Limerence

tumblr_inline_mxjontMWtC1r4pggt

Lee Donghae, Lee Hyukjae & OC

Prompt-18: Birthday

Limerence

(n.) the state of being infatuated with another person.

related with In Despair

.

.

Barangkali sudah nyaris satu jam Lee Donghae terperenyak di kursi ruang tunggu khusus perokok.

Ia pikir sudah lebih dari dua jam, nyatanya tidak. Kepalang bosan ia menapakkan retinanya pada jarum kembar yang berotasi di lengan kirinya. Bisa saja kalau dia hanya memiliki sisa waktu satu jam di dunia, mungkin dia akan lebih memilih kegiatan seperti ini—menunggu sampai menjadi bangkai—dan itu bakal terasa bagai beribu-ribu jam lamanya. Preferensi yang hebat.

Masih pukul sebelas, dan itu artinya jam makan siang akan segera tiba beberapa saat lagi. Bukan hal yang menyenangkan, sebab lambung lelaki itu sendiri belum terisi satu pun bahan yang bisa dikategorikan sebagai makanan. Well, kalau kau menyebut rokok sebagai salah satu kudapan layak, mungkin puntung-puntung di sekitarnya bisa menjelaskan betapa kenyangnya dia. Setelah mengalami salah satu pagi-paling-tergesa dan mandi-pagi-paling-tidak-menyenangkan yang pernah dia rasakan, Donghae jadi sedikit terdisorientasi seperti ini. Lihat—bahkan ia tak sadar bahwa kancing bajunya tidak masuk ke lubang yang tepat.

Benar-benar menjelaskan. Berkat pacarnya yang super perfeksionis, tentu saja.

Lalu sekarang, ia membusuk di ruang tunggu JFK sambil menunggu teman-paling-tidak-konsisten-seumur-hidup-nya

Membicarakan tentang keadaan, JFK memang nampak seperti biasanya. Pengeras-pengeras suara berbunyi seperti yang seharusnya, para manusia dengan langkah cepat berlalu-lalang dari berbagai terminal, dan—yah, begitulah. Kau pasti tahu bagaimana keadaan di bandara pada umumnya. Donghae hanya menggores ujung paspornya lamat-lamat dengan ujung jemari seraya menyentuhkan ujung kulit bibirnya pada filter secara repetitif.

Seoul. Kota itu benar-benar membuatnya gugup. Lalu satu kalimat lain: wajib militer. Ugh.

Sebelas tujuh menit, dan Lee Donghae seharusnya sudah ditemani si Keparat yang dilabelinya ‘teman’ itu.

Baru ia akan mengumpat, ponselnya berdering. Menimbulkan bunyi bergetar dari lengan kursi logamnya.

Hyukjae—siapa lagi, memang?

“Oh—tunggu, jangan diangkat. Aku akan segera menemukanmu. Ruang tunggu sebelah Shake Shack, bukan?” ia mendengar suara, tapi bukan hanya dari ponselnya. Donghae lantas menjauhkan ponsel itu dari jangkauan telinganya, dan berbalik.

Blah.

“Aku sudah menemukanmu,” Donghae menutup ponselnya, menangkap cengir Hyukjae dalam radius beberapa meter di belakangnya.

Hyukjae mengambil duduk di depan kursinya, dengan napasnya yang bengap lantas menyandarkan kepala pada jendela kaca. “Bisa-bisanya kau membiarkanku mencarimu sendirian di terminal 2—kautahu aku nyaris salah penerbangan.”

“Kau sendiri idiot,” Lee Donghae tertawa, menepuk lengan temannya sambil menjentikkan abu ke ceruk asbak. “Mana Lily?”

“Lil?” Hyukjae kelihatan kelabakan—seperti baru saja ditanya berapa jumlah nominal uang yang ada di rekeningnya saat ini. Pertanyaan itu setidaknya relevan, mengingat tingkat kemampuan Hyukjae dalam membuang uang sudah sampai di tingkat yang hanya-Tuhan-dan-dia-saja-yang-tahu. Kemeja putih gadingnya sedikit berbercak peluh di bagian lapel.

“Dia tidak mengantar,” sambungnya, setelah beberapa detik hanya terdiam. Donghae baru memperhatikan ada frappe yang tergenggam di tangan kanannya.

Lee Donghae merasakan lidahnya meledak, nyaris terpingkal. “Serius?”

Hyukjae mengangguk—menyedot frappe, “Sinting, ‘kan? Aku juga tidak tahu kenapa.”

“Mungkin itu bahasa lain untuk aku-mengusirmu-dari-Harlem darinya,” satu sesapan rokok lagi, “berbekal alasan bodoh apa memangnya sampai dia tega tidak mengantarmu ke bandara?”

Hyukjae membasahi bibirnya, “Well, aku yakin kau tidak akan mempercayainya,” ia bergumam-gumam sendiri kemudian, “dan Elen, di mana dia omong-omong?”

Siku Donghae menelek meja, “Ia sedang di toilet. Mungkin sebentar lagi.”

“Romantisnya.”

“Sialan, kau.”

Hyukjae terkikik di atas kursinya. Barangkali kalau Lee Donghae bukan seorang pendosa melainkan seorang Santo, ia yakin bahwa doanya untuk membuat temannya yang berengsek itu terjungkal dari kursi bakal dikabulkan oleh Tuhan. Sayangnya, dia bukan—jadi Donghae hanya membiarkan kisi bibirnya terisi oleh lintingan rokok.

“Dia bilang dia ingin berpisah seperti biasa saja,” Hyukjae tiba-tiba berujar—menceritakan tentang pacarnya, setelah beberapa menit menggauli gelas frappe-nya yang tandas. Menggeragas rambut hitam cepaknya, “Gila, ya?”

Donghae merasakan bola matanya memutar saat itu juga.

“Biasa seperti apa maksudnya?”

“Yah, bagaimana ya. Dia memang susah ditebak—Lily. Gadis itu bilang dia ingin aku mengantarkan ke rumahnya saja dan bertingkah seolah aku hanya pergi jalan-jalan biasa—bukannya menjalani wajib militer selama dua tahunan. Imbisil—dia meletakkan otaknya di mana?”

Donghae benar-benar berhasrat untuk tertawa, tapi temannya sedang dalam keadaan tercerai-berai­ seperti ini dan tiba-tiba saja ia mencium atmosfer tidak tega yang keluar dari dalam tubuhnya. “Pacarmu memang orang paling out-of-the-box yang pernah kukenal.”

“Memang.”

“Kau harus menghubunginya, tetap saja,” kata Donghae, “Dia mungkin bakal menyukainya.”

Hyukjae mencebikkan bibir, “Sudah kulakukan. Dia bilang ada latihan tari kontemporer yang tidak bisa dilewatkannya hari ini.”

“Dia menghindarimu.”

“Masa bodoh.”

Bisa saja Donghae bakal mengumpati temannya lantaran terlalu melankoli, atau mengatai pacar temannya yang memang patut dikatai imbisil. Namun sayang, pipi kirinya sudah terlebih dahulu diganjur dengan kecupan; Elen, pacarnya dengan tangan yang masih sepenuhnya basah.

Elen membiarkan rambut cokelat auburn-nya jatuh di sisi kiri bahu, terbalut coat yang kelihatan hangat hingga ke lutut. Tisu tergampit di sela-sela jarinya, dan derit kursi berbunyi saat ia hendak mendudukkan diri.

Sorry, aku baru saja ke kamar mandi,” ungkapnya, lalu spontan senyumnya membuncah saat mengarah ke Hyukjae, “hai, Hyukjae—mana Lily?”

Hyukjae memutar bola mata, dan Lee Donghae sudah terpingkal terlebih dahulu.

“Kenapa sepertinya semua orang lebih mempertanyakan presensi anak idiot itu ketimbang aku?” sungutnya, merogoh saku untuk meraih ponsel. “Penerbangan kita lima belas menit lagi, ya?”

“Tiga belas,” koreksi Elen. Donghae mendengus, terlalu hafal dengan kelakuan kekasihnya yang super perfeksionis dan teliti—namun mengganggu, di sisi lain. “Kalian ingin pesan makanan terlebih dahulu?”

Lee Donghae mengernyit, “Kenapa kau tidak menanyakan hal itu padaku sejak tadi—aku belum sarapan sejak tadi, Hathaway.”

“Hathaway?” sembur Hyukjae, “Maksudmu Anne Hathaway?”

Lelaki yang diajak bicara mengangguk sambil terkikik, “Kemarin saat aku pergi ke Chinatown, salah satu pelayannya menyebut Elen sebagai Hathaway—astaga, dia pasti butuh operasi lasik sesegera mungkin.”

Aw, thanks, Lee. That’s sweet.”

Don’t worry, El,” Hyukjae menengahi, “aku bersamamu. Kau pantas untuk jadi figuran di sekuel Princess’ Diary untuk sepuluh tahun mendatang. Adik keponakanku sangat suka menonton mereka.”

Mereka lantas tertawa, dan Elen nyaris memukul kepala kekasihnya.

“Omong-omong,” sambung Hyukjae, “aku sudah makan. Kau mungkin mau makan siang dulu?”

Rokok milik Donghae sepenuhnya habis, dan pria itu hanya bisa menggauli tembakaunya saja sebelum bertukar pandang dengan Elen. Wanita itu mungkin tidak akan menyukai kalau ia mengiyakan tawaran Hyukjae—ia terlalu berambisi untuk mengusir Donghae secepat mungkin. Jelas.

Donghae menggeleng, bibirnya tercebik, “Aku ada sandwich di tas, lagi pula di pesawat pasti ada makanan. Sepuluh menit lagi penerbangannya berangkat.”

“Oke,” Hyukjae mengangguk-angguk, dan dari ekor mata ia menangkap Elen yang mengacungkan ibu jari ke arahnya.

“Kupikir sekarang waktunya untuk berangkat,” Hyukjae beranjak dari kursi, menggiring kedua temannya untuk keluar dari ruang tunggu.

Elen berada di belakang sementara Hyukjae dan Lee Donghae berada di depan. Wanita itu seperti mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.

Hyukjae menginisiasi, “Berhenti menjadi melankoli, Hae.”

Donghae terlonjak, pupilnya melebar—ketahuan mengamati kekasihnya, “Melankoli bagaimana?”

Meringis, kemudian terkikik sebelum Hyukjae menonjok lengan kawannya, “Aku tahu bagaimana anehnya itu saat kau harus kembali ke tempat asalmu; saat semua kehidupanmu ada di sini,” tertawa, lantas mengetuk-ketuk jungur Louboutin, “pekerjaanmu, El, dan hal-hal sinting lain.”

Shit.

Donghae ingin mengumpat sekuat hati—itu yang sedari tadi berada di dalam selasar otaknya. Menginvasi setiap arteri dengan pemikiran-pemikiran yang satu demi satu, sedikit demi sedikit, menjadi nyata. Tentang kewajibannya, tentang meninggalkan dunianya yang menyenangkan, lalu ada Elen.

Hyukjae bak pembuka sumbat di dalam pikirannya.

“Aku sudah tahu,” hanya itu yang berhasil ia ucapkan. Namun ia menyambung, “Memangnya harus bagaimana lagi?”

“Perlu kuingatkan bahwa itu dua tahun, Bung?”

“Berhenti memancingku, Keparat,” giginya bergemeretakan.

“Oh ayolah,” Hyukjae melemparkan sesuatu ke dalam mulutnya—permen karet, “aku tahu kau bakal merindukannya—aku pun sama, Hae. Kau masih beruntung pacarmu mau mengantarkanmu ke sini; aku tidak, dan itu berkat alasan terkonyol tapi ter-masuk akal darinya.”

Donghae merenung, mengamati Elen yang berdiri dan—masih—mengacak-acak isi tasnya. Rasanya ada sesuatu yang menyesaki laringnya, menggembesi paru-parunya sedemikian mudah—dan tak ayal ia susah untuk berpaling dari wanita yang punya hobi membuat hidupnya jungkir-balik namun di sisi lain juga lebih hidup.

Tentu—memangnya kaupikir lelaki itu takkan merindukan polah semrawut dari Elen? Yang benar saja.

Lalu saat Elen berjalan ke arahnya, Hyukjae menyadarkannya, “Katakan saja apa yang kalian ingin katakan. Aku akan duluan.”

Sejemang Donghae menatap senyum miring dari sahabatnya. Lee Hyukjae boleh saja keparat, tolol, bodoh atau apa pun itu. Tapi dia jelas salah satu orang yang paling mengerti dirinya.

Hyukjae menepuk bahunya sekilas, lalu berjalan ke terminal keberangkatan sambil menggeret koper dan tangan di saku celana.

Lalu, Elen.

Uhm.

“Kenapa Hyukjae meninggalkanmu?” Elen spontan bertanya, memperhatikan Hyukjae dari bahu kekasihnya, “Apa dia ingin pergi ke kamar mandi terlebih—“

“Apa yang ingin kaukatakan padaku, Hathaway?” Donghae menunduk, memperhatikan wanitanya lebih jauh—menelisik iris charcoal gray-nya lekat-lekat, intens.

“Hathaway?” Elen mendengus, tawanya terbersit sekilas, “Sampai kapan kau bakal memanggilku seperti itu?”

“Mm…” Donghae kelihatan berpikir, “Tidak tahu. Ayolah, aku bakal pergi sekitar lima menit lagi—“

“Tujuh.”

“—terserah, dan kau hanya menanyakan ‘sampai kapan aku bakal memanggilmu Hathaway’?”

Bisa jadi lelaki itu iri dengan sahabat karibnya, Lee Hyukjae. Hyukjae bisa mengajak kekasihnya, Lily, ke tempat-tempat romantis; Perancis, Ibiza, atau tempat lain. Hyukjae bahkan bisa bebas mencium pacarnya di trotoar jalanan Harlem, mengajaknya menari sampai gila kalau bisa dibilang. Elen?

Wanita itu terlalu perfeksionis. Baiklah, mungkin untuk bertindak satu-dua hal romantis jelas bukan hal yang kaku untuknya, tapi bersikap bebas dengan gadis itu rasanya janggal. Bukan berarti ia tidak menikmatinya, namun rasanya malah pria itu yang salah. Salah satu impian wanita itu adalah pergi ke Antwerp, satu kota kecil di Belgia. Lalu Donghae malah meninggalkannya, dan bukan dalam jangka seminggu-dua minggu.

“Ugh, aku benar-benar benci jenis hubungan seperti ini,” Elen mendengus, melempar sebagian berat badannya ke pria itu—bersandar, “kautahu? Rasanya seperti mengencani hantu.”

Donghae merasakan ujung bibirnya tertarik, mengecup dahinya tepat di tengah alis, “Aku tahu.”

“Idiot, bukan? Lalu aku harus berada di apartemenmu sendirian—jika menunggu bukan sesuatu yang membosankan-sampai-mati, maka aku tidak tahu itu apa.”

Donghae tertawa—dan mendengar tawa jernih dari Elen di tengah keramaian seperti ini rasanya tidak mengganggu. Namun tiba-tiba wanita itu menarik lehernya, dan—

“Kancingmu tertukar.”

sial.

“Apa?” Donghae menurunkan pandang, mengerutkan dahi dan sedetik kemudian merasa tolol lantaran baru menyadarinya. Ia tak mencegah saat Elen membenarkan kancingnya untuk masuk ke lubang yang tepat. Nyaris ia berpikir wanita itu akan melakukan hal yang lain.

“Memalukan,” Elen menahan tawa, “kautahu, kau tidak mungkin bisa mengandalkanku untuk membenarkan kancingmu sendiri nanti.”

Tawanya bertemperasan, merasa geli dengan dirinya kemudian melingkarkan lengan di pinggang Elen selagi wanita itu membenarkan kancing kerahnya.

“Selesaikan dengan cepat,” wanita itu berbisik, lamat-lamat, “aku mungkin bakal rindu menertawakan koleksi lagu-lagu Lorde-mu, atau kopi asinmu.”

Kopi asin? Lee Donghae menggigit lidah karena enggan tertawa. Kopi asin, insiden menggelikan satu tahun lalu di Christmas Eve, saat Donghae kedatangan kakak laki-laki Elen dan malah menghidanginya kopi bercampur garam alih-alih gula.

“Aku akan merindukanmu,” ungkapnya, meletakkan tangannya di lapel kemeja milik Donghae. “Rasanya pasti menyebalkan sekali—eh, tunggu.”

Elen tiba-tiba menjauhkan diri darinya, mengacak-acak isi tas hitam besarnya lagi seperti yang ia lakukan tadi saat Donghae berbincang sebentar dengan Hyukjae.

Wanita itu mengeluarkan sesuatu, yang membuat volume tasnya menjadi mengecil. Kotak berbungkus kertas marmer hitam—warna kesukaan wanita itu.

Happy birthday.”

Donghae terlonjak. Bukan apa-apa, ia bahkan tak mengingat tentang hari ini sama sekali. Ia terlalu terpaku dengan wajib militernya. Elen adalah orang pertama yang menyelamatinya, dan itu di tengah hari.

Elen mengangsurkan benda kotak itu ke Donghae, dan lelaki itu cukup mengenali dari bungkus dan selotipnya yang tak rapi bahwa wanita itulah yang mengemasnya sendiri.

Well, setidaknya aku tahu bahwa kau yang membungkusnya,” Donghae ingin sekali memeluk wanita itu sekarang, tapi mungkin ia takkan suka, “apa isinya?”

“Kenapa kau lebih tertarik dengan isinya—bukan mengucapkan terima kasih atau apa?” Elen menutup resleting tasnya, “kau bisa buka nanti di pesawat.”

Lee Donghae mengusap-usap dagunya, pura-pura berpikir namun lelaki itu geli—membasahi bibirnya, “Biar kutebak; Canon EOS 600D?”

Geleng, dan putaran bola mata, “Kotak itu tidak berat—dan aku takkan membuang-buang uang sebanyak itu untukmu.”

Donghae mengocok-kocok kotak, persis anak kecil, “Snapback?”

“Coba lagi.”

Coat?”

Senyum Elen membuncah, “Dan vinil West Coast. Dan hal-hal tak penting lainnya.”

“Lana Del Rey,” Donghae tertawa, melangkah sedepa lebih dekat ke arah Elen. “Kau benar-benar mudah ditebak, El.”

“Hanya itu,” Elen melempar lengannya ke sekitar lapel Donghae, mengamati ujung sepatu mereka yang beradu. Stilleto dan sneakers.

Bibir Donghae berjungkit miring tatkala ujung jemarinya melintasi kelopak, alis, dan hidung Elen.

“Keberatan kalau aku menciummu di sini sekarang?”

“Tergantung,” Elen mendongak, “kau mau mati sekarang atau—“

Terlambat. Lee Donghae sudah buru-buru menghujani wanita itu dengan ciuman. Satu kali, dua kali. Pria itu rasanya takkan pernah cukup, kendati atmosfer bibir Elen sangat panas di setiap kecupan mereka. Saat mereka berpikir sudah cukup, mereka berciuman lagi.

Elen menginisiasi, menarik diri lantaran tahu kalau mereka seperti ini terus, Donghae bakal terlambat dalam penerbangannya.Kening mereka beradu.

“Kautahu? Kalau mati rasanya seperti ini, aku mungkin takkan mengiyakan untuk punya umur panjang dan menyuruh Hyukjae segera menulis eulogiku,” ujar Donghae, membiarkan Elen tersenyum geli, “gila ‘kan, El?”

“Pergilah,” tangan hangatnya menyambut rahang pria itu, lalu menggenggam telapak tangannya yang dingin.

“Ah, aku benci sekali hal ini.”

“Kabari aku kalau kau sudah sampai.”

“Aha.”

Menenggelamkan kepalanya ke lekukan leher Elen, sebelum akhirnya berbalik. Tuberose masih lamat-lamat tercium di penciumannya.

Lee Donghae kembali berbalik, memperhatikan Eleanor Anderson dengan senyum dan wajah sendunya. Taruhan; sesampai apartemen ia bakal menangis.

“Kau tidak berencana untuk menciumku lagi?” Donghae berteriak, namun ia hanya mampu melihat wanita itu sesumbar senyum ke arahnya, seraya melambai ke arahnya.

Kautahu gila itu apa? Saat kau terlalu menyukai seseorang dan kau tahu bahwa kau tidak bisa naik ke tingkat yang lebih besar dan tinggi dari ini—karena kau merasa bahwa inilah puncaknya. Inilah tingkat kegilaannya. Tapi kau tak pernah puas.

Donghae berbalik, meneruskan jalannya kembali ke terminal keberangkatan.

Korea Selatan; bersama tas koper dan kado dari Elen di tangan kanannya.

5 Comments (+add yours?)

  1. Arniii
    Dec 18, 2015 @ 20:33:57

    Keren!!!!!

    Keep wraiting buat authornya

    Reply

  2. Mrs. C
    Dec 23, 2015 @ 10:51:28

    OMG… Selalu tergila2 sama cerita yang tipenya kayak gini… Romancenya nggak lebay, bahasanya rapi keren, ah… Baguslah pokonya… Keep writing thor 🙂

    Reply

  3. Ifa Raneza
    Mar 28, 2017 @ 11:01:49

    So long time since terakhir kali baca dan nulis ff di apapun itu..
    Terasa banget, aku sampe terhanyut gitu (?) Haha. Two thumbs up b^^d

    Reply

Comment's Box