kita. Mereka seperti……, sedang melihat ratusan pasien rumah sakit jiwa yang kabur dari rumah sakit dan berkumpul bersama. Lalu di—“

“Apa yang sedang kau coba bicarakan?” Henry terpaksa mencela perkataan Jaebum karena semakin lama ia semakin tidak mengerti.

Alih-alih menjawab Henry, Jaebum pun tetap melanjutkan kata-katanya. Kini telunjuknya bergerak ke arah belakang tubuh mereka. Tepatnya pada ujung lintasan yang berhias tulisan START. “Di sana…., peserta lomba lari tampak mempersiapkan diri. Aku bisa melihat ekspresi tegang mereka. Apakah aku berhasil? Apakah nanti aku akan kalah?… Mereka bertanya-tanya dalam hati. Tapi ada satu peserta yang berdiri di antara mereka, justru tampak tenang. Atau bahkan kelewat tenang. Bahkan orang yang melihatnya pasti mengira peserta itu meremehkan lawan-lawannya dan tidak serius mengikuti perlombaan.”

Henry memandang Jaebum datar. “Kalau kau masih ingin membicarakan hal yang tidak masuk akal, sebaiknya aku pergi.”

Jaebum menahan Henry. “Aku membicarakanmu, Bodoh. Cobalah melihat apa yang kukatakan tadi dengan menggunakan mata seorang Henry, bukan mata seorang Pecundang sepertimu. Sekali ini saja.”

Dengusan pelan lolos dari mulut Henry meski ia tetap menuruti kata temannya itu. Perlahan ia menggerakkan matanya ke arah tribun. Ia tertegun takkala tribun yang kosong dan gelap tersebut berubah penuh dengan siswa-siswa dari sekolahnya. Mereka semua bersorak-sorai sambil membawa atribut-atribut aneh. Ia bisa mendengar namanya dielu-elukan oleh mereka.

Kini pandangannya beralih pada ujung lintasan yang sebelumnya ditunjuk Jaebum. Di sana benar-benar ada para peserta lari termasuk dirinya sedang bersiap-siap. Ia bisa melihat dirinya tampak paling tenang dan santai dibanding peserta lain.

“Setelah itu…, Bang! Lomba dimulai, dan semua peserta berlari kencang seperti dikejar anjing gila dan….”

Henry tak memperhatikan ucapan Jaebum. Ia masih tercengang pada semua peserta tersebut yang tampak berlari ke arahnya. Hanya saja…, kini pandangannya hanya tertuju pada dirinya yang berlari di posisi terdepan. Wajah serius itu…. yang begitu berambisi pada kemenangan dan konsentrasi yang penuh. Ia bisa merasakannya. Bahkan ia merasa ada angin kencang yang menerpa dirinya ketika sosok Henry tersebut melintas layaknya kilat di sampingnya. Berlari dengan sangat kencang ke arah garis FINISH yang ada di depan sana.

 

Garis FINISH.

 

Garis FINISH.

 

Henry tak bisa melihat apapun di sana. Tak ada pita putih. Tak ada dirinya yang harusnya menang. Tak ada peserta lain yang mengumpat karena kalah. Tak ada sorak sorai teman-temannya. Yang ada hanyalah tribun kosong, lintasan yang gelap dan garis FINISH yang kosong dan…

Sebuah kotak berwarna putih?

Kotak?

Jaebum menepuk keras punggung Henry hingga membuat Henry terkejut. “Sudah pukul dua belas malam. Selamat ulang tahun…. Selamat ulang tahun…… Selamat ulang tahun, Henry. Selamat ulang tahun….”

Henry mengerjap-ngerjap bingung mendengar Jaebum menyanyikan lagu ulang tahun untuknya. Barulah setelah beberapa detik ia berpikir, ia ingat kalau hari ini, tanggal 21 Januari adalah hari ulang tahunnya. Namun, reaksi yang ia berikan hanyalah decakan pelan.

“Hadiah untukmu,” ucap Jaebum sambil menunjuk kotak putih yang ada di garis FINISH sana.

“Sudahlah,” elak Henry pelan.

“Itu bukan dariku. Tapi dari Kyuhyun Hyungnim.”

Henry terpaksa merasa terkejut. Apa ini? Hadiah dari Kyuhyun? Kakaknya?

“Ke sana dan lihat apa yang sudah dipersiapkan kakakmu untukmu.” Jaebum mendorong Henry agar segera berjalan ke arah garis FINISH.

Jantung Henry berdetak kencang. Meski ragu, ia tetap melangkahkan kakinya ke sana dengan pelan. Matanya tak juga dialihkan dari kotak tersebut. Tanpa ia sadari, langkahnya yang begitu pelan kini berubah menjadi lari kecil hingga akhirnya ia sampai di tempat kotak tersebut diletakkan.

Tangannya gemetar saat mencoba membuka kotak tersebut. Pikirannya berkecamuk.

Deg!

Jantungnya serasa berhenti dan mendadak kedua kakinya terasa lemas mendadak, membuatnya terduduk lemas di depan kotak yang sudah dibukanya tersebut. Di dalam kotak itu terdapat sepasang sepatu berwarna putih dengan sebuah garis berwarna emas dan huruf “H” di masing-masing sisinya.

“Kyuhyun Hyungnim berkata padaku kalau kau ingin sepasang sepatu berwarna putih yang berhias garis emas dan ada inisial namamu di sana. Hyungnim menunjukkan uang tabungannya padaku dan dia mengajakku membeli sepatu itu. Maka dari itu, Hyungnim ingin memberikan sepatu itu sebagai hadiah ulang tahunmu yang ke-18. Hyungnim ingin kau memakainya di saat kau mengikuti lomba lari. Katanya sepatu itu sepatu super,” tutur Jaebum yang sudah ada di belakangnya.

Henry tak bisa berkata-apa-apa. Air matanya sudah mengalir. Dadanya semakin berdenyut nyeri. Ia tidak pernah tahu kakaknya rela mengumpulkan uang saku untuk membelikan sepatu yang ia inginkan.

“Henry-ya.”

Panggilan seseorang menegakkan kepala Henry. Dilihatnya pamannya berjalan ke arahnya bersama Park Jung Soo. Perasaan emosionalnya tak bisa ia bendung. Ia berlari dan memeluk pamannya dan menangis tersedu-sedu. Ia tidak tahu kenapa ia bisa begini.

“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. tidak apa-apa,” Paman Henry mencoba menenangkan Henry sambil mengusap lembut kepala Henry.

“Paman, Kyuhyun Hyung….”

“Berhentilah menyalahkan dirimu. Buang semua beban yang ada pada dirimu. Kalau kau seperti ini, Kyuhyun akan semakin sedih. Dia pasti akan marah kalau tahu kau berhenti berlari dan menjadi seperti ini. Kau ingat apa yang aku katakan padamu? Kau adalah anak hebat. Kau anak baik.”

Park Jung Soo yang melihat Henry menangis di pelukan pamannya hanya bisa tersenyum tipis sambil menepuk pelan punggung Henry. Ia tidak tahu anak muda seperti Henry bisa merasa terguncang dengan hebat dan benar-benar merasa hidupnya tak berarti. Satu-satunya hal yang bisa ia pelajari adalah, sebagai orang dewasa, ia harusnya lebih memperhatikan anak-anak seperti Henry agar tidak putus asa dan kehilangan kepercayaan diri karena masalah yang menimpa mereka.

———oOo——–

5 Months later…

Henry tampak melakukan pemanasan di tepi lapangan sendirian di malam hari setelah berhasil menyelinap keluar dari gedung asrama tanpa membangunkan Jaebum yang begitu lelap tertidur..

Ya, Henry memutuskan untuk kembali ikut lomba lari. Dan kali ini targetnya adalah Lomba Lari Nasional yang diadakan di stadion olahraga milik sebuah universitas ternama di Seoul. Dukungan teman terbaiknya, Jaebum, pamannya, pelatihnya dan teman-temannya yang lain membuat semangatnya yang hilang enam bulan ini mulai kembali tertata. Bahkan cidera yang dideritanya beberapa bulan ini berangsur-angsur membaik setelah menjalani terapi yang diberikan sekolah. Meski begitu, ia harus tetap melapor bila sewaktu-waktu ia merasa ada yang aneh dengan pergelangan kakinya.

Ketika ia sudah bersiap di garis START tiba-tiba ia mendengar suara letusan balon yang entah datang dari mana. Langsung diedarkannya pandangannya ke segala arah. Tak ada siapapun. Tak ada seorang pun di stadion selain dirinya.

Henry, lari! Henry, lari! Henry, lari! Kyuhyun sudah meletuskan balon! Henry, lari!

Henry membeku di tempatnya saat melihat sosok Kyuhyun muncul di garis FINISH yang ada di depan sana dan berteriak-teriak padanya sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi.

“Henry, lari! Semua saingan Henry sudah lari! Semua saingan Henry sudah lari! Henry, lari! Semua saingan Henry sudah lari!” Sosok Kyuhyun masih berteriak padanya.

Mata Henry mulai berkaca-kaca. Perlahan-lahan ia mulai melangkahkan kakinya dan berlari pelan. Semakin lama laju larinya semakin kencang.

Kencang.

Kencang.

Dan kencang hingga ia bisa melihat dengan jelas sosok Kyuhyun di garis FINISH. Disekanya air mata yang mengalir di pipinya ketika ia berlari kencang. Ia hanya ingin segera sampai di sana dan melihat tawa lebar kakaknya.

Henry menang! Henry menang! Henry menang!”

Sosok Kyuhyun melompat-lompat kegirangan setelah Henry sampai di garis FINISH. Henry yang terengah-engah hanya tersenyum melihat Kyuhyun bertepuk tangan sambil melompat-lompat. Namun, senyuman yang indah itu mulai memudar dan digantikan oleh isak tangis memilukan setelah Henry menyadari sosok Kyuhyun hanyalah sebuah bayangan. Bayangan yang mulai menghilang di pandangannya. Meski begitu, ia masih bisa mendengar suara Kyuhyun meski sosoknya kini menghilang.

Hyung……, aku sudah sampai. Aku sudah menang. Kau mau minum jus jeruk dingin bersamaku. Iya, kan? Aku bahkan belum pergi membelinya, kenapa kau tak menuruti kata-kataku dan pergi? Apa kau tidak sayang padaku lagi?” Henry duduk meluruskan kakinya sambil menyeka air matanya.

Kyuhyun selalu ada bersama Henry.”

Sosok Kyuhyun kembali muncul. Kini sosok itu duduk di samping Henry.

Kyuhyun sayang Henry. Kyuhyun kakak yang keren. Adik Kyuhyun juga keren.”

Henry tak bisa untuk tidak membalas senyuman lebar sosok kakaknya tersebut. Ia hanya tersenyum tipis. Hatinya terasa hangat mendengar kata-kata kakaknya. Selama ini kakaknya itu ada bersamanya, hanya saja ia membohongi diri sendiri dan menutup mata.

Hyung, maaf. Ini semua salahku,” ucap Henry pelan pada sosok Kyuhyun.

Sosok Kyuhyun mengangkat tangannya, mengusap lembut rambut ikal Henry dan tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi dan bersih. “Henry tidak salah. Henry anak baik. Henry anak hebat. Henry hanya sedikit nakal dan suka mengganggu Kyuhyun.”

Perlahan-lahan sosok Kyuhyun memudar dan kini hanya ada udara kosong di samping Henry. Senyum tipis kembali terulas di sudut bibir Henry. Belaian tangan Kyuhyun di kepalanya terasa nyata dan nyaman.

“Ya. Kyuhyun Hyung memang kakak yang keren. Kyuhyun Hyung……… memang kakak yang keren,” gumamnya seraya merebahkan diri di tepi lapangan. Matanya memandang langit malam yang dihiasi banyak bintang. Sejenak kemudian dipejamkannya kedua matanya untuk beberapa detik. Dirasakannya angin malam berhembus pelan memainkan rambutnya yang basah karena keringat.

.

.

.

1 Month later, D-Day~

Kamar ganti yang ada paling sudut yang ada di Stadion Utama Universitas K belum juga dibuka dari dalam sejak setengah jam yang lalu. Padahal kamar ganti yang lain di mana ditempati para peserta lomba lari lainnya sudah kosong.

Dok! Dok! Dok!

Jaebum menggedor pintu kamar tersebut dengan gemas karena merasa orang yang ada di dalam tak kunjung keluar.

Sekali.

Dua kali.

Tiga kali.

Tak juga ada respon. Karena kesal, akhirnya Jaebum berniat mendobrak pintu tersebut sebelum akhirnya pintu itu dibuka dari dalam.

“Apa kau berdandan di dalam sana, hah? Atau kau ketiduran? Atau kau mau melarikan diri?” cecar Jaebum kesal.

“Aku sedang bercermin,” jawab Henry datar sambil mendorong Jaebum menjauh dari pintu agar ia bisa keluar dan menutupnya.

“Memangnya kau wanita?” desis Jaebum.

Henry tak lantas menjawab. Dirangkulnya temannya itu dan mengajaknya berjalan. “Aku hanya sedang melihat seseorang yang akan menang hari ini dan membuat semua saingannya seperti siput. Dan seseorang itu ada di dalam cermin alias pantulanku sendiri.”

“Apa kau sedang memuji diri sendiri? Mengerikan sekali.”

.

.

.

Perlombaan akan dimulai. Henry yang mengenakan pakaian berwarna orange sedang melakukan pemanasan ringan di belakang garis START sebelum berdiri memandang ke arah tribun. Senyumnya melebar saat melihat tribun yang dipenuhi pendukung dari masing-masing peserta. Semua orang mengenakan atribu berbeda. Ia juga melihat nama-nama peserta tertulis pada papan-papan kecil yang dibawa pendukung. Sebenarnya, dengan tribun sebesar itu, ia tidak bisa melihat di mana teman-temannya. Meski begitu, telinganya masih bisa mendengar suara-suara yang memanggil-manggil namanya.

Tak lama kemudian, seseorang berbicara di speaker, memberitahu para peserta agar bersiap di posisi masing-masing. Henry melompat-lompat kecil sebelum bersiap. Untuk beberapa detik ia menundukkan kepalanya, memandang sepasang sepatu putih bergaris emas dengan hiasan sebuah inisial “H” yang ada di kakinya. Hari ini ia mengenakan sepatu pemberian Kyuhyun. Ia yakin, kakaknya itu akan merasa senang dan bangga padanya.

 

Kau bersamaku, kan, Hyung?

 

Dihirupnya udara dalam-dalam dan menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memandangi semua sainganya yang sama-sama sedang bersiap. Ia mengenal mereka semua. Mereka adalah yang terbaik di tempat mereka masing-masing. Mereka juga sudah memiliki “nama” yang harus ditakuti saingan mereka, sama seperti dirinya. Bahkan ia juga tahu bagaimana hebatnya mereka semua di lintasan ini. Dengan kata lain, saingannya kali ini adalah yang terberat dibanding yang sebelumnya.

Namun, ia tidak bisa merasa minder. Sekarang bukan waktu yang tepat baginya untuk merasa minder. Harusnya mereka juga tahu, kalau ia bukan lawan yang bisa dikalahkan dengan mudah. Julukan Running Monster yang melekat padanya mungkin baru ia pahami saat ini. Ia ingin membuktikan bahwa julukan itu bukan hanya sekedar julukan saja. Maka dari itu, akhirnya ia menyudahi memandangi mereka semua dan memilih untuk melakukan hal yang biasa ia lakukan dulu sebelum lomba dimulai.

Perlahan, ia memandang lurus ke arah lintasan lari yang ada di depannya. Konsentrasinya begitu kokoh. Tatapannya berubah tajam. Sebuah smirk tipis muncul di sudut bibir kirinya ketika melihat lintasan lari miliknya begitu jelas.

Bang!

Letusan pistol terdengar. Detik berikutnya, semua peserta lomba langsung melesat kencang menuju garis FINISH. Henry yang bernomor dada 18 berlari hampir bersamaan dengan peserta bernomor dada 25. Mereka berada di posisi terdepan. Sedangkan yang lain mencoba menyusul mereka.

Sorak-sorai para pendukung semakin riuh takkala semua peserta saling mendahului satu sama lain. Tak ada yang bisa diprediksi siapa yang akan memenangkan lomba ini. Detik ini, peserta ini yang lebih cepat dan ada di urutan terdepan. Detik berikutnya, peserta itu yang mendahuluinya. Detik berikutnya lagi peserta lainnya yang mendahului. Mereka semua seperti tak ingin berada di posisi paling belakang.

Suasana stadion dibuat tegang melihat hal tersebut. Terlebih pendukung Henry yang berulangkali menarik napas karena Henry tak bisa mempertahankan posisi awal lebih dari tiga detik. Meski begitu, mereka masih memiliki harapan karena Henry masih bisa mendahului meski sedikit kesulitan.

Henry yang begitu fokus pada lintasan larinya tak bisa mengalihkan matanya dari garis FINISH yang ada di depan sana. Ia lebih mempercepat laju larinya dan berhasil mendahului peserta yang posisinya paling depan. Akan tetapi……

Deg!

Henry merasa ada yang aneh dengan kaki kirinya. Atau tepatnya…. pergelangan kaki kirinya!

Ada rasa nyeri yang berdenyut di sana walaupun tidak terlalu hebat. Untungnya, rasa nyeri itu tak membuatnya harus mengurangi kecepatan larinya. Ia masih bisa mendahului beberapa peserta yang berhasil mendahuluinya beberapa detik lalu.

Semakin lama rasa sakit itu semakin terasa dan cukup berhasil membuatnya kehilangan sedikit keseimbangan tubuhnya. Namun, bukan Henry namanya kalau membiarkan rasa sakit itu membawanya ke pintu kekalahan. Sambil berusaha mengabaikan rasa sakit itu, ia kembali mempercepat larinya.

Jaebum, paman Henry dan Pelatih Park Jung Soo yang berdiri di dekat garis FINISH merasakan keanehan pada diri Henry. Mereka saling pandang dan menatap Henry cemas.

Sementara itu, Henry yang masih berusaha mempertahankan kecepatan larinya semakin dibuat kesakitan dengan pergelangan kakinya yang berdenyut hebat setiap kali ia mendaratkan kaki kirinya ke permukaan lintasan.

“Aakkh!”

Rasa sakit yang sudah tak bisa Henry abaikan akhirnya membuatnya berhenti mendadak. Kini ia bisa merasakan kakinya serasa putus dan begitu menyakitkan. Keringat dingin menghiasi keningnya. Napasnya menderu. Dan semuanya terasa melamban. Laju lari peserta lainnya terlihat begitu pelan. Sorai sorai pendukung juga melamban.

Seolah dirinya berada di dalam sebuah keadaan slow motion di mana seseorang dengan sengaja melakukannya.

Di saat itulah ia mendengar teriakan Kyuhyun dari arah garis FINISH. Dilihatnya sosok kakanya melambaikan kedua tangan dan melompat-lompat sambil memanggil namanya. Di tangan kakaknya terdapat dua botol jus jeruk dingin.

 

Hyung, apa kau kemari karena ingin melihatku berlari?

 

Kyuhyun ingin Henry menang.

 

Ini sakit, Hyung. Aku tak bisa menahannya lagi.

 

Kalau begitu, Kyuhyun ingin Henry segera ke garis FINISH.

 

Aku tidak bisa menggerakkan kakiku, Hyung. Ini sakit sekali.

 

Henry sampai di garis FINISH, bagi Kyuhyun, Henry sudah menang.

 

Hyung,……

 

Kyuhyun menunggu Henry di sini.

 

Hyung

 

Sepatunya pas untuk Henry. Henry keren dengan sepatu itu. Henry suka, kan? Sepatunya pas untuk Henry. Henry keren dengan sepatu itu.

 

Tangan Henry mengepal erat. Disekanya air mata yang jatuh dari pelupuk matanya sebelum berusaha untuk berlari lagi. Dan seiring dengan langkah kakinya yang semakin cepat, suasana seolah kembali seperti semula. Peserta lain berlari kencang di depannya dan semua pendukung berteriak keras.

Tanpa menghiraukan rasa sakit yang menyelimuti kaki kirinya, Henry berlari kencang ke arah garis FINISH. Matanya tertuju pada sosok Kyuhyun yang ada di belakang pamannya. Kehadiran kakaknya tersebut seolah membuatnya lupa akan rasa sakit yang kini ia rasakan.

“Henry-ya! Henry-ya! Henry-ya!” teriak pamannya dan Jaebum hampir bersamaan ketika ia berhasil berlari di posisi paling depan.

Dengan segala kekuatan yang ada, Henry mengayunkan kakinya dengan cepat hingga yang ia dengar hanyalah derap kakinya sendiri. Semua suara yang ada di sekelilingnya seolah menghilang begitu saja. Tak ada yang bisa ia dengar kecuali panggilan kakaknya.

 

Hyung, aku sampai.

 

Aku sampai.

 

Kata-kata tersebut Henry ucapkan dalam benaknya saat ia menyadari baru saja melewati garis FINISH. Bersamaan dengan itu, semua suara kembali bisa ia dengarkan dengan kedua telinganya. Begitu juga, rasa sakit yang sangat menyakitkan pada pergelangan kakinya yang langsung bisa ia rasakan.

 

Bruk!

 

Henry tersungkur dan mengerang kesakitan. Saat tangannya yang mencoba memegang kakinya, tanpa sengaja ia menyentuh sesuatu pada dadanya. Matanya terbuka dan di tangannya ada sebuah pita panjang berwarna putih.

Sebuah pita.

Pita berwarna putih.

Terdengar sorakan teman-temannya yang memanggil-manggil namanya dari arah tribun. Selain itu, sayup-sayup ia mendengar suara teriakan kakaknya.

 

“AAAAAAAAA! HENRY MENANG! HENRY MENANG! HENRY MENANG! HENRY JUARA SATU!”

 

Kesadaran Henry kembali takkala tiba-tiba tubuhnya diangkat oleh beberapa orang yang ternyata adalah Jaebum dan Pelatih Park.

“Henry-ya, kau tidak apa-apa?” Jaebum tampak khawatir setelah sebelumnya melihat Henry terjatuh di dekat garis FINISH.

“Apa aku menang? Apa aku menang?” tanya Henry yang hampir terjatuh karena tak bisa berdiri tegak. Untung saja Pelatih Park dengan sigap menahan tubuhnya.

“Iya, kau menang. Kau menang, Brengsek.” Jaebum langsung memeluknya sambil terus mengumpat padanya.

Beberapa temannya yang lain dan staf sekolah berlari ke arahnya. Memberondongnya dengan pelukan, ucapan selamat dan belaian pada kepala dan bahunya. Ia harus mengucapkan terima kasih pada mereka sambil meringis kesakitan menahan sakit pada kakinya.

“Kalau sudah tidak bisa, kenapa harus dipaksa?” tanya Pelatih Park saat memapahnya ke pinggir dibantu oleh pamannya.

“Anak muda jaman sekarang sangat keras kepala, Pelatih,” jawab Henry terengah-terengah yang kemudian mendapat pukulan pelan di kepalanya oleh pamannya sendiri.

“Mungkin setelah ini kau harus menjalani terapi lagi. Kau tidak apa-apa dengan itu?”

Henry tersenyum. “Silakan melakukan apa saja, Pelatih. Asal saya bisa berlari lagi.”

 

Karena ada Hyung yang menungguku di garis FINISH.

Aku akan melakukan apapun untuk sampai di sana.

Tidak peduli bila aku tidak bisa berlari lagi atau benar-benar kehilangan kedua kakiku, aku akan tetap berusaha sampai di sana.

Karena Hyung-ku menungguku di sana.

 

Langkah kakinya yang tertatih terhenti sejenak. Kepalanya menoleh ke segala arah, mencari sosok kakaknya yang ia yakini masih ada di sini.

Kedua matanya menangkap sosok Kyuhyun yang berdiri cukup jauh darinya. Dilihatnya kakaknya tersebut mengangkat kedua jempol tangan tinggi-tinggi sambil menyunggingkan senyum lebar.

Perlahan air mata jatuh dari pelupuk matanya meski ia memaksa dirinya untuk tidak menangis. Sebuah senyuman ia coba ulas di bibirnya pada Kyuhyun.

 

Hyung, terima kasih.

Terima kasih untuk semuanya.

Jika, suatu hari nanti aku benar-benar menjadi atlet lari internasional, aku akan memberitahu dunia bahwa aku memiliki seorang kakak yang paling hebat dan paling keren di dunia.

Tidak

Aku akan benar-benar menjadi atlet lari internasional.

Aku akan membeli meja yang lebih lebar lagi, jadi aku bisa menaruh lebih banyak piala lagi sampai kau tidak bisa menghitungnya lagi.

Dan saat aku memenangkan perlombaan, lalu mendapatkan piala, aku akan memanggil namamu di depan semua orang.

Kyuhyun Hyung…, terima kasih

.

= = = T H E   E N D = = =

7 Comments (+add yours?)

  1. cutmasrurah
    May 19, 2016 @ 12:27:19

    Ah sukaaaaaaaa. Jarang2 ada ff y brothership gini.
    Penulisannya rapi. Hampir tidak ditemukan typo.

    Reply

  2. Laili
    May 20, 2016 @ 09:02:01

    Keren… Iya, udah jarang ff yg bromance nya kuat bgt kek gini. Sempet bingung di awal dan ternyata Kyuhyun keterbelakangan mental. Hnery sayang bgt sama Kyuhyun jg sebaliknya. Pesan moralnya jg nyampe. Good job….

    Reply

  3. smil3leery
    May 25, 2016 @ 21:51:55

    Aarrghhh.. baper nih bacanya… kerasa banget rasa persaudaraannya… sukaaa banget bacanya…

    Reply

  4. Farhatsam
    Jul 13, 2016 @ 08:01:49

    Suka banget sama ff in!! Ga ngebosenin bahasanya juga enak aku suka! Feelnya dapet banget!! Author daebakk!!

    Reply

  5. silver
    Oct 14, 2016 @ 13:57:44

    arrgghh.. keren banget ff nya, feel nya dapet banget d^^b. ampe nangis loh baca nya(╥_╥)
    DAEBAK!!

    Reply

Comment's Box