Silent [15a/?]

silent1333

Silent 15 (a)

Author : R.A

Cast : Lee Donghae (SJ)

Lee Hyukjae (SJ)

Cho Kyuhyun (SJ)

Kim Hana (OC)

Choi Siwon (SJ)

Sandara Lee (OC)

Genre : Romance, family, friendship

Rate : PG-15

 

***

 

Dua tahun adalah waktu yang cukup bagi Dara untuk mengenal Siwon lebih dekat. Hampir tidak ada yang tidak ia ketahui. Makanan kesukaan atau sekedar hobi, itu hanya hal-hal wajar yang pasti sudah diketahui dalam hubungan percintaan. Dara sudah tahu lebih dari itu, termasuk apa yang suka di igaukan Siwon saat tidur. Ia tahu, Siwon adalah pria yang ramah, rela melakukan hal-hal yang kadang dianggap ‘kelewat baik hati’ oleh orang lain. Siwon adalah tipe orang yang dengan senang hati menolong seekor kucing yang tergeletak di jalan. Siwon juga akan menyempatkan datang ke suatu acara temannya sekalipun pesawat sudah membunyikan klaksonnya. Oke, itu berlebihan. Tidak ada dalam sejarah kalau pesawat punya klakson. Intinya seperti itu. Siwon adalah pria yang sangat dikagumi oleh Dara. Diluar kekagumannya karena Siwon begitu gigih dalam meraih hatinya, Siwon memang orang baik.

Tapi setelah menjalani hubungan serius, Dara mulai tahu hal-hal yang sebelumnya tertutupi. Siwon, rupanya sama seperti manusia normal lain. Jika dulu Dara pikir Siwon tidak bisa marah, ternyata ia salah.  Dalam beberapa situasi yang dianggap Siwon membuatnya terancam, ia akan menampakkan kemarahan yang bahkan tak pernah di prediksi oleh Dara. Dulu sekali, Dara pernah mengerjai Siwon dengan mengatakan bahwa ia ingin putus. Saat itu juga Siwon meremas tangannya begitu kuat sampai memerah. Untuk pertama kalinya Dara bisa menemukan sisi lain seorang Choi Siwon. Pria itu menatapnya tajam, kilatan mata itu mampu membuat Dara tak mampu berdiri. Bahkan Siwon berteriak tepat dimukanya dan mengancam tidak akan membiarkannya pergi. Jadi setelah kejadian itu, Dara berjanji tidak akan melakukan hal-hal konyol yang bisa menyebabkan kemarahan Siwon muncul. Bukan karena ketakutannya, melainkan karena memang ia mencintainya dan tidak mau merusak hubungan itu.

Tapi Dara sudah melanggar janji itu. Ia jelas tahu apa yang terjadi kalau ia berulah lagi. Dan benar saja, Siwon ‘mengamuk’. Ia tak pernah menyangka kalau calon suaminya itu sudah membuat heboh media selama beberapa hari. Siwon menabrak traffic light dan mengakibatkan kemacetan. Meski tidak ada korban jiwa karena semua orang berhasil menghindar, ia sempat merasakan dinginnya ruang sempit berlapis jeruji besi di kantor polisi selama tiga hari. Ia sendiri hanya mengalami luka kecil di kepala. Sedangkan Dara yang berada di sampingnya kala itu mengalami gegar otak ringan.

Tadinya berita tentang rencana pernikahan mereka yang dipercepat sempat jadi bahan perbincangan sebelum akhirnya berita kecelakaan itu jadi lebih menarik. Kebanyakan mengira kecelakaan itu akan membuat pernikahannya di tunda. Begitupun harapan Dara. Ia sempat berharap bahkan punya rencana gila untuk membatalkannya. Kalaupun ia tak punya nyali untuk mengatakan batal pada Siwon, ia yakin Siwon dengan sendirinya akan mengundur hari pemberkatan karena kondisi tubuh mereka. Sayangnya itu hanya angan-angan belaka. Malam dimana mereka sempat menginap di rumah sakit, Siwon duduk di sisi ranjangnya, tidak beranjak sekalipun ia perlu ke toilet. Dengan segala permohonan maaf atas sikapnya yang diluar kendali, ia memohon agar Dara tidak mengubah apapun atas kejadian tersebut. Dan pada kenyataannya Dara tak setega itu.

“Minggu depan, kita, tetap, akan, menikah.”

Dara meneguk ludahnya sendiri. Setelah permohonan maaf itu, Siwon dengan tegas mengatakan bahwa tidak akan ada yang berubah, apapun yang terjadi. Bahkan kalau tiba-tiba nanti akan ada badai, Siwon tetap akan membawa Dara kemanapun dan mencari pendeta yang bisa menikahkan mereka sekalipun faktanya takkan semudah itu.

Dalam masa-masa ini, Dara tak merasakan indahnya hari-hari menjelang pernikahan. Ia justru merasa ketakutan. Siwon berubah seperti orang yang tak dikenalnya. Selain sifatnya yang suka meledak tiba-tiba, rupanya pria itu tak segan menggunakan fisik untuk melemahkannya. Tapi dalam suatu kali, Siwon juga bisa berubah lembut seperti semula. Siwon memeluknya dengan erat, bicara dengan lembut seakan-akan sebelumnya ia tak pernah marah. Sampai titik ini, mau tak mau Dara kembali meragukan keputusannya untuk menikah.

“Cocok sekali ditubuhmu.”

Dara tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Beberapa waktu lalu sebelum seseorang datang dikehidupannya, ia tak pernah bermimpi bahwa ia akan mencoba gaun pengantin dengan hati berantakan seperti ini. Ia ingin bilang tidak mau, tapi semua sudah terlanjur berjalan jauh. Ia menahan diri, tapi rasanya bom dalam dirinya akan sampai pada batas dan meledak.

Melihat tingkah Siwon yang sejak pagi begitu perhatian, Dara merasa semakin gamang. Kenapa moodnya suka berubah-ubah begitu cepat? Akan beginikah nanti ketika mereka sudah menikah? Siwon yang ia kenal bukan yang seperti ini. Bukan Siwon yang over protektif seperti ini yang ia mau.

“Kau cantik sekali, sayang.”

Dara memejamkan mata ketika Siwon memeluknya dari belakang, meletakkan dagu dibahunya yang tak terutupi sehelai kainpun. Ia tahan nafas saat Siwon mencium kulit bahunya, menghirup aroma tubuhnya. Aneh, ia tak merasa mabuk atau berdebar-debar seperti dahulu. Sekarang semuanya benar-benar berbeda.

“Siwon…” Dara menggumamkan nama itu dengan lirih. Siwon masih mencium bahunya. Hembusan nafas Siwon membuatnya geli sekaligus takut. Dingin dan hangat jadi satu. Sakit dan senang bercampur. Tawa dan tangis pun datang bersamaan. Ia eratkan pegangannya ditangan pria itu. Ia genggam kuat-kuat sambil berdoa agar diberi keyakinan. Tapi….

“Kau tidak akan meninggalkanku, kan?”

Tak sadar setitik air matanya jatuh. Dengan cepat matanya terbuka, dapat ia lihat pantulan tubuh mereka pada cermin. Dan yang ia temukan bukanlah sepasang kekasih yang sedang di ambang kebahagiaan menyambut kehidupan baru, melainkan ketimpangan suatu hubungan yang tak seimbang.

Siwon tersenyum padanya, sekali lagi mengecup bahunya, berpindah pada pipi lalu memutar tubuhnya dan mendaratkan ciuman.

“Aku tahu kau tidak akan meninggalkanku.”

Ya, Dara harap begitu. Ia juga tak berminat untuk berbuat macam-macam. Kecuali jika saatnya tiba nanti, ia tak juga temukan satu alasan benar kenapa ia harus bersama lelaki ini, ia bisa saja melakukan hal diluar akal sehat.

***Final Chapter***

Sudah lama tidak turun hujan. Dan di akhir-akhir musim gugur ini, Hujan sepertinya akan datang lebih besar dari sebelumnya. Sejak sore langit sudah berubah mendung. Petir bersahutan dan berlomba-lomba membuat anak kecil ketakutan dibalik selimut. Kilat menyambar terus lebih kuat setiap waktu. Tapi Hana tak gentar. Sejak kecil ia atak pernah takut dengan hal-hal seperti itu. Malah pernah ia keluar dari rumah hanya untuk melihat lebih jelas seperti apa kiranya petir itu. Dan menurutnya, itu adalah pemandangan yang takkan kau lihat setiap hari, sangat menakjubkan.

Jadi ia sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Ayahnya. Jangan tanya sudah berapa lama ia ada disana. Ia sudah menarik nafas berkali-kali, ia juga menghitung berapa kali suara gemuruh yang berasal dari langit terdengar.

Ia sudah memikirkannya dua hari ini. Dan ia sadar sudah bersikap kekanakan dengan tidak mau keluar kamar jika orang tuanya sedang di rumah. Hanya pada tengah malam ia akan keluar diam-diam lalu makan apapun yang masih tersisa di kulkas, termasuk eskrim. Seperti anak kecil, ia juga tidak mau bicara dan tidak mau kuliah. Tapi malam ini ia berhasil melawan kebodohannya itu. Ia keluar kamar lalu menuju ruang kerja ayahnya.

Ia tahu, api takkan bisa menang kalau yang dilawan adalah api juga. Jika orang tuanya terus memaksa dan ia juga melawan dengan urat tegang, rasanya tidak akan ada titik temu. Itu yang ia pelajari dari pria yang sudah memutuskannya beberapa hari lalu. Ia ingin mencobanya. Dan ia harap ini akan berhasil.

“Ayah..”

Tak sadar ia sudah mengetuk pintu berkali-kali dan memanggil ayahnya. Begitu ada sahutan dari dalam, ia dorong pintu tersebut. Yang pertama kali ia temukan adalah bayangan tubuh ayahnya. Matanya perlahan-lahan naik dan tiba juga pada seseorang yang ingin ia ajak bicara itu.

Ayahnya berdiri membelakanginya sambil menatap keluar jendela. Masih mengenakan kemeja yang sudah kusut, Hana merasa ayahnya tampak begitu kuat sekarang. Seperti seorang petinggi yang bahkan tidak berani kau tatap bayangannya. Tapi lain bagi Hana. Ia tak takut apapun.

“Ayah…”

Suaranya bergetar. Ia mantapkan untuk melangkah satu persatu hingga jarak semakin tipis. Ayahnya tak berbalik, matanya masih tertanam pada pemandangan luar yang tidak seindah biasanya. Setidaknya itu menurut pendapat Hana. Diluar tak ada bintang. Petir masih aktif dan lampu kota tak berkerlap kerlip.

Hana diam tepat di depan meja kerja ayahnya. Dalam satu tarikan nafas ia berujar, “Aku ingin tahu alasannya. Aku ingin dengar.”

Saat itu juga petir datang lebih nyaring dan guci di sudut ruangan bergetar. Hana rasa nyalinya perlahan-lahan terus tumbuh, bukannya mengecil.

“Apa setelah mengetahuinya kau akan menuruti kemauan ayah?”

Hana sangat tahu kalau ini tidak akan mudah. Ia sudah lihat sendiri bagaimana seseorang yang tak mau ia sebut namanya itu datang pada ayahnya dan bicara baik-baik tapi mendapat respon tak mengenakkan. Dan ia adalah putrinya yang hidup bersama selama hampir 22 tahun. Ia mengenalnya, ia tahu sifatnya. Jadi ia tahu ini bukanlah momen yang bisa menghasilkan tawa dan ia lebih tahu apa yang harus ia lakukan untuk meredam perang dingin ini.

“Aku perlu tahu kenapa,” jawabnya tegas meski sama sekali tak memuaskan ayahnya. Lama mereka sama-sama diam di menit-menit berikutnya. Hana urung untuk mundur, berapapun waktu yang dibutuhkan ayahnya untuk bicara, ia akan tunggu. Ia sangat ingin tahu apa yang membuat ayahnya menolak mimpinya itu.

“Sewaktu muda, aku dan Kim Tae Guk adalah penyanyi di sekolah. Kami sering mengisi acara-acara pertemuan guru dan wali murid, atau acara penting lain.”

Kim Tae Guk adalah nama pamannya atau adik dari ayahnya yang meninggal pada usia 20 tahun karena kecelakaan. Dan sejujurnya Hana cukup terkejut dengan awal cerita ini. Ia sama sekali tidak tahu dan tidak pernah diberitahu soal ini.

“Kami juga beberapa kali diundang oleh radio kota untuk menghibur pendengar. Dan suara kami tak pernah mengecewakan orang-orang. Bahkan pihak radio mengatakan begitu banyak permintaan dari pendengar agar kami tampil kembali. Kau pasti terkejut mendengarnya.”

Ya, Hana tak menampik bahwa ia sangat kaget. Tak pernah sedikitpun ayah, ibu atau kerabat lainnya menyinggung bahwa ayah dan pamannya adalah seorang penyanyi sewaktu muda. Ini bertentangan dengan gaya ayahnya selama ini.

“Tapi semua berubah ketika Tae Guk bertemu dengan seorang gadis penari balet. Tae Guk tergila-gila padanya sampai tak mau lagi mengikuti ayah. Pamanmu seperti dihipnotis dan tidak mau tahu dunia lain selain gadis itu. Apa yang diminta gadis itu, pasti akan dilakukan oleh Tae Guk, termasuk menjauhi ayah dan keluarga.”

Hana masih tegak di belakang ayahnya. Ia semakin penasaran dengan cerita itu.

“Puncaknya, Tae Guk memutuskan untuk berhenti menyanyi dan malah sibuk mengurusi gadis pujaannya itu. Dia juga nekat ikut kelas tari dan belajar balet. Hasilnya dia diterima dalam klub dan berkat latihan keras dia dan gadis itu menjadi penari utama di sekolah. Mereka menjadi penampil utama mengalahkan ayah dalam berbagai acara.”

“Itu juga berakibat dengan memburuknya hubungan kami sebagai saudara. Nasehat ayah tak pernah didengarnya. Dia merasa gadis itu adalah segalanya hingga tak mau dengar apa-apa lagi. Dan sesuatu terjadi pada malam pementasan tari di tahun baru 1978.”

Hana mulai tegang. Meski belum tahu hal apa yang dimaksud, tapi darahnya seakan sedang dipompa kuat-kuat dan mendorongnya untuk terus setia mendengarkan.

“Ayah memergoki gadis itu bercumbu dengan pria lain. Ayah beritahu Tae Guk, tapi ia tak percaya. Baru ketika ia bersiap-siap ke atas panggung, ia terkejut karena gadis itu justru menarik pria lain sebagai pasangannya. Mereka menari dengan sangat bagus bahkan pada bagian penutupnya dengan terang-terangan mereka berciuman yang mendapatkan tepuk tangan keras dari penonton. Tae Guk naik pitam lalu memukul pria itu sampai terluka parah. Ia di tangkap polisi akibat perbuatannya itu.”

Ini bukan kisah yang indah. Hana semakin tak sabar untuk tahu apa yang terjadi selanjutnya.”Lalu?”

“Gadis itu mengatakan hanya mengincar uang Tae Guk. Setelah bosan dan puas merasakan uangnya, Tae Guk ditinggalkan. Yang mengejutkan lagi, selepas dari penjara Tae Guk mengatakan ingin tetap menari dan serius menjalaninya. Kami sebagai keluarga terus mendukung. Ia begitu giat berlatih, mengikuti kelas tari dan bertekad untuk menjadi penari professional. Sayang, penampilan perdananya seorang diri di depan orang-orang tak berjalan mulus.”

“Apa yang terjadi?”

Setelah beberapa menit, barulah ayahnya bergerak. Dari depan jendela, ia berpindah ke meja kerja lalu menatap sebentar fotonya bersama Tae Guk sewaktu muda.

“Ia di cemo’oh. Ada yang berteriak kalau ia tampak seperti badut yang hanya bisa membuat orang tertawa. Mereka salah, Tae Guk hanya terlalu gugup kala itu. Dan ternyata yang berteriak paling keras itu adalah pria sialan yang merebut kekasihnya.”

Ayahnya mulai gelisah. Hana bisa melihat mata ayahnya berair dan sengaja memutar kursi dimana ia duduk menghadap belakang. Hana yakin ayahnya sedang menahan tangis.

“Tapi Tae Guk bukan orang yang mudah putus asa. Ia adalah tipe orang yang semangatnya terus melecut ketika seseorang meragukan kemampuannya. Itu juga yang membuatnya tidak menyerah dan terus belajar demi mendapat pengakuan dari orang-orang. Dan yang sebenarnya adalah, ia juga ingin membuktikan bahwa ia lebih baik dibanding pria yang dipilih itu. Ia ingin dibandingkan dan ialah pemenangnya. Tapi…”

Tapi? Hana tak mau bertanya. Ia tunggu cerita selanjutnya.

“Tapi menggapainya tak semudah itu. Ia memilih dunia yang keras dan nyatanya ia belum berhasil mendapatkan apa yang dinginkan. Sekali ia tampil bagus,  tetap ada yang mengkritik dan mengatakan bahwa orang yang tidak bisa menjaga sikap di muka umum tidak pantas tampil. Itu mengacu pada perbuatannya dimasa lalu. Kritik terus berlanjut karena memang saat itu orang-orang sangat menuntut kesempurnaan. Ditambah dengan berita tentang pertunangan mantan kekasihnya, Tae Guk bertambah frustasi. Dan karena sudah tidak tahan dengan semuanya, akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri.”

Tubuh Hana tersentak. Jadi, pamannya bukan meninggal karena kecelakaan?

“Jadi kau paham alasannya. Ayah dan keluarga bahkan tak mau mengingatnya dan mengatakan bahwa Tae Guk mengalami kecelakaan. Kami sudah punya pengalaman pahit. Adik kecilku yang dulunya adalah anak patuh, berubah jadi tak dikenali bahkan berpikiran sempit hingga memilih mati. Dan semua itu……karena dunia yang dipilihnya. Dunia itu hanya omong kosong! Tidak berguna! Tidak akan bisa membuatmu di anggap oleh orang-orang. Tidak akan membuatmu diangkat.”

Kursi itu kembali berputar dan Hana langsung berlutut. Ia sekarang mengerti alasannya. Bukan karena ayahnya tak sayang, tapi karena ayahnya terlalu takut peristiwa yang sama terulang. Ayahnya hanya takut ia terluka. Jadi sudah jelas kalau melawan dengan emosi tidak akan menghasilkan apa-apa. Ayahnya harus melihat bukti nyata kalau apa yang ia lakukan tidak akan berakhir tragis seperti pamannya di masa lalu.

“Ayah…” Ia hela nafas sejenak sambil memejamkan mata. Suara petir sekali lagi terdengar dan seperti letupan keras yang menghancurkan sebuah bangunan terkuat. Ia buka mata pelan-pelan lalu menyatukan kedua tangannya.

“Aku bersimpuh di depan ayah. Aku kemari sebagai seorang anak pada ayahnya. Aku meminta dengan segala kerendahan hati. Aku, anakmu, meminta haknya untuk memilih apa yang menurutku baik. Biarkan aku buktikan pada ayah.”

Kilatan cahaya menerobos masuk dan sepersekian detik membuat wajah mereka berkilau. Lampu yang sengaja dimatikan oleh ayahnya membuat cahaya dari luar jendela serta sambaran petir jadi sangat berguna. Hana dapat melihat sudut mata ayahnya berair lagi. Ia tahu, ayahnya tak setega itu.

“Hana, ayah sudah pernah merasakannya. Ayah tak mau mengalaminya dua kali, kehilangan orang yang ayah sayang, melihat dengan air mata perjuangannya yang ternyata tidak menghasilkan apa-apa.”

“Aku akan buktikan pada ayah. Aku akan buktikan kalau impianku bisa membuat ayah bangga. Aku akan-“

“Kau tidak mengerti. Ayah tidak bisa melihatmu seperti ini, kau harus-“

“Segala hal yang menjadi tujuan hidup seseorang pasti butuh perjuangan. Begitupun untuk mencapai posisi ayah saat ini. Lalu kenapa aku tidak boleh memperjuangkannya kalau usahaku pun sama? Keringatku dan keringat ayah sama. Jadi ayah tak bisa menganggap kalau ini akan menyakitiku.”

“Hana!”

Ia langsung diam. Suara ayahnya menggema tepat ketika petir datang untuk ke sekian kalinya. Untuk pertama kalinya Hana merasa dadanya berdecit karena suara ayahnya.

“Kumohon. Ayah tidak bisa menyamakanku dengan paman. Masa lalu sudah berbeda dengan masa sekarang. Aku-“

“Tidak ada yang berbeda dan berubah. Jadi kubur dalam-dalam mimpimu itu. Keputusan ayah sudah bulat, kau akan melanjutkan kuliah di Inggris lalu nanti akan menikah dengan Kyuhyun.”

Titik. Seakan tidak ada lagi istilah koma dalam kata-katanya, Hana hanya terpaku dan tersudut tanpa suara. Ia kalah. Kalah sebelum diberi kesempatan untuk mencoba.

***Final Chapter***

“Aneh sekali. Ini pertama kalinya selama 6 tahun aku bekerja disini, pelanggan yang datang bisa dihitung dengan jari,” ungkap Yesung dengan mimik yang berlebihan. Ia duduk dihadapan Donghae di dekat meja kasir sambil memperhatikan situasi restoran yang tiba-tiba saja terasa seluas lapangan sepakbola. Tidak ada meja yang terisi. Pelanggan terakhir baru saja pulang dan tidak ada tanda-tanda akan ada pelanggan yang akan datang. Apalagi sudah malam begini dan sedang hujan. Ini tak pernah terjadi sebelumnya.

“Menurutmu ada apa? Apa karena hujan?” Yesung menyenggol bahu Donghae yang sepertinya sedang melamun. Donghae tak menanggapi. Kepalanya bertumpu pada tangan, matanya menatap kosong pada pintu masuk. Yesung yang penasaran mengikuti arah pandang itu. Dan yang ia temukan adalah kepala pelayan sementara yang membalik tulisan di depan menjadi close.

“Kita tutup lebih awal! Ayo cepat ganti baju!” Yesung langsung lupa dengan apa yang tadi ia tanyakan lantas menarik Donghae ke ruang ganti. Tapi Donghae bergeming. Donghae masih berat mengangkat tubuhnya dari kursi. Memangnya mereka bisa pulang sekalipun restoran tutup lebih cepat? Yang punya mobil tentu bukan masalah, tapi yang berjalan kaki atau sepeda dan tak punya payung mau bagaimana?

Donghae tak dengar apa yang Yesung katakan selanjutnya. Ia masih ingin disini. Duduk memperhatikan titik-titik air hujan yang turun sangat deras. Matanya tertumbuk pada pintu yang terbuka dan tertutup secara bergantian. Teman-temannya mulai pergi dengan menggunakan payung. Hanya Yesung yang tampak acuh dan berteriak heboh sambil berlari-lari tanpa perlindungan apapun.

Sepi….

Donghae tak yakin apakah masih ada orang disini. Harusnya masih ada satu orang penjaga yang nantinya akan mengunci seluruh pintu. Tapi ia merasa sedang sendiri. Tak ada suara selain suara hujan. Tak ada orang selain dirinya yang duduk diantara deretan meja dan kursi kosong.

“Aku ingin mengatakan sesuatu.”

“Apa itu?”

“Aku…..”

“Ya?”

“Aku………….ah, bukan hal penting.”

Tiba-tiba saja percakapannya dengan Kyuhyun kemarin malam teringat lagi. Ia jadi penasaran apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Kyuhyun. Kedengarannya penting. Sayang, Kyuhyun memilih tidak melanjutkannya. Tapi ia bisa merasakan ada sesuatu yang memang  disembunyikan darinya. Dari sikap dan aura yang ditunjukan Kyuhyun, ia tahu ada yang berbeda.

Bukan hanya Kyuhyun yang bersikap aneh. Siwon dan Dara pun begitu. Tadinya ia pikir ini hanya soal kesibukan mereka menyiapkan pernikahan –meski sebenarnya pernikahan dadakan itupun cukup mengejutkan ditengah musibah kecelakaan yang baru saja mereka alami. Setelah kembali dari rumah sakit, Siwon tak menegurnya. Undangan pernikahan pun ia dapat dari Yesung, bukan tangan Siwon atau Dara. Dan Dara sendiri tiba-tiba bersikap seakan-akan tak pernah mengenalnya. Bicara pada pelayan lain, tapi tidak dengannya. Dara bertingkah seperti dirinya tak ada disana. Lalu sekarang, tugas mereka berdua di restoran sudah digantikan sementara oleh orang lain.

Ia keluarkan handphone dari saku tanpa maksud apa-apa. Hanya menekan sembarang tombol, membuka folder pesan masuk dan keluar lalu membuka kontaknya. Satu persatu ia baca nama-nama yang tersimpan. Dan ketika sampai pada satu nama, ia berhenti.

Sejak awal ia senang mendengar nama itu disebut-sebut. Ditelinganya terasa sangat wajar dan nyaman. Mendengar nama Kim Hana, dikepalanya akan langsung terbayang gadis cuek dan jutek yang sedang menari-nari diatas panggung. Gadis yang berhasil membuatnya jatuh cinta hanya dalam sepersekian detik ketika ia menari lalu menyibak rambutnya. Donghae masih ingat rasanya bagaimana saat itu dadanya langsung berdebar-debar seperti dipukul oleh godam besar dan anehnya bukan sakit yang dirasakan. Kalau saja Hyukjae tak menariknya kala itu, mungkin ia akan rela duduk di lantai sambil terus menonton Hana.

Ia merindukan masa-masa dimana Hana kerap berlatih setiap malam di kampus lalu ia dengan senang hati menjadi penjaga tak terlihat yang setia. Ia berdiri dibalik pintu, mengintip sebisa yang ia mampu lalu pergi meninggalkan sebotol air.

Sekilas ia melihat beberapa orang melintas dipinggir jalan menggunakan payung. Dan ada sepasang pria dan wanita yang memakai satu payung hingga sebagian tubuh pria itu basah. Sepertinya ia akan cukup lama berada disini. Ia tak punya payung lagi. Satu-satunya payung yang ia miliki sudah ia berikan pada gadis bodoh yang kala itu tak membawa mobil dan berdiri di bawah pohon. Apakah gadis itu masih menyimpannya?

Sekarang ia baru tahu kalau selama ini ia terlalu banyak melakukan kebodohan. Andai saja dulu ia lebih berani, mungkin jadinya tak begini. Andai ia bukanlah sipenguntit baik hati melainkan muncul sebagai seseorang yang ingin menjadi teman, mungkin hubungan mereka tak serumit ini. Andai juga ia memberikan payung dan air itu secara terang-terangan, mungkin gadis itu takkan sempat salah paham. Dan andai Hyukjae tak pernah menyukai gadis itu, mungkin saat ini yang tengah berdebar-debar untuk bicara dengan ayah Hana adalah dirinya sendiri.

Hana memang luar biasa. Bahkan Donghae merasa gadis itu sedang berdiri di depan pintu. Dengan basah kuyup serta kedinginan, ia berdiri tanpa berusaha untuk mengetuk atau memanggilnya.

Tunggu!

Seseorang?

Donghae lekas berdiri lalu berlari ke arah pintu. Ia tidak sedang berhalusinasi. Memang ada seseorang yang berdiri dihadapannya. Memeluk diri sendiri dan tidak mengangkat muka. Dan Donghae tahu siapa dia.

“Hana!”

Secepat anak panah menyambar tujuan, ia sudah berada diluar memeluk Hana. Ia biarkan dirinya ikut basah. Ia biarkan sekali lagi ia jadi batu pelampiasan yang akan terima apapun yang akan dilakukan Hana.

Hana diam seperti patung. Hanya memeluknya dan tidak mengatakan apa-apa. Sial! Kenapa Hana harus datang padanya dalam keadaan seperti ini lagi? Kenapa tak ia yang datang lebih dulu dan bisa mencegah sesuatu yang tidak ia ketahui itu hingga Hana tak begini? Ini memalukan. Ia pernah bersumpah hal semacam ini tidak akan terulang. Tapi belum kering janji itu, hal yang sama justru terjadi lagi. Satu-satunya yang berbeda adalah bahwa Hana tak menangis sedikitpun. Hana hanya memeluknya sangat erat.

Sekarang, hujan yang turun seperti jarum-jarum yang menusuk kulitnya hingga berdarah. Ia rasa ada sesuatu yang jauh lebih menyakitkan lagi yang dialami Hana. Tapi selama Hana tak mengatakan apa-apa, ia memutuskan akan ikut diam. Hal pertama yang harus dilakukannya adalah membawa Hana masuk kemudian………

“Aku kalah.”

Hana meremas dadanya. Ditengah guyuran hujan, ia masih bisa dengar dua kata yang Hana ucapkan berulang-ulang.

“Aku kalah. Aku kalah. Aku kalah.”

Setengah jam berikutnya mereka tidak saling bicara. Donghae jadi lupa tentang apa yang harusnya ia lakukan. Dan setelah setengah jam yang tampak bodoh itu, akhirnya mereka menangis bersama-sama. Hana tak sekuat yang ia bayangkan. Donghae pun sibuk menyalahkan dirinya.

Air terus mengguyur tubuh mereka hingga menggigil. Beberapa orang mondar mandir menggunakan jas hujan atau payung lewat begitu saja. Dan sebuah lamborghini merah baru saja melintas cepat hingga menyiram sebagian tubuh mereka. Tak ada pengaruhnya. Masih sama. Mereka tenggelam dalam keterpurukan masing-masing. Tidak merasakan apa-apa lagi selain sakit. Dan tidak lihat apa-apa selain gelap.

***Final Chapter***

Hyukjae berdiri dengan payungnya. Tangannya memegang gagang payung begitu kuat sampai-sampai ia merasa sanggup untuk meremukkannya. Ia tahu ia bisa melakukan sesuatu, tapi…bolehkah?

Ia sudah berada disini dalam waktu cukup lama. Ia bisa melihat Hana begitu membutuhkan seseorang untuk berbagi beban yang menghimpitnya. Andai situasi tak seburuk ini, ia akan dengan tangan terbuka menerimanya. Tapi pada kenyataannya, mungkin dirinya adalah alasan atas sakit yang Hana rasakan.

Ia tidak akan menarik kata-katanya. Ia sudah memilih dan baginya derita ini tidak akan lama. Waktu akan terus berjalan dan setahunya waktu adalah obat paling mujarab dalam menyembuhkan luka. Begitupun dengan Hana. Luka gadis itu pasti akan segera sembuh dan dirinya takkan lagi diingat. Ia hanya akan menjadi seorang pria biasa yang pernah mencampakkannya. Hanya begitu.

Namun, ia tidak punya cukup kekuatan untuk diam disini saja. Batinnya mengatakan ia masih bisa melakukan satu hal saat ini. Ia bisa meredam sedikit sakit itu. Ia boleh maju tapi tidak dengan niat yang lebih. Tapi, apakah tidak apa-apa? Bagaimana kalau begitu tiba disana ia justru semakin lemah dan menyerah untuk lari? Bagaimana kalau ia tidak bisa menutupi perasaannya? Bagaimana kalau ia kehilangan kendali?

Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya ia mulai melangkah. Terus berjalan sekalipun genangan air hampir menenggelamkan sepatunya. Ia yakin ini bukan suatu kekeliruan. Karena apapun yang akan terjadi nanti, tidak akan mengubah keputusannya.

Dalam perjalanan singkat itu, semua terasa melambat dan sangat lama. Waktu seolah berjalan dua kali lebih pelan dan dua orang itu berada bermil-mil jaraknya. Mereka sulit dijangkau. Mereka terasa sangat jauh sedangkan ia masih terseok-seok mendaki jalan yang menanjak. Rasanya bukan jalan lurus beraspal yang ia lewati melainkan tumpukan batu panas yang bisa menghanguskan kakinya. Tapi ia bisa melawan semuanya. Ia bisa merasakan bahwa ia semakin dekat dengan tujuan dan akan segera tiba. Waktu yang terasa lama perlahan-lahan kembali normal dan sekarang……..ia berdiri tepat di samping mereka.

Donghae dan Hana masih saling berpelukan. Ia tak bisa mengatakan bahwa mereka tak sedang menangis. Hujan cukup membantu untuk menyamarkannya, tapi ia tahu mereka sedang terluka dan mencari obatnya. Sebelum mulutnya mengatakan sesuatu, ia pejamkan mata. Ia pegang lebih kuat payungnya sebelum  akhirnya ia letakkan payung itu di atas kepala mereka.

Satu persatu hujan mengenai tubuhnya. Mulai dari rambut, wajah, bahu, hingga terus ke bawah dan seluruh tubuhnya bersatu dengan air. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ia harus memposisikan diri dengan baik. Bukan sebagai Lee Hyukjae yang mereka inginkan. Ini adalah Lee Hyukjae yang sebenarnya.

“Apa kalian sudah gila???” Suaranya tidak seceria yang ia harapkan. Sekali lagi ia berteriak melawan suara hujan sekaligus untuk menyadarkan mereka. “Apa kalian sudah gila???????”

Baru sadar tidak ada air yang menjatuhi kepala mereka, mereka kompak membuka mata dan sama-sama tertegun. Hyukjae merasa jantungnya mulai tidak karuan. Hatinya mulai menangis-nangis dan mengatakan bahwa ia harus memeluk Hana. Tapi itu tak ia lakukan. Ia tersenyum lagi lalu berkata, “Apa kalian juga sedang syuting sebuah drama? Ini sudah malam dan hujan deras. Episode selanjutnya tidak akan tayang kalau kalian sakit.”

Ia tertawa pelan seakan-akan perkataannya benar-benar lucu sementara Donghae dan Hana menatapnya keheranan. Ia tak mengurangi intensitas keceriannya. Dengan menggoyang-goyangkan sebelah tangannya yang bebas, ia berujar lagi, “Ah, kalian tidak kasihan melihatku kehujanan sementara kalian tidak? Kalian tidak kasihan pada tanganku yang rela memegangi pay-“

Payungnya terlepas. Terbang terbawa serbuan angin dan hujan sementara ia dilanda keterkejutan hebat karena ulah Hana. Gadis itu memeluknya begitu erat, meremas pakaiannya, menenggelamkan kepalanya dalam pakaiannya yang juga basah.

“Hey, hey. Apa yang kau lakukan? Lihat! Payungku terbang. Ah, kau harus tanggung jawab karena-“

“Kenapa kau bisa tertawa seperti ini?”

Hyukjae diam. Ia biarkan Hana meraih kerah bajunya dengan kuat. “Ajari aku cara tertawa ditengah situasi sialan ini! Beri tahu aku supaya bisa tertawa bahagia sepertimu. Katakan padaku caranya. Katakan!”

Hana menangis lagi lalu memukul-mukul dadanya dengan lemah. Hyukjae tak mau melakukan apa-apa meski ia punya peluang paling besar untuk  menenangkannya. Kedua tangannya juga nyaris terangkat dan memeluk Hana. Tapi akhirnya telapak tangannya hanya terjuntai dan terkepal. Pukulan Hana yang datang bertubi-tubi sudah cukup untuk membuatnya merasa hampir gila. Hana sakit karenanya. Hana menangis juga karenanya. Dan ia hanya jadi patung sekarang.

Kata-kata lucu yang sempat ia persiapkan sudah buyar. Mulutnya yang sempat terbuka dan mengatakan kebohongan tidak bisa lagi bekerja. Mulutnya terkatup. Giginya mengeras menahan teriakan yang hampir lolos. Yang tersisa hanyalah senyum yang dipaksakan. Ia masih bisa tersenyum kecil sebagai senjata satu-satunya.

Matanya lalu tertuju pada Donghae yang menatapnya prihatin. Sialan! Ia bahkan sedang dikasihani saat ini. Atau ia sedang dianggap begitu memalukan karena ingin lari?

Hana terus memukulnya meski secara bertahap pukulan itu hampir tak ada rasanya. Semakin lemah, tidak bertenaga dan akhirnya Hana jatuh kehilangan kesadarannya.

“Hana!”

***Final Chapter***

Masih berada dimalam yang sama, tiga orang yang sama, tapi di tempat yang berbeda. Hujan sudah reda. Hanya menyisakan genangan air dimana-mana, air sungai hampir menguap, dan sampah daun yang berceceran. Meski sesekali petir datang dengan kekuatan yang terbilang kecil, sepertinya hujan takkan menyusul lagi.

Donghae meremas gorden yang terbuka dari jendela. Ada setetes air yang jatuh dari ujung rambutnya dan membasahi tangannya yang mulai mengering. Tubuhnya yang menggigil tidak ia perdulikan. Baginya, apa yang baru saja terjadi adalah akibat kebodohannya. Harusnya ia bisa mengambil alih situasi, membawa Hana ke dalam restoran atau kemanapun. Tapi semua sudah terlanjur terjadi, Hana pingsan didepan matanya dan kini belum membuka mata. Dari kaca jendela, ia bisa melihat pantulan tubuh Hana yang masih terbaring dengan bibir membiru serta rambut basah. Dan ada satu orang yang sejak tadi enggan melepas tangan Hana.

Ia membalikan badan untuk melihat lebih jelas. Hyukjae masih ada disisi Hana, masih menggenggam tangannya. Ia tahu saat ini Hyukjae pun sedang menyalahkan diri sendiri. Dan sama sepertinya juga, ia hanya akan putus asa karena semuanya takkan bisa diulang. Kadang, ketika sesuatu yang buruk terjadi dan tidak ada orang lain yang bisa disalahkan, maka diri sendiri yang akan dijadikan sasaran kemarahan. Hyukjae dan ia sama. Sama-sama benci diri mereka sendiri.

“Apa setelah ini kau tidak akan mengubah keputusanmu?” Donghae bertanya pelan. Ia tak bisa memahami jalan pikiran Hyukjae kalau ternyata jawaban yang didapat adalah sama. Tidakkah Hyukjae kurang puas melihat derita Hana? Tapi Hyukjae tak mengatakan apa-apa. Diam saja.

“Apa kau ingin melihat Hana bunuh diri baru kau mau kembali padanya?”

“Hana tidak akan melakukan itu! Dia masih waras!” Hyukjae berdiri lalu melepas tangannya dari Hana.

“Tapi dia akan gila kalau kau tetap meninggalkannya!”

“Memangnya setelah aku kembali aku bisa apa? Apa kau tahu cara untuk meluluhkan hati ayahnya? Kau tahu caranya, huh?” Hyukjae mendorongnya ke dinding. Kalau tak mengingat dimana mereka berada, mungkin mereka kembali adu kekuatan seperti beberapa hari lalu. Tapi Hyukjae menjauh, berpegangan kuat pada besi tempat tidur Hana.

“Aku tidak mau membuat Hana melawan orang tuanya. Aku tidak bisa.”

Donghae menghantupkan kepalanya pelan ke dinding. Ia benci mendengar nada keputus asaan dari Hyukjae. “Itu yang harus kau temukan! Kau harus cari cara supaya orang tua Hana mau melihatmu. Kau harus buktikan pada mereka!”

“Ada apa ini?”

Perdebatan sengit itu tak berlanjut karena pintu segera terbuka dan Kyuhyun muncul dibaliknya. Pria itu cukup lihai untuk menutupi kekhawatirannya dengan tetap berdiri tegak, memasang  wajah datar dan bertanya lagi, “Apa yang terjadi?”

Tapi Donghae dan Hyukjae sedang tak berminat untuk bercerita. Mereka hanya diam lalu sama-sama menjauh. Hyukjae memilih jendela sebagai pelampiasannya sementara Donghae menghempas tubuhnya ke sofa. Donghae meremas rambutnya kuat-kuat hingga sisa-sisa air membasahi tangannya. Ia benar-benar butuh pencerahan. Berharap juga  ada keajaiban sehingga satu permasalahan utama yang menghambat hubungan Hyukjae dan Hana tak ada lagi.

“Dia sadar!”

Donghae langsung bangkit begitu mendengar pemberitahuan Kyuhyun. Ia berdiri tepat di depan tempat tidur, sedangkan Hyukjae berada di sisi kiri Hana.

“Kau sudah sadar?”

Donghae lah yang pertama kali berhasil menanyakannya. Hana tampak masih berjuang mengumpulkan kesadaran dan mencerna situasi. Mata gadis itu berkedip-kedip lalu ia pijit kepalanya. “Aku di rumah sakit?”

Donghae tersenyum lantas mengatakan ‘ya’ seakan-akan hanya ia yang punya mulut disana. Ia hampir bicara lagi kalau saja pintu tidak tiba-tiba terbuka kembali dan kali ini menampakkan orang tua Hana. Mereka langsung memeluk anak mereka penuh kasih. Donghae bisa melihat itu dari mata mereka. Sayang, Donghae terlanjur menaruh cap jelek untuk mereka.

“Kyuhyun, apa yang terjadi?”

Donghae mengernyit lalu segera bertukar pandangan dengan Hyukjae yang sepertinya tak kalah terkejut. Sejak kapan orang tua Hana mengenal Kyuhyun? Sama-sama mereka menatap Kyuhyun meminta jawaban. Tapi Kyuhyun tidak menjawabnya. Pria itu mengunci mulutnya rapat-rapat.

“Hyukjae? Apa yang kau lakukan? Oh, kau yang menyebabkan Hana begini?”

Donghae bisa melihat ke dalam bola mata Kim Yun Jae dan ia merasa ada kebencian yang besar disana. Seolah-olah Hyukjae dan dirinya hanya sampah tak berguna disini yang cuma bisa mengacau.

“Bisa kalian keluar dulu? Aku ingin bicara dengan orang tuaku.” Suara Hana menengahi dan dengan pasrah Donghae berjalan menyusul Hyukjae yang lebih dulu tiba di depan pintu. Entah di dorong semangat untuk segera enyah dari situ atau hanya tak mau membantah Hana, Hyukjae berjalan paling cepat dan sudah berada di luar. Namun, langkah mereka sempat tertunda ketika Hana melanjutkan permintaannya. “Kau tetap disini, Kyu.”

Kompak kepala mereka berpaling ke belakang untuk memastikan bahwa mereka tidak salah dengar. Dan nyatanya itu tidak salah! Kyuhyun memang bertahan di dalam sedangkan mereka diminta keluar. Penasaran, mereka tak pergi jauh-jauh, cukup berdiri di dekat pintu yang mereka biarkan terbuka. Tidak bisa Donghae dengar jelas apa yang sedang dibicarakan. Suaranya samar terutama milik ayah Hana.

“………..aku setuju.”

Donghae dan Hyukjae menaikan alis mereka sebelah. Ada sepenggal kalimat yang berhasil mereka dengar dari Hana. Dan setelahnya, Hana melanjutkan dengan suara yang lebih lugas. “Aku akan menuruti semua kemauan ayah.”

Donghae merasa sekujur tubuhnya di sengat listrik berkuatan tinggi. Tubuhnya jadi kaku dengan jantung yang berpacu sangat cepat. Apakah Hana terlalu lelah dan ikut menyerah?

“Aku setuju untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.”

Tidak!

Donghae hampir saja menerobos masuk lalu meneriaki Hana kalau saja Hyukjae tak menahan bahunya. Ia sungguh tak tahan. Ia kira Hana masih punya cara untuk maju.

“Dan aku setuju untuk menikah dengan Kyuhyun.”

A-pa?

Gemuruh yang tadinya datang dari langit kini pindah tempat ke dadanya. Donghae berjalan mundur sambil meyakinkan dirinya sudah salah dengar. Tapi semakin jauh ia dari ruangan itu, semakin terngiang kalimat terakhir dari Hana dengan tingkat ketegasan yang semakin tinggi.

“Aku setuju untuk menikah dengan Kyuhyun.”

“Aku setuju…

Untuk menikah….

Dengan Kyuhyun.”

Menikah…

Dengan Kyuhyun.

Dengan Kyuhyun.

Kyuhyun.

Kyuhyun.

Kakinya lemas. Tubuhnya terperosot ke lantai dan rasanya ia langsung jatuh terkubur ke dalam tanah. Apa belum cukup sakitnya selama ini? Dalam mimpi sekalipun tak akan pernah ada hal seperti ini. Tidak ada nama Kyuhyun dalam benaknya yang akan masuk begitu mudah dalam lingkaran hidup Hana. Satu-satunya harapannya sejak tadi adalah mendengar Hyukjae berkata untuk kembali pada Hana. Setidaknya rasanya takkan sesakit ini.

Ekor matanya pun dapat menemukan Hyukjae yang berdiri kaku di depan pintu. Ia tahu saat ini Hyukjae lah orang yang paling terkejut. Hyukjae pasti merasa dikhianati untuk kedua kalinya dan oleh sahabatnya yang lain. Ini benar-benar mimpi buruk yang akan menggerogoti hingga ke dunia nyata. Dan sayangnya sangat sulit untuk bangun kembali.

***Final Chapter***

Sebuah kertas merah tua dengan pita kuning ditengahnya berada ditangan Hyukjae. Tangannya membolak-balikan kertas tebal dan berlapis itu tanpa henti. Sudah ia ketahui apa isinya, jadi tak perlu ia buka, ia hanya menjadikannya objek keisengan. Kalau ia tetap membuka lantas membacanya, mungkin perasaannya tidak akan lebih baik. Hal itu hanya membuatnya teringat kembali akan keputusan yang dipilih Hana. Melihat kebahagiaan Siwon dan kekasihnya yang akan segera menikah, hanya membuat memorinya kembali ke hari dimana Hana mengatakan sebuah kalimat menggemparkan itu. Dan ia benci mendengarnya. Benci pada situasi, benci pada semuanya.

Matanya lalu tertuju ke bawah. Bisa ia lihat dari kejauhan Hana turun dari mobil Kyuhyun lalu mereka berjalan beriringan. Serasi sekali. Kenapa kenyataan ini terlewat olehnya? Harusnya ia tahu bahwa pada akhirnya orang tua Hana hanya akan mencari pria yang setara dan memiliki tujuan yang sama.

“Beberapa hari lalu Hana sempat membawa laki-laki lain kemari. Dan aku rasa dia lebih pantas untuk Hana.”

“Benarkah? Kalau begitu katakan pada pria yang lebih pantas itu kalau aku akan merebutnya.”

Hyukjae tersenyum. Bisa-bisanya ia berkata demikian seolah-olah ia jagoan di film-film yang akan melarikan kekasihnya dari pria lain. Kenyataannya ia tak bisa berbuat apa-apa, ia tak mau melakukan apa-apa kalau Kyuhyunlah pria itu. prinsipnya masih dipegang kuat dan sampai kapanpun ia takkan melanggar.

Tak sadar kertas undangan tadi sudah kusut diremasnya. Ia buang ke sembarang arah lalu bangkit dari duduknya. Ia memang berada di atas salah satu gedung di kampusnya. Sengaja membolos dari kelas pertama demi mencari ketenangan. Dan disini ia bisa temukan sesuatu yang bisa sedikit memberikan angin segar.

Ia berbalik kemudian menarik tas punggungnya saat seseorang muncul di hadapannya.

“Aku ingin bicara.”

Hana berdiri tegak. Hyukjae tak perlu repot-repot bertanya bagaimana cara Hana bisa tiba secepat ini atau siapa yang memberitahu keberadaannya. Mungkin sekarang seantero kampus sudah tahu kalau ia lah yang saat ini jadi pria patah hati dan mantan kekasihnya sudah dijodohkan oleh sahabatnya sendiri. Malang.

“Aku mendengarmu.”

Hyukjae memperbaiki letak tasnya lalu berbalik lagi. Giliran langit tanpa segumpal awan pun yang jadi objek matanya. Ia tak mau menatap Hana. Ia tak mau.

“Aku akan melanjutkan kuliah di Inggris.”

Ia baik-baik saja. Ia sangat baik-baik saja dan tak perduli apa yang ia dengar.

“Ini hari terakhirku di kampus.”

Ia remas dadanya. Ia yakin hatinya masih utuh. Ia masih bernafas. Ia tak dengar apapun dan jangan berharap ia akan menangis lalu memohon-mohon pada Hana.

“Ayah ingin aku pergi setelah semester ini berakahir, tapi aku ingin pergi lebih cepat.”

Silahkan saja. Terserah mau kemana. Hyukjae tak perduli.

“Lusa, aku akan pergi dan mungkin…”

“Itu lebih bagus. Lebih baik begini, bukan?”

Ia sedang berbohong. Ia sedang berdusta sejak tadi. Tak ada kebenaran yang dikatakannya.

“Ya, kau benar. Lebih baik aku pergi dan ini akan mempermudah segalanya. Kau mungkin bisa lebih cepat melupakanku. Akan ada gadis lain yang datang dan bisa menggantikan posisiku.”

Tidak! Ia bahkan tidak yakin apakah masih bisa melihat seorang wanita setelah ini.

“Terima kasih atas segalanya. Meski kita hanya punya waktu singkat, aku akan tetap mengingatmu, aku akan mendoakan yang terbaik untukmu.”

Hyukjae mengepalkan kedua tangannya. Ia sungguh benci dirinya sendiri.

“Aku pergi.”

Suara hentakan pelan sepatu Hana dapat ia rasakan. Gadis itu mungkin sedang berbalik lalu melangkah meninggalkannya. Ia begitu ingin bilang jangan. Ia juga begitu ingin mengatakan bahwa ia mencintainya. Ia masih mencintai Hana. Dan ia baru saja melewatkan kesempatan terakhir itu.

Dalam hidupnya ia tak pernah merasakan takut yang berlebihan. Sama halnya dengan Hana, ia berani menghadapi apapun. Tak ada yang cukup untuk membuatnya takut. Tapi satu hal. Ia takut menyesal.

“Hana!”

Ia segera berlari menuruni anak tangga. Sambil merutuki sikapnya, ia terus turun tanpa sempat menghitung sudah berapa lantai yang ia turuni. Tapi rasanya terlalu jauh, rasanya tangga yang berkelok itu tidak ia temukan ujungnya. Lalu, dimana Hana?

Sadar bersikap tolol, ia mencari lift lalu langsung menuju lantai paling bawah. Dan ia hampir tak percaya apa yang dilihatnya setelah lift terbuka.

Kyuhyun…….meraih tangan Hana. Mereka tersenyum bersamaan kemudian pergi.

***Final Chapter***

“Terus pegang tanganku. Jangan lepaskan!”

Kyuhyun mengeratkan pegangannya meski ini bukan untuk alasan yang ia inginkan. Ia dan Hana berjalan melewati halaman yang sangat luas dan melewati banyak pasang mata. Shindong yang sedang melahap roti jumbonya langsung tersedak. Elie yang sedang memakai bedak langsung menjatuhkan cermin kecilnya. Tak Kyuhyun perdulikan pandangan orang-orang. Apakah baik, buruk, bingung atau apapun itu. Yang ia tahu ia dan Hana sedang berperan sebagai sepasang kekasih yang bahagia. Dan ia tahu, Hyukjae sedang menatapnya juga.

“Jangan biarkan aku menoleh ke belakang.”

Kyuhyun meraih bahu Hana. Tak ia biarkan Hana melanggar janjinya walau ini hanya dilandaskan keterpaksaan. Hana pun tak menangis. Mereka sanggup untuk mengumbar senyum sebelum akhirnya mereka bisa lepas dari topeng itu begitu masuk ke dalam mobil. Saat itulah Hana langsung menjauhinya. Hana tak lagi menyentuhnya lalu membenamkan wajahnya dibalik kedua tangan. Hana menangis hebat.

“Aku harap kau tidak menyesal.”

Setelah hari ini, mungkin ia akan dihujani berbagai macam pertanyaan. Atau mungkin ia harus siap dengan pandangan sinis dari teman-temannya seputar apa yang sudah ia lakukan. Rasanya belum kering dari ingatan seisi kampus bagaimana Hyukjae sibuk menyiapkan kejutan untuk Hana. Tapi esoknya dengan nyata Hyukjae dan Hana bertengkar di muka umum. Lalu sekarang tiba-tiba saja Kyuhyun menggandeng Hana seolah-olah itu adalah hal wajar.

Ia siap menerima konsekuensinya. Lagipula ia yakin orang-orang tak ada yang berani mendekatinya hanya untuk sekedar bertanya apakah ia sudah gila, atau sekedar mengatakan bahwa ia sangat licik. Menutup diri dari pergaulan punya efek bagus dalam situasi seperti ini. Orang-orang takkan memanaskan kupingnya, hanya menjadikannya bahan perbincangan dibalik punggungnya. Tak masalah. Silahkan sebut ia dengan istilah apa saja. Karena baginya ia hanya melakukan permintaan Hana. Dan ia takkan sanggup untuk bilang tidak.

***Lets go to the chapter b!!!***

10 Comments (+add yours?)

  1. Heo Min Jae
    Feb 09, 2014 @ 17:58:02

    Ouh ternyata dbg dua… aku bingung koq knapa 15b??
    Soalnya chapter yg b nya d publish duluan sih…. Tapi thor.. tamatnya cuma gtu doank? Gak da sequelnya gitu? Donghaenya mati? Gmna sih? Tmatnya gak jlas…. sequel yaahh… 😉

    Reply

  2. ainikyu
    Feb 09, 2014 @ 17:59:16

    wow..
    Ah ceritanya udah abis ga bakal penasaran lg.
    Ff ini tuh bagus banget setiap penulisan kalimatya feelnya dapet banget.

    Reply

  3. trisnasmile
    Feb 09, 2014 @ 20:37:58

    Seandainya tiga sahabat ini jujur dr awal pasti ga bakal ky gini akhirnya…..

    Reply

  4. Pendekarcantiq
    Feb 09, 2014 @ 21:36:23

    MANTAAAPPP…

    Reply

  5. jiraepark
    Sep 20, 2014 @ 11:15:43

    great!! part ini sedih banget sih.. kasian hyuk-hana:’-( tapi tetep keren kok

    Reply

Comment's Box