After Roses

after roses

.

.

It’s always the third times after roses.

Written By: IJaggys

.

.

Lee Donghae bekerja di udara, mengejar cita-citanya untuk menerbangkan sebuah pesawat dan berpergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia suka pekerjaannya, lebih dari apapun. Berada di darat terlalu lama, sering membuatnya sedikit mual?

Bukan jenis mual yang timbul karena dia sakit atau lupa menghabiskan sandwich dingin dari Subway yang dibelinya. Tapi lebih ke mual, karena dia harus bersosialisasi lebih banyak, dan membuang sebagian waktunya untuk menunjukkan persona dirinya. Donghae bukan orang yang seperti itu. Ia lebih suka menyebut dirinya sebagai seseorang yang tahu bagaimana cara menghargai waktu.

Disela-sela waktu terbangnya, Lee Donghae biasanya akan menghabiskan waktu di salah satu gerai kopi berlambang hijau—atau duduk di ruang tunggu, menatap barisan pesawat yang berada di landasan pacu. Seperti yang dia lakukan saat ini, menunggu waktu penerbangannya menuju New Delhi dari Seoul.

Ia duduk di salah satu ruang tunggu kedatangan. Di dalam pikirannya, ia masih memiliki banyak waktu untuk berjalan menunju terminal keberangkatan dan masuk ke dalam ruang kerjanya tepat waktu.

Lagi pula, ia lebih suka berada di ruangan kedatangan, di mana orang-orang menunggu kerabat hingga orang terkasih mereka datang. Selalu ada senyuman bahagia—dan pelukan hangat yang menghiasi ruangan itu. Orang-orang yang berada di sana tahu bagaimana cara menghargai waktu, dengan menyambut orang terkasih mereka.

Suasananya juga tidak seramai di ruang keberangkatan, di mana orang-orang jauh lebih semangat untuk meninggalkan apapun yang mereka punya di ujung landasan. Dia akhirnya mengambil tempat duduk yang dekat dengan jendela, semburat awan senja memenuhi cakrawala.

Tak jauh darinya ada seorang wanita paruh baya, tengah sibuk membaca majalah terbaru dari toko buku yang ada di sana. Kemudian empat kursi dari tempat duduknya, seorang wanita baru saja datang, membawa seikat bunga dan satu troli kosong.

Tidak ada tas atau koper di atasnya, dan itu membuatnya sedikit tertarik. Karena biasanya orang-orang di terminal kedatangan tidak membawa troli dari luar, kecuali mereka berprofesi sebagai porter, di mana itu adalah hal yang berbeda.

Wanita itu datang sendiri, dari tampilannya, Lee Donghae sudah tahu wanita seperti apa dia. Donghae memiliki banyak pengalaman dengan berbagai wanita, dan wanita ini masuk ke dalam jenis wanita yang tahu caranya bersikap—dan lebih pantas berada di VIP Lounge dibandingkan menunggu di kursi besi yang kotor seperti sekarang.

Rambutnya berwarna cokelat, mengingatkan Donghae pada warna nilon. Ia mengenakan kemeja putih, dengan mantel berwarna biru gelap yang bersandar di bahunya. Sepanjang Donghae melihatnya, wanita itu terus menatap panjang ke arah jendela. Kemudian tatapannya teralih ke layar televisi yang menggantung di samping jadwal kedatangan pesawat.

.

.
“Dozens killed as rebels launch counterattack in Syria last night. About 200.000 civilians caught in the crossfire, in the country’s northwest have now fled intesified fighting. The fighting marks the biggest upsurge in violence since last summer, and a belt of territory around it,”

.

.

Suara pembawa berita dari salah satu saluran televisi menggema di ruangan itu. Wanita itu tak henti-hentinya menatap layar televisi.

“Only the dead have seen the end of war, right?”

Donghae bukan lah orang yang suka memulai sebuah pembicaraan dengan orang lain, tapi wanita ini membuatnya tertarik. Membunuh waktunya dengan berbasa-basi dengan wanita cantik ini mungkin tidak ada salahnya.

Selama beberapa saat wanita itu terdiam, dia menatap Donghae untuk beberapa detik sebelum mengangguk dan tersenyum, “Just like Malcolm X said, you have to pick the gun up to put the gun down,” suaranya mengingatkan Donghae pada salah satu film hitam putih karya Hollywood yang datang dari tahun 1960. Klasik dan menenangkan.

“Lee Donghae,” ia mengulurkan tangannya, berharap mendapat sambutan yang lebih. Untungnya tebakan Donghae benar, wanita itu tahu bagaimana cara bersikap. Dengan sopan, ia membalas uluran tangan Donghae dan berkata, “Han Cheonsa,”

She smells like roses.

“Waiting for someone?”

Oh, Donghae berharap bahwa pertanyaannya ini tidak membawanya ke intimasi yang penuh.

“Husband.” Cheonsa menjawab dengan senyumannya. Tak heran ia membawa seikat bunga, menata rambutnya dengan indah, dan memakai pakaian terbaiknya. Wanita itu benar-benar tahu bagaimana caranya untuk bersikap.

“Lalu kemana kau akan pergi?” Ia menunjuk ke arah koper kecil yang Donghae bawa, membuat Donghae kembali teringat bahwa dalam waktu kurang dari 15 menit, dia harus menyudahi kegiatannya berbincang dengan seorang wanita yang benar-benar menganggumkan. Panggil dia berlebihan, tapi ia tahu wanita mana yang berharga untuk waktunya.

“New Delhi—waktu penerbangannya sekitar 8 jam lewat 45 menit.” Donghae berharap wanita itu akan bertanya sesuatu, tentang New Delhi, pekerjaannya, atau maskapai mana tempatnya bernaung. Pertanyaan apapun agar pembicaraan mereka tidak terhenti hingga di sini.

Tapi wanita itu hanya mengangguk sopan, sebelum matanya kembali terlempar ke arah jendela, seakan-akan ia tengah menunggu seseorang yang sangat penting. Tentu saja, ia menunggu suaminya. Pembicaraan dengan orang lain sepertinya, tentu tidak akan membuat Cheonsa tertarik.

Lagi pula apa yang diharapkan Donghae dari pembicaraan ini? Dia tidak bisa berharap bahwa wanita itu akan bertanya lebih lanjut tentang New Delhi, dan berpura-pura tertarik untuk mengunjungi India, hanya agar mereka memiliki bahan obrolan yang seru.

Donghae juga tidak bisa berharap bahwa Cheonsa akan bertanya apakah dalam waktu 8 jam lewat 45 menit, setelah pesawatnya mendarat di New Delhi, Donghae akan mengingatnya dan menghubunginya. Cheonsa bukan wanita yang seperti itu—wanita yang mengejarnya setelah ia melayangkan satu senyuman.

Cheonsa adalah wanita yang tahu bagaimana untuk bersikap.

Seharusnya Donghae mengakhiri petualangannya, dan segera menyeret koper kecilnya menunju terminal keberangkatan. Tapi dia tetap berusaha.

“Jadi pesawat apa yang dinaiki suamimu?”

Kini Donghae merubah tempat duduknya mendekat ke arah Cheonsa, tidak cukup dekat, karena terhalang oleh troli kosong yang membatasi kursi mereka.

“Suamiku terbang dengan pesawat khusus,” dari nada bicaranya, Cheonsa tidak terlihat untuk menyombongkan dirinya. Di dalam pikiran Donghae, dia mengumpat seribu bahasa. Tentu saja wanita seperti Cheonsa hanya menikahi pria yang memiliki pesawatnya sendiri, bukan pria yang menerbangkan pesawat orang lain, dan mengangkut ratusan penumpang dari satu tempat ke tempat lainnya.

“Gulfstream? Apakah landasannya tersedia di sini?” kini sifat ingin tahu Donghae semakin bangkit. Tapi dia tidak perduli, lagi pula kesempatannya untuk bertemu kembali dengan Cheonsa sudah mencapai minus 100. Mirip seperti suhu di gunung Everest, lengkap dengan  tingkat oksigen yang tipis.

“Mungkin sejenis itu, tapi aku kurang mengerti dengan jenis pesawat,” Cheonsa masih membalas pertanyaan bodoh dari Donghae dengan ramah. Tentunya hal ini memberikan ruang lebih untuk Donghae mengulur waktu dan menghabiskan beberapa menitnya di sini.

Belum sempat Donghae mengajukan pertanyaan lain, Cheonsa menolehkan wajahnya, ia menatap Donghae dengan serius sebelum bertanya, “Bagaimana caranya mengatasi takut terhadap ketinggian?”

Pertanyaan itu terdengar aneh dan acak. Tapi Donghae justru tersenyum mendengarnya, ternyata wanita sempurna seperti Cheonsa, yang selalu terbang menggunakan pesawat khusus memiliki ketakutan pada ketinggian.

“Oh, aku selalu menganggap bahwa awan adalah jalanan biasa. Bedanya kau tidak bisa menemukan mobil lain atau kemacetan di atas sana—terlepas dari semua itu, semuanya terasa normal. Berada di ketinggian tidak seburuk yang orang-orang kira,” tutur Donghae.

“Bagaimana dengan bungee jumping? Apa di New Delhi ada permainan yang seperti itu?” suara itu datang dari Cheonsa. Membuat Donghae tak kuasa menahan senyumnya. Wanita itu bertanya tentang New Delhi—persetan dengan suaminya, Donghae bisa menjadi pemain kedua, memberikan warna baru di hidup Cheonsa dan suaminya tak perlu tahu.

Ia tak berencana untuk mencari hubungan yang serius, dan jika Cheonsa membuka kesempatan untuk mencari pelampiasan dari kehidupan pernikahan yang memuakan, Donghae bersedia.

Bahkan dari pikirannya saja dia hampir tertawa sendiri. Tapi kemudian dia tersadar bahwa Cheonsa bertanya tentang bungee jumping, dan New Delhi.

“Aku yakin New Delhi punya tempat untuk bermain bungee jumping. Apa tidak terlalu ekstrem untuk mencoba permainan itu, semenjak kau takut dengan ketinggian?”

Oh, sebenarnya Donghae berharap bahwa Cheonsa akan berubah pikiran, dan memintanya untuk pergi ke New Delhi berdua dan menemaninya bungee jumping. Tapi Donghae tidak berharap lebih, kini dia hanya berharap bahwa di akhir pertemuan ini, Cheonsa akan memberikannya nomor telepon. Atau Cheonsa bisa menunggunya ketika penerbangannya kembali dari New Delhi.

“Suamiku berkata agar aku bisa mengalahkan rasa takutku. Dia berkata bahwa aku adalah orang yang takut dengan perubahan. Sebenarnya aku tidak takut dengan perubahan, aku hanya memiliki banyak rasa takut di hidupku. Tapi hari ini aku sudah membuktikannya kepada suamiku, bahwa aku bisa melalui beberapa rasa takutku. Setelah ini aku ingin menaklukan rasa takutku kepada ketinggian,” saat Cheonsa berbicara, Donghae bisa melihat wajah Cheonsa sedikit berubah. Senyumannya sedikit simpul, dan matanya kembali mengarah ke jendela.

“Kau bisa melakukan bungee jumping dengan suamimu, atau kau bisa melakukan sky diving bersama. Banyak pasangan yang melakukan hal itu—mereka bilang itu romantis, tapi menurutku itu menakutkan. Bagaimana jika salah satu dari kita mati saat melakukan sky diving, kau tentu tidak ingin berakhir sebagai seorang wanita yang kehilangan suaminya bukan?”

Kali ini Donghae berhasil membuat Cheonsa tertawa kecil. Ia mengangguk, kemudian menatap Donghae, lekat di matanya. Membuat Donghae tersadar betapa indahnya mata wanita itu, dengan warna biru yang mengingatkannya pada samudera.

“Aku telah mengatasi rasa takutku tentang hal itu,” jawabnya.

“Tentang apa?” kini Donghae kembali bertanya.

“Rasa takut jika aku kehilangan suamiku,” kini suaranya lebih rendah, jauh lebih rendah dari sebelumnya.

Donghae ingin bertanya lebih. Apakah Cheonsa tengah melalui masa sulit di pernikahannya, apakah dia berada di dalam proses perceraian dengan suaminya, apakah bunga itu melambangkan usainya pernikahan mereka. Tapi belum sempat Donghae bertanya, seorang pria menggunakan pakaian seragam pakaian tentara menhampiri Cheonsa.

“Sebentar lagi pesawat Tuan Cho Kyuhyun akan segera mendarat, Anda diperbolehkan menunggu di tepi landasan,” pria berseragam itu kemudian meninggalkan Cheonsa di sana.

Ia membawa troli kosong dan menaruh seikat bunga di atasnya. Sebelum melangkahkan kakinya, Cheonsa berdiri di hadapan Donghae, dan kembali tersenyum.

“Terima kasih atas obrolannya. Mungkin setelah ini aku akan segera membeli tiket penerbangan ke New Delhi untuk bermain bungee jumping di sana, dan jika aku tidak berhasil—aku akan terus mengulangnya—hingga aku menaklukan rasa takutku,”

Donghae ingin sekali bertanya apakah mereka bisa bertemu lagi, entah di sini atau di New Delhi. Tapi kata-kata yang terucap darinya justru sebuah pertanyaan yang tidak penting.

“Lalu apa yang akan kau lakukan setelah itu?”

Mendengar pertanyaan dari Donghae, Cheonsa mengerutkan keningnya untuk beberapa saat seakan berpikir, kemudian ia kembali tertawa kecil. Seakan-akan mengingat sesuatu hal yang lucu dan baru saja terlintas dari pikirannya.

“Mungkin aku akan melakukan hal lain yang aku inginkan. Melakukan hal-hal yang belum pernah kucoba selama ini, just like what my husband asked me to do whatever I wanted to in life before we’re drowning in time—and I promise him, that I’ll be okay. Good bye Lee Donghae,” dan dengan senyman tenangnya, wanita itu berjalan menuju ke arah pintu keluar meninggalkan Donghae yang masih terdiam di sana.

Matanya menatap senja yang semakin gelap, dan pesawat milik Angkatan Udara Korea yang baru saja mendarat di sana. Pikirannya dipenuhi dengan harapan apakah dia akan bertemu Cheonsa lagi.

Ketika dia akan mendorong kopernya, matanya melewati barisan jendela panjang di sana, dan matanya terhenti ketika ia melihat wanita bermata samudera itu tengah berdiri menundukan wajahnya di depan peti jenazah berwarna cokelat dengan bendera Korea Selatan di atasnya. Troli kosong yang sejak tadi didorongnya, kini sudah dipenuhi oleh tas besar berwarna hijau dan beberapa kotak lainnya.

Seikat bunga yang sejak tadi digenggamnya kini bersandar tepat di atas peti jenazah itu, dan dari kejauhan ia melihat Cheonsa berdiri di sana, menyandarkan kepalanya di sana dan mengecup peti jenazah itu sebelum ia masuk ke dalam mobil ambulans yang tersedia di sana.

Samar-samar Donghae bisa mendengar suara televisi yang kembali terputar di sana.

.

.
“… The counterattack in Syria last night killed one of South Korean Army, Cho Kyuhyun who was trying to save civilians who caught in crossfire..”

.

.

Ketika mobil ambulans itu pergi, Lee Donghae akhirnya tersadar. Bahwa Han Cheonsa bukanlah wanita yang datang dengan sejumlah kebahagiaan, atau tahu bagaimana cara bersikap. Han Cheonsa bukanlah wanita yang hanya memilih pria dengan pesawat priabadi, dia juga bukanlah wanita yang datang untuk menunggu sang suami yang terbang menggunakan pesawat khusus.

Lee Donghae tersadar bahwa Han Cheonsa berada di sini—untuk mengalahkan semua rasa takutnya.

Rasa takutnya tentang kematian suaminya.

Rasa takutnya terhadap apa yang akan terjadi setelah kepergian suaminya.

Dan rasa takutnya terhadap sesuatu yang tidak dia ketahui.

Dan selama beberapa saat Lee Donghae berharap, bahwa suatu hari nanti, tak perduli sehari atau seratus tahun lagi—dia bisa kembali bertemu dengan wanita itu. Untuk mengatakan bahwa dia telah berhasil.

Berhasil mengalahkan semua rasa takutnya, dan semuanya akan baik-baik saja.

Selamanya.

-THE END-

.

.

.

.

HAI! I’M HERE! IJaggys is here! This 30 minutes story is plotless and boring (I know, I need some time to regain my power of writing back, but hope you enjoy!) If you guys somehow still here, please leave some comment about this story, so I know everyone miss me like I do! Love always! (my personal blog still beckhamlovesbadda.wordpress.com if anyone curious lol)

xo

4 Comments (+add yours?)

  1. Dira Djibril
    Sep 18, 2019 @ 22:05:03

    Hi.. it’s been a long time. Aku sempat lupa bahwa beberapa tahun yang lalu aku tidak pernah absen buka blog ini buat baca ff. It is so nice dan aku sedikit terharu kamu masih menulis ff dengan cast SJ ㅠㅠ
    I hope to see and read your ff again in the future :”))

    Reply

  2. Ganef
    Nov 12, 2019 @ 01:01:27

    Ya ampuunnn
    Selalu suka dg tulisan dari kamu….

    Reply

  3. Y
    May 27, 2020 @ 08:06:48

    NANGID HUHUHUUUUUUUUU KEREN PARAH NIH EMANG GA PERNAH NGECEWAIN 👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍 SUKAAAAAAA😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

    Reply

  4. yoyo
    Jun 10, 2020 @ 14:36:12

    love

    Reply

Comment's Box