For The Roses

.

.

Sequel of After Roses

The one who stays.

.

.

.

.

Seoul

.

.

Satu atau dua bulan ke belakang ini selalu menjadi perjalanan yang panjang bahkan untuk dirinya.

Jadwal penerbangan yang padat membuat Lee Donghae tidak pernah bisa menghabiskan lebih dari tiga hari di Seoul. Awal mulanya, pihak maskapainya memberikannya jadwal penerbangan tambahan.

Mereka bilang hanya Donghae yang bisa menerbangkan pesawat Airbus ke Delaware. Setelahnya ada banyak jadwal penerbangan tambahan mulai dari mendarat di Charles de Gaulle, sampai lepas landas di Santos Dumont.

Sebenarnya dia sudah merencanakan sebuah liburan singkat, bisa juga dibilang misi melarikan diri karena pihak maskapai tempatnya bernaung sedang kekurangan pilot untuk penerbangan internasional.

Dia berencana berlibur ke Seychelles, pulau indah di timur Kenya yang dikelilingi dengan hutan dan pemandangan terumbu karang yang menawan. Hitung-hitung sebagai hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri.

Hari ulang tahunnya? Hari ini.

“Selamat ulang tahun Capt, 34 tahun tak pernah terlihat semuda ini,” Johnny, co-pilot yang baru saja bergabung dengan maskapainya mengucapkan sambutannya saat melihat Donghae turun dari mobilnya.

Mereka berdua berjalan beriringan melewati barisan parkiran mobil di Incheon International Airport.

Terhitung sudah ada puluhan ucapan ulang tahun dari teman dan keluarganya yang berlarian di notifikasi ponselnya. Hebatnya, Johnny menjadi orang pertama yang mengucapkannya secara langsung.

“Capt Hyukjae dan yang lain sudah menyiapkan seremonial untukmu sebelum kau lepas landas ke New Delhi, masih ada waktu sekitar satu jam bukan?” Johnny bertanya dengan semangat. Ini adalah penerbangan internasional pertamanya. Juga kunjungan pertamanya ke New Delhi.

Donghae menggeleng pelan, dia punya rutinitas sendiri sebelum terbang jauh. Rutinitas yang selalu dilakukannya sejak dulu.

Pergi ke terminal kedatangan.

“Seremonial terlalu berlebihan, bilang Hyukjae dia bisa menunda pesta ulang tahunku hingga kita kembali dari New Delhi. Sisanya kita bisa membicarakannya nanti,” jawab Donghae sambil melambaikan tangannya ke arah Johnny yang masih mengeluh tak percaya.

Dia masih seperti satu tahun yang lalu, tak ingin terlalu banyak berbasa-basi. Donghae masih menjadi pria yang tahu bagaimana cara menghargai waktu.

Terminal kedatangan selalu menjadi tempatnya untuk melepas penat. Memperhatikan orang-orang sekitar, menatap wajah antusias dari mereka yang menunggu keluarga hingga kerabat tiba di sana.

Donghae mendorong koper kecilnya, dan duduk di salah satu barisan kursi kosong di terminal kedatangan. Satu tangannya melihat ponselnya, membuka semua ucapan ulang tahun, lalu melihat jadwal penerbangannya.

New Delhi.

Nama kota itu tak pernah membuatnya berhenti berpikir. Terkadang ia bahkan berandai-andai, apakah New Delhi masih sama seperti satu tahun yang lalu. Apakah New Delhi masih menjadi tujuan wanita berambut nilon itu untuk melawan rasa takutnya?

Benar, Han Cheonsa tak pernah keluar dari pikirannya.

Pertemuannya satu tahun yang lalu, di terminal kedatangan yang sama selalu membuatnya berpikir panjang.

Bagaimana keadaan wanita itu?

Apakah dia berhasil melalui semuanya setelah suaminya pergi?

Apakah dia berhasil mengalahkan rasa takutnya?

Itu semua tidak pernah terjawab, dan ketika pagi ini ia melihat kata New Delhi dalam jadwal penerbangannya. Ia memutuskan untuk membatalkan misi melarikan dirinya ke Seychelles.

Entah mengapa ketika ia membaca New Delhi, ia merasakan sesuatu yang aneh seperti riak nostalgia sekaligus rasa penyesalan yang tak pernah terjawab.

‘Seharusnya aku meminta nomor teleponnya.’

Hanya itu yang dipikirkan Donghae setelah ia melihat Cheonsa memasuki ambulans yang membawa peti jenazah mendiang suaminya. Tapi ia jauh lebih paham, bahwa hanya pria brengsek yang meminta nomor telepon seorang wanita tepat di depan jenazah suaminya.

“Donghae?”

Samar-samar ia mendengar seseorang memanggil namanya. Matanya masih fokus membaca sekilas puluhan ucapan ulang tahun di notifikasi ponselnya.

“Lee Donghae?”

Dia akhirnya mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Matanya menatap seorang wanita dengan senyuman ramahnya. Wanita berambut nilon yang selalu memenuhi pikirannya selama satu tahun terakhir.

“Han Cheonsa?” Donghae menjawab dengan ragu, tenggorokannya terasa serak setelah melihat wanita yang selalu berada di pikirannya selama ini, berdiri di hadapannya dengan senyuman yang sama.

“Ya, ini aku,” Cheonsa menjawab dengan senyuman simpulnya. Kali ini ia tidak membawa troli kosong maupun seikat bunga. Satu tangannya hanya membawa koper kecil berwarna biru muda.

Tanpa menunggu jawaban dari Donghae, wanita itu duduk di sampingnya. Persis di sampingnya. Tidak ada lagi jarak troli kosong yang memisahkan mereka seperti setahun yang lalu.

“Ketika melihatmu dari jauh, aku sempat ragu. Apakah kau benar Lee Donghae atau seseorang yang mirip denganmu. Untunglah, aku tidak pernah salah,” Cheonsa meletakkan koper kecilnya di samping tempat duduk mereka.

Donghae? Dia tidak banyak berbicara. Separuh jiwanya masih melayang memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah ini mimpi, atau ini hanya sebuah tipuan yang pahit di hari ulang tahunnya.

Tapi rupanya Cheonsa tidak berubah. Cheonsa tidak berubah atau menghilang, dia tetap duduk disampingnya. Sibuk membicarakan tentang cuaca yang sedikit gelap dan berawan di ujung landasan.

“Kemana kau akan pergi?” itu adalah pertanyaan dari Cheonsa. Meski Cheonsa bertemunya di terminal kedatangan, tapi wanita itu rupanya mengingat bahwa Donghae sering menghabiskan waktunya di sini sebelum ia terbang.

“New Delhi,” jawaban yang sama seperti satu tahun yang lalu.

Cheonsa menolehkan pandangannya ke arah Donghae, menatap pria itu dengan lekat lalu tertawa dengan senang.

“Jangan-jangan kau yang akan menerbangkanku ke sana?” tanya Cheonsa dengan riang sambil memperlihatkan boarding passnya dengan tujuan akhir New Delhi.

Benar rupanya. Tuhan selalu memberikan apa yang kita inginkan di tempat dan waktu yang tak pernah kita sadari sebelumnya.

Di hari ulang tahunnya, Lee Donghae memutuskan untuk mengambil tawaran jadwal penerbangan ke New Delhi. Menghapuskan misi melarikan dirinya ke Seychelles, dan memilih utnuk merayakan hari ulang tahunnya di ruangan kopit yang sempit selama hampir 9 jam.

Tapi ia tidak menyangka bahwa semua itu akan terbayarkan dengan kehadiran Han Cheonsa, yang terbang bersamanya ke New Delhi satu tahun setelah pertemuan singkat mereka.

“Benar, aku yang akan membawamu ke New Delhi,” Donghae menjawabnya dengan tertawa kecil. Kini ia lebih menguasai dirinya.

“Mengapa kau ada di terminal kedatangan? Pesawat menuju New Delhi akan berangkat kurang dari 40 menit lagi,” Donghae bertanya demi memperpanjang pembicaraan mereka.

“Mungkin untuk nostalgia,” Kali ini Cheonsa menjawabnya dengan lebih singkat, tapi senyuman ramahnya masih terpatri di wajahnya.

Donghae tidak berani bertanya lebih. Cheonsa jelas memiliki kenangan tersendiri di terminal keberangkatan ini walau rasanya semua kenangan itu cukup pahit jika diingat kembali.

“Setelah bertemu denganmu, hari itu–aku belum melakukan apapun yang aku katakan kepadamu. Aku belum bisa mengalahi rasa takutku kepada ketinggian atau perpisahan,” Cheonsa membenarkan posisi duduknya, matanya menatap ke arah jendela besar tempat beberapa pesawat tengah mendarat.

Cheonsa mungkin belum tahu, bahwa hari itu Donghae tahu bahwa kedatangan suaminya yang terbang menggunakan pesawat khusus merupakan pertemuan terakhir Cheonsa.

“Aku selalu memikirkan New Delhi. Entah bagaimana kata-katamu tentang New Delhi selalu membuatku ingin berkunjung ke sana,” lanjutnya.

“Kau membuat terbang di angkasa terasa mudah. Kau bahkan bilang bahwa di udara rasanya biasa saja, apa kau ingat bahwa kau bilang sky diving itu romantis tapi menakutkan?” tanya Cheonsa, suaranya kembali ringan.

“Rasanya seperti itu, dibandingkan sky diving aku lebih menyarankanmu untuk naik sepeda,” ucap Donghae.

“Di New Delhi? Apa itu hal yang bagus?” Cheonsa menjawab dengan penasaran. Dia belum pernah mengunjungi New Delhi, ini adalah penerbangan pertamanya ke luar negeri setelah kepergian suaminya.

“Sebenarnya kau bisa melakukan apa saja yang kau suka di New Delhi. Kau bisa bermeditasi di Lotus Temple, mengelilingi Qutab Minar jika kau suka bangunan bersejarah, atau mencicipi makanan enak di Paranthe Wali Gali. Apapun yang kau mau, kau bisa melakukannya di sana,”

Suara Donghae terdengar menjanjikan. Dia berharap Cheonsa akan mengajaknya untuk menikmati New Delhi. Atau setidaknya wanita itu akan memberikannya nomor telepon.

Tapi tentu itu semua tidak terjadi.

Cheonsa tetaplah wanita berkelas yang tahu bagaimana cara bersikap. Ia tidak akan mungkin melemparkan pertanyaan yang bersifat pribadi atau memiliki intimasi di dalamnya.

Dengan satu anggukan sopan dari Cheonsa, wanita itu kembali tersenyum dan berdiri di sana. Kali ini pakaiannya jauh lebih sederhana. Ia mengenakan sunflower dress yang membuatnya tampak lebih menarik.

“Baiklah, akan aku catat semuanya. Sekarang, aku harus pergi lebih dulu. Aku bukan kapten pilot yang bisa masuk ke dalam pesawat lima menit sebelum keberangkatan, jadi sampai bertemu lagi!”

Donghae tersenyum mendengar ucapan Cheonsa. Wanita itu jelas berubah banyak dari pertemuan mereka satu tahun yang lalu. Tidak ada lagi kesedihan di dalam matanya, meski Donghae tahu bahwa tak mudah untuk melupakan apa yang harus ia lalui setelah suaminya pergi.

Tapi mungkin itu lah hal yang membuat Lee Donghae tak pernah berhenti memikirkan Han Cheonsa.

Donghae tidak berharap banyak, kali ini ia lebih realistis. Cheonsa jauh lebih baik tanpa dirinya, wanita itu mampu memilih pria yang lebih baik darinya. Pria yang mampu membuatnya melupakan rasa takutnya seutuhnya dan mencoba hal baru yang bergerak di luar hidupnya.

Tangannya sudah terangkat ketika melihat Cheonsa menjauh dari sana dengan koper birunya. Tapi Donghae mengurungkan niatnya untuk mengejar wanita itu.

Dengan tarikan nafasnya ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, dan berharap yang terbaik untuk wanita itu.

.

.

***

.

.

New Delhi

.

.

Johnny tak bisa berhenti berbicara tentang pengalaman pertamanya menerbangkan pesawat ke luar negeri. Pesawat yang mereka bawa berhasil mendarat dengan aman Indira Gandhi International Airport.

Sepanjang penerbangan Donghae mendapatkan dua kue ulang tahun. Satu titipan dari rekan-rekan pilot, satunya lagi kejutan dari awak kabin yang bertugas.

“Apa yang akan kau lakukan selama layover di sini? Mencari klub malam di New Delhi?” Johnny melepaskan sabuk pengamannya. Ia melihat data di kertas yang ada di samping tempat duduknya, ada waktu sekitar 36 jam di New Delhi sebelum penerbangan mereka kembali ke Seoul.

“Tidak ada. Aku tidak berniat mengelilingi situs bersejarah atau berdesak-desakan mencicipi pani puri di sini,” di dalam kepalanya, ia sudah merencanakan untuk menghabiskan sisa waktunya untuk tidur dan membaca majalah lama di hotelnya.

“Kekasihmu tidak menyusul kemari? Siapa tahu New Delhi bisa jadi destinasi romantis,” untuk seukuran junior pilot seperti Johnny, co-pilotnya ini berani untuk banyak bicara.

“Setelah kau terbang lebih dari setahun kau akan mengerti mengapa memiliki kekasih adalah hal terakhir yang kau inginkan di dunia ini,” balas Donghae santai. Matanya melirik ke arah layar kamera yang memperlihatkan barisan penumpang tengah turun dari pesawat.

Matanya berusaha mencari sosok yang dikenalnya. Han Cheonsa, dia duduk di kelas bisnis, harusnya dia turun lebih dulu. Jauh sebelum kelas ekonomi dipersilahkan turun.

“Sedang mencari penumpang yang berpotensial untuk menjadi kekasihmu selama 36 jam di New Delhi?” tanya Johnny iseng yang diabaikan Donghae.

Lima belas menit setelahnya, ruangan kokpit itu hanya dipenuhi oleh celoteh Johnny saat menyelesaikan pendidikan pilotnya di San Francisco.

Baru ketika pramugari memastikan bahwa semua penumpang sudah turun, Donghae dan Johnny meninggalkan kokpit itu. Untungnya Johnny sudah memisahkan diri, ia mengatakan bahwa ia akan menghabiskan waktunya jalan-jalan mengelilingi New Delhi.

“Apa semua penumpang sudah turun?” Donghae bertanya sekali lagi ke salah satu pramugari di sana. Dengan ramah pramugari itu memastikan bahwa semua penumpang sudah berada di terminal.

Ketika dia memasuki ruang kedatangan, matanya terus menyisir ruang tersebut. Banyak penumpang yang masih menunggu koper mereka tiba. Sementara yang lainnya sudah mengantri di bagian imigrasi.

Matanya kembali menyisir ruangan itu, hati kecilnya berharap untuk menemukan wanita berambut cokelat nilon itu. Baru ketika dia akan melangkahkan kakinya dari sana, ia melihat wanita nilon itu dari kejauhan tengah berdiri mendorong kopernya dengan tatapannya yang bingung.

Kilasan masal lalu itu kembali berputar, pertemuan pertamanya, senyuman indah Cheonsa, hingga perpisahan mereka.

Dan dalam hitungan detik, semua keresahan yang dirasakannya menguap entah kemana.

Dia mungkin bukan pria terbaik yang bisa melindungi wanita itu. Tapi detik itu dia tahu bahwa dia tidak akan membuang kesempatannya lagi dan membuang semua keraguannya di ujung landasan.

“Cheonsa,” suaranya kini lebih lantang. Jauh lebih keras dari pertemuan mereka yang pertama.

Cheonsa menolehkan pandangannya dari brosur tur kota New Delhi yang dipegangnya. Matanya menatap Donghae dengan penasaran.

“I hate sky diving, but if you want to try pani puri with thousand of people here. I’d like to give you things to try in New Delhi,” kata-katanya terdengar gamblang, terburu-buru dan acak.

Tapi dalam hitungan detik dia bisa melihat senyuman indah di wajah wanita berambut nilon tersebut.

Han Cheonsa tidak mengucapkan kata apapun, tapi hanya dengan senyumannya saja, Donghae tahu bahwa wanita itu baru saja membuka hatinya untuk kesempatan baru. Kesempatan untuk Donghae membantunya melupakan semua rasa takutnya di belakang sana.

Dan Lee Donghae tahu bahwa perjalanan di New Delhi ini akan menjadi awal dari ribuan perjalanannya bersama Han Cheonsa.

Untuk selamanya.

 


.

.

-fin-

.

.

Hi! Oneshot ini dibikin untuk merayakan ulang tahun Lee Donghae yang ke-34. I know yang baca blog tua ini sudah tidak ada. But its okay, I want here to be a safe place for all Elfishy who stays♡ Ini merupakan sequel, dari oneshot After Roses yang tayang bulan Mei 2019. Di story kali ini Donghae maupun Cheonsa sama-sama realistis, more mature and struggling with their life. Just like most of us. So if you somehow still reading this story, comments are greatly appreciated! 

the soft tuna

xo

.

.

5 Comments (+add yours?)

  1. Lyr2087
    Oct 16, 2020 @ 00:34:41

    Aku baca! Bagus banget! Thanks for the updates

    Reply

  2. Erin
    Nov 14, 2020 @ 13:55:37

    Halo Sonia!! (I hope you wouldn’t mind I call you by your real name😁) Aku salah satu reader lama kamu seneng banget tau kalo kamu masih aktif berkarya (((dan mencintai uhukdonghaeuhuk))) sampai sekarang, tulisan kamu juga makin keren deh, keep up the good work, Son..semangat terus nulisnya yaahhh😉

    Reply

  3. Dian A. Zardi
    Mar 27, 2021 @ 23:44:54

    Seneng bgt ternyata masih ada yang nulis ff disini ♡
    Ya ampun, gak kerasa kita udah tumbuh dewasa dan menua bersama suju, aku penulis dan pembaca lama disini dari SMP, skrg mah aku udh kerja. Udh mau nikah juga lagi wkwk.
    Berharap blog ini aktif selamanya buat jadi kenang²an para elf yang mungkin skrg udah bukan elf lagi haha.
    Author, sukses terus ya dlm berkarya!!

    Reply

  4. Irames
    Sep 10, 2023 @ 21:52:36

    Lagi mental breakdance pas mau nulis ff di wp.
    Terus tiba-tiba kepengen dengerin lagi Kpop tahun 2009-2010an, langsung keinget sama tulisan Kak Ijaggy.

    Thank you…
    Aku lagi down bgt tapi pas baca ini langsung senyum. Berasa balik zaman masih SMP baca tulisan-tulisan Kakak ^^

    Reply

Comment's Box