Silent [15b/15]

silent1333

Silent 15 (b)

Author : R.A

Cast : Lee Donghae (SJ)

Lee Hyukjae (SJ)

Cho Kyuhyun (SJ)

Kim Hana (OC)

Choi Siwon (SJ)

Sandara Lee (OC)

Genre : Romance, family, friendship

Rate : PG-15

*****

Lantunan lagu-lagu rohani memenuhi rumah besar milik Dara. Dari pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya lagu-lagu itu memang kerap ia dengar sebagai ritual hampir wajib dari orang tuanya, terutama sang ayah. Samar-samar ia bisa mendengar liriknya dari kamar. Dan hatinya terasa diketuk.

Gaun putih sudah melilit tubuhnya yang ramping. Pada bagian bahu terbuka dan hanya dihiasi kalung berlian bermatakan hati.  Rambutnya disanggul rapi dengan mahkota kecil di atas kepalanya. Cadar putih menjuntai indah yang nantinya akan menutupi kecantikannya di depan calon suami.

Ini hari yang menegangkan. Dara tidak berlebihan mengatakan bahwa lututnya lemas sejak pagi. Ia hampir tak kuat berdiri kalau saja penata rias dan ibunya sendiri  tidak terus menghidupkan semangatnya. Bukan hanya lutut, kepalanya juga ikut pusing karena semalaman tidak tidur.

“Gugup sekali, ya?”

Dara memaksakan senyumnya. Ya, ia gugup. Saking gugupnya hingga rasanya ia ingin lari dari sini. Padahal ia terus berusaha meyakini diri kalau ini adalah pilihan tepat. Siwon adalah tujuannya. Siwon adalah pria yang akan ada di sampingnya kala membuka mata di esok pagi dan seterusnya. Tapi….kenapa ia masih ragu?

“Kau seperti bidadari. Siwon pasti akan mengatakan hal yang sama.”

Si penata rias berkaki jenjang itu terus menggodanya tanpa melihat bahwa senyumnya sejak tadi itu palsu. Ia bukan gugup karena takut ada kesalahan saat upacara pemberkatan, bukan takut salah mengucapkan janji pernikahan, tapi takut kalau ini adalah langkah yang keliru.

Ia sudah di tuntun untuk berdiri. Sekali lagi menghadap cermin dan diminta untuk berputar. Gaun ini begitu luar biasa. Dengan tumpukan batu berlian yang membentuk ikat pinggang di bagian pinggulnya, tak perlu dijelaskan berapa biaya untuk membuatnya atau gaun ini buatan desainer terkenal mana. Bukan hanya itu, bagian ekornya juga hampir mencapai 3 meter dan nantinya akan ada dua anak gadis yang memegangnya. Tapi tetap saja, ia tidak merasa antusias.

“Sudah siap? Ayo berangkat!”

Sepanjang perjalanan menuju gereja hati Dara tak tenang. Ketika menuruni anak tangga rumahnya, ia hampir jatuh. Ketika akan masuk ke dalam mobil, ia sempat berjalan terus tanpa menghiraukan supir yang membukakan pintu. Pikirannya kacau. Pikirannya tak sedang berada di tempat yang seharusnya.

“Tarik nafasmu dalam-dalam. Ibu juga dulu begitu waktu akan menikah.” Ibunya tertawa seperti halnya ibu lain di dunia yang tak sabar melihat anaknya jadi pengantin. Sayang, ia tak bisa ikut tertawa. Ia tak bisa.

Sekitar 20 menit kemudian mereka tiba di gereja . Ayahnya yang sudah menunggu langsung menjulurkan tangan untuk menuntun. Namun, ia bergeming. Tangan itu hanya ditatapnya lekat-lekat.

“Dara, letakkan tanganmu disini.”

Dara terhenyak tanpa membiarkan tangannya menyentuh tangan keriput ayahnya. Sungguh, ia benar-benar bingung. Apa yang harus ia lakukan?

***FinalChapter***

“Menurutmu apa yang dilakukan penata rias pada si galak Dara? Apakah wajahnya sedang diukir supaya tampak ramah dan murah senyum?”

Donghae enggan menanggapi pertanyaan konyol Yesung yang duduk di sebelah kirinya. Ia lebih tertarik untuk mencari keberadaan Hyukjae dan Kyuhyun di deretan kursi gereja.

“Siapa yang kau cari?”

“Teman-temanku.”

Donghae bersyukur karena Yesung tak bertanya lagi setelah menemukan ‘mainan’ menarik. Yesung tampak mengobrol dengan seorang ibu-ibu sementara Ia terus melayangkan pandangan, melihat satu persatu tempat duduk untuk menemukan Hyukjae dan Kyuhyun.  Tapi yang ia lihat justru ayahnya sendiri. Ia sempat tersenyum dan berniat untuk mendekat kalau saja ayahnya tak langsung buang muka.

Ia duduk kembali sambil memperbaiki letak bunga di jasnya. Sebenarnya ia sudah curiga kalau dua sahabatnya yang sedang bersitegang itu takkan datang. Ia sendiri harusnya tak disini karena hari ini Hana akan pergi meninggalkan Korea. Kalau saja Hana tak menelponnya semalam untuk berpamitan dan memintanya jangan datang ke bandara, ia tidak akan kemari menggunakan jas terbaik miliknya lalu tersenyum pada teman-temannya. Ia ingin ke bandara. Ia sungguh ingin melarang Hana supaya memikirkan lagi keputusannya.

“Ah, Dara sudah muncul! Ayo berdiri!”

Terpaksa Donghae ikuti proses pernikahan ini dengan tertib. Ia dan semua tamu kompak berdiri lalu mengarahkan pandangan ke pintu masuk dimana Dara sedang berjalan di dampingi ayahnya. Sebenarnya Donghae sempat diminta untuk duduk di barisan depan bersama keluarga, tapi Donghae menolak. Ia tak merasa cukup terhormat untuk bergabung dengan keluarga kaya itu.

Ia menatap Dara yang berjalan pelan. Mata gadis itu lurus tertuju pada Siwon yang sudah menunggu di altar bersama pendeta. Donghae tak bisa melihat wajah Dara karena tertutupi cadar. Tapi ia yakin hari ini Dara sangat cantik. Dan ia tak bisa menutupi kegamumannya pada gaun yang Dara kenakan.

Setelah hampir sampai dan melewati kursi dimana ia berdiri, Dara tiba-tiba berhenti melangkah. Semua tamu langsung saling pandang dan berkasak kusuk mengalahkan alunan piano di sudut gereja. Donghae sendiri tak paham apa yang terjadi. Ia tatap Dara dan ia hampir tak percaya kalau Dara juga menatapnya.

“Eh? Ada apa ini?” Yesung bertanya-tanya sendiri. Donghae berusaha mengerti maksud Dara tapi ia tak temukan jawabannya. Dan setelah beberapa saat hanya diam, akhirnya Dara terus berjalan lalu tiba di hadapan Siwon. Sampai tahap ini, pikiran Donghae kembali buyar. Sekarang yang menguasai kepalanya adalah Hana, Hana dan Hana. Ia lihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah hampir jam 10 sedangkan pesawat Hana berangkat jam 11. Bisakah ia lari dari sini?

“Hadirin sekalian. Kita ada disini untuk menyaksikan-”

Donghae tak bisa mendengar apa-apa. Kakinya mulai mengetuk-ngetuk lantai tidak tenang. Dilihatnya sekali lagi jam tangan dan akhirnya ia kalah. Ia tak bisa diam saja sementara cintanya akan pergi dan ia takkan melewatkan satu-satunya kesempatan itu. Jadi ia menyingkir dari situ dan berlari keluar meninggalkan acara pernikahan yang sudah akan dimulai. Ia panggil taksi lalu menyebutkan  bandara incheon sebagai tujuannya. Ia tahu, jarak dari tempatnya saat ini ke Incheon tidaklah dekat. Itulah yang ia sesalkan kenapa terlambat berpikir. Tapi semoga masih ada waktu. Semoga ada keajaiban sehingga penerbangan ditunda dan ia sempat bertemu Hana.

***FinalChapter***

PRANGGGG

Hyukjae melempar botol minumnya ke dinding hingga pecah dan isinya membuat lantai basah. Belum puas, ia lempar lagi botol yang lain hingga pecahannya menyebar ke mana-mana. Kalau sampai ada pecahan kaca yang menusuk kakinya, ia tak perduli. Sakitnya tidak ada apa-apa.

Ia sudah menghabiskan waktu berjam-jam disini dengan menari seperti orang gila. Seperti orang kelebihan tenaga ia tak beristirahat sedikitpun untuk mengambil nafas.

Ia tahu dirinya terlihat seperti pecundang. Tak berani maju bersama dan tak mengambil satu-satunya kesempatan terakhir yang ia miliki. Tapi ini harus dilakukan karena ia juga sadar tak ada celah untuk mengembalikan semuanya seperti semula. Dan kalau ia ke sana, ia yakin ia akan kehilangan kontrol dan bisa melakukan apa saja supaya Hana tidak pergi. Ia tak mau jadi alasan Hana lagi untuk melawan orang tuanya. Tidak melihatnya untuk yang terakhir, tidak bicara atau sekedar mendengar suaranya, mungkin lebih baik. Lagipula, mungkin juga saat ini yang menemani Hana di sana adalah Kyuhyun –calon suaminya.

Ia tertawa sejenak sambil menyandarkan tubuhnya pada sisi podium. Yang tergambar dikepalanya saat ini adalah Kyuhyun yang sedang menikmati keberuntungan yang datang padanya. Menakjubkan! Kenapa ia tak pernah sadar kalau Kyuhyun juga menyimpan sesuatu? Harusnya ia lebih peka. Sekarang semuanya tampak jelas. Kenapa Kyuhyun beberapa kali menunjukan sikap diluar areanya, kenapa Kyuhyun yang selalu konsentrasi membaca dan tak ada satu hal pun bisa mengganggunya justru bisa mendengar berita soal Hana di perpustakaan, dan kenapa ia merasa tatapan Kyuhyun pada Hana berbeda. Tak sering memang, atau karena ia mengabaikan hal itu maka ia menganggapnya tak sering terjadi. Bisa saja itu selalu terjadi dalam pertemuan mereka, hanya saja tak pernah terpikirkan.

Tak lama jam dinding di aula berdentang nyaring menunjukan pukul 10 pagi. Artinya, ia sudah dua jam berada disini dan Hana akan segera pergi. Artinya lagi, ia mungkin akan merelakan kesempatan terakhirnya untuk bertemu Hana berlalu begitu saja.

Drrrttt

Handphonenya bergetar diikuti lagu favoritnya. Ia sudah mengganti semua nada dering yang semula adalah suara Hana menjadi lagu-lagu biasa. Dan alangkah terkejutnya begitu melihat nama yang tertera pada layar.

“Hana!” Ia hampir tak bisa mengendalikan nada suaranya begitu meletakkan hanphone ditelinga.

“Kau masih mau mengangkat teleponku rupanya.”

“Aku menghargai siapapun yang ingin menghubungiku,” balasnya setelah bisa mengendalikan diri.

“Kau terdengar sedang kelelahan.”

Hyukjae menghela nafas. “Aku baru selesai menari. Kau tahu. Ini caraku.”

“Pasti menyenangkan masih bisa menari.”

Hyukjae memukul dadanya. Seperti ditampar, ia merasa Hana sedang mengatakan bahwa ini semua karena perbuatannya. Hana kehilangan mimpi, Hana kehilangan kebebasan dan itu karena sikap pengecutnya.

“Kau tidak perlu merasa bersalah. Ini juga jadi pilihanku. Jadi pilihan kita berdua.”

Perkataan Hana jadi tak begitu ia dengarkan. Matanya tertuju pada jam dinding, mengikuti gerakan jarumnya yang terus berputar ke kanan.

“…………….aku tidak tahu kenapa menghubungimu.”

Hyukjae berdiri kemudian mendekat ke tempat dimana jam menempel. Ia pandang sekali lagi dan ia nyaris tak mendengarkan Hana.

“Kau sepertinya sedang sibuk. Lebih baik aku…….”

Matanya masih tertanam pada jam dinding. Pergerakan jarum jam tiba-tiba saja terasa sepuluh kali lebih cepat dan meneriakinya keras-keras. Hatinya berdebar kencang. Apakah ia masih bisa diam saja?

“Maaf mengganggu. Aku-“

“Tunggu aku di bandara!!!!!!!”

Hyukjae baru sadar ia sudah keluar dari aula dan berlari melewati lorong kampus menuju halaman. Ia harus berlomba dengan waktu. Ia harus tiba disana sebelum jam 11 atau semua akan sia-sia. Ia tak tahu apa persisnya yang mendorongnya pergi. Apakah untuk mengatakan perasaannya sekali lagi? Atau mungkin ia akan menarik semua keputusannya dan meminta Hana kembali?

**FinalChapter**

“Apa kau sudah tiba di bandara?”

Kyuhyun mengirimkan pesan singkat pada Hana beberapa menit lalu. Dan Hana belum juga memberi balasan. Jujur, ia tak bisa duduk tenang sejak tadi. Meski ia mencoba melakukan hal lain agar pikirannya teralihkan, ternyata tidak berguna. Buku yang sempat ia baca hanya tergeletak di atas meja belajarnya dan terbuka pada halaman 124. Dua gelas sirup jeruk yang ia minta dari pelayan tidak ia minum sampai es batunya mencair. Dan televisi yang menampilkan berita terkini seputar kondisi ekonomi Amerika Serikat tidak ia hiraukan.

Ia ingin mengantar Hana ke bandara. Tapi Hana sudah melarangnya dengan alasan ingin pergi tanpa ada siapapun yang mengantar. Akibatnya tak ada hal benar yang ia lakukan sejak pagi. Berkali-kali ia terus mengirimi Hana pesan seperti pertanyaan apa kau sudah bangun?, jangan lupa sarapan, apa kau yakin tidak ingin di antar? Dan sebelum menanyakan apakah Hana sudah tiba di bandara atau belum, ia juga sempat bertanya, apa kau ingin aku meminta Hyukjae ke sana? Hana begitu cepat membalas dengan sebuah larangan keras.

Drrtt

Dalam satu gerakan cepat ia buka pesan masuk di handphonenya. Ternyata pesan dari Hana.

“Ya, aku baru saja sampai.”

Kyuhyun semakin bingung. Rasanya ia tak bisa membiarkan Hana pergi sedangkan ada satu hal penting yang belum sempat ia katakan. Masih ada satu kalimat yang sejak dulu ia pendam dan belum menemukan waktu yang tepat untuk diutarakan. Lalu sekarang, disaat ia punya satu kesempatan kecil, apa ia masih bisa diam saja?

Mungkin benar, ia bisa mengatakannya lain waktu ketika Hana kembali atau ketika perjodohan mereka terlaksana. Tapi tidak! Ia tak sanggup menunggu selama itu. Dan sebenarnya ia punya rencana tentang perjodohan mereka, jadi mengatakannya di waktu yang akan datang memiliki kemungkinan lebih kecil dibanding mengatakannya sekarang.

“Pergilah, Kyu.” Suara ibunya terdengar dibalik punggungnya sementara ia masih membaca berulang-ulang pesan dari Hana sambil mengumpulkan keyakinan.

“Ibu tahu, kau ingin mengatakannya, kan?”

Kyuhyun menghentikan aktivitas jari-jarinya lalu menatap mata ibunya lekat-lekat.

“Kau terlalu sibuk memikirkannya sendiri sampai lupa bahwa masih ada ibu.”

Ia terdiam sebentar. Dengan perlahan ia berbalik, menyimpan handphonenya lalu mendekati ibunya yang berdiri di ambang pintu. “Aku ingin mengatakannya, tapi….”

“Ini adalah perasaanmu.” Ibunya memotong ucapannya, lalu menunjuk dadanya. “Dan setiap orang berhak untuk memilikinya. Kepada siapa itu akan berlabuh, juga tidak ada yang bisa kendalikan.”

Sudah cukup lama Kyuhyun tak mendengarkan ibunya bicara setenang ini. Selama ini ia memang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri dan merasa sudah dewasa tanpa perlu berbagi apa-apa lagi pada ibunya.

“Ibu tahu apa yang kau rencanakan. Kalau memang menurutmu itu benar, ibu akan bantu bicara pada ayah. Tapi untuk saat ini, kau harus gunakan sisa waktu. Diam tidak akan membantu apa-apa kalau waktu terus berjalan. Sakit karena ia menolakmu, tidak ada apa-apanya dibanding sakit karena kau tak sempat mengatakannya.”

Kyuhyun merasa semangatnya dipompa ketika ibunya menyentuh kedua bahunya lalu mengusapnya. “Pergilah. Katakan bahwa kau memiliki perasaan yang luar biasa padanya. Kau berhak bicara dan dia wajib tahu isi hatimu.”

Kyuhyun memeluk ibunya erat-erat lalu menarik jaketnya di atas tempat tidur. Ibunya benar. Ia menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berpikir, bukan bertindak. Hana harus tahu perasaannya, Hana harus tahu sekarang juga!

Jadi ia sudah berada di jalan raya dan terpaksa melanggar kebiasaannya sendiri untuk tidak mengebut. Ia terus meningkatkan kecepatan mobilnya kalau tak mau terlambat dan harus menelan kecewa. Pasti masih ada waktu, pasti ia masih bisa mengejar Hana dan menuntaskan perasaannya. Persetan dengan jawaban Hana!

***FinalChapter***

Melalui ekor matanya, Dara dapat melihat Donghae yang berlari keluar. Hatinya langsung berteriak. Tubuhnya gemetaran.

“Sebelum dimulai, adakah pihak yang keberatan dengan pernikahan ini?”

Suara pendeta menggema. Tidak ada yang menginterupsi, bahkan untuk sekedar helaan nafas. Semua begitu tenang, hikmat dan mengunci mulutnya. Tapi tidak dengan Dara. Seikat bunga yang ada ditangannya ia remas kuat-kuat sampai beberapa kelopaknya jatuh. Ia  hampir menangis lagi.

“Baiklah.” Pendeta berpostur tinggi itu kembali berujar. Dara meremas bunganya sekali lagi. Matanya tertuju pada Siwon sejenak dan hingga detik ini ia belum juga merasa yakin, bahkan dalam setiap detiknya yang menguasai adalah keraguan. Ia pandang satu persatu wajah para tamu termasuk kedua orang tuanya. Apakah ia tega menghancurkan kebahagiaan mereka?

“Hari ini-“

Dadanya semakin berdebar-debar. Seolah-olah ada segerombolan orang dengan godamnya yang mendorongnya untuk berani buka mulut. Ia tak bisa menahannya. Ia tak bisa pasrah begini.

“Aku keberatan!!!!!!!”

Dara merasa dadanya sesak. Bibirnya bergetar dan air matanya jatuh begitu saja. Ia buka cadar yang menutupi wajahnya lantas melepas bunganya hingga jatuh ke lantai.

“Siwon, aku tidak bisa.”

Dara menyentuh kedua tangan calon suaminya itu.  Ia sadar sudah kelewatan. Ia tahu keputusannya membuat semua orang yang ada disana kebingungan. Tapi hal memalukan dan keterlaluan ini yang ingin ia lakukan.

“Kau jangan bercanda. Kita harus lanjutkan perni-“

“Kau tahu aku tidak bisa. Aku seharusnya tidak berada disini. Kita semua harusnya tidak disini!”

“Kau pasti sudah gila.”

Dara bisa melihat luka dimata Siwon. Tapi ia tak bisa mengobatinya. Ia tidak mau semuanya terlambat dan ia tak bisa meraih bahagianya.

“Aku harus pergi.”

Dan tanpa menghiraukan panggilan yang bertubi-tubi kepadanya, Dara sudah lari keluar. Ia lepas sepatunya, ia lepaskan segala benda yang ada dikepalanya kemudian berlari sambil mencari taksi. Tak tahu ia mau kemana. Tapi yang pasti, ia ingin menemui seseorang.

“Donghae, kau dimana?”

***FinalChapter***

Donghae meremas rambutnya. Kalau bukan mengecek jam, maka ia akan meminta supir taksi untuk lebih cepat. Sesekali ia hampir kehilangan kontrol dan ingin memarahi supir bertubuh besar itu karena dinilainya lambat. Padahal speedometer sudah menunjukan batas maksimum. Kalau mau lebih dari itu, mereka bisa dikejar polisi lalu lintas.

Donghae tak sabar untuk segera sampai. Apalagi waktu terus berjalan dan sekarang sudah pukul 10.30. Bagaimana kalau ia tak sempat bertemu Hana?

CKITTT

Taksi yang ditumpanginya tiba-tiba berhenti. Ia perhatikan keadaan luar dan ia hanya melihat gedung-gedung perkantoran yang tinggi serta beberapa gedung lain. Ada sebuah gedung dengan tulisan besar di depannya ‘The Hotel Yeongjong’. Dan itu artinya ini masih sekitar 6 km lagi dari bandara.

“Kenapa berhenti?”

Supir itu menoleh ke belakang memperlihatkan tatapan tak bersahabat.

“Apa kau punya uang?”

Donghae meneguk ludah. Ia melupakan masalah itu. Ia punya uang, sisa gajinya yang kebanyakan digunakan membeli minuman keras masih ada didalam dompet. Tapi ia tak yakin kalau jumlahnya cukup untuk membayar ongkos taksi ini.

“Aku punya. Tenang saja. Sekarang aku harus ke bandara. Aku harus menemui seseorang dan aku tidak boleh terlambat. Tolong antar aku ke sana dan aku akan bayar berapapun yang kau mau. Aku-“

“Kalau begitu tunjukan uangmu.”

Sial! Donghae hampir saja menonjok muka supir itu.

“Kumohon, itu soal gampang. Aku sedang dikejar waktu.”

“Aku juga sedang dikejar setoran. Kalau aku mengantarmu sampai bandara dan ternyata kau tidak punya uang, apa kau mau tanggung jawab? Sejak tadi kau terlalu banyak meminta sedangkan aku ragu kalau kau bisa membayarnya.”

Donghae habis kesabaran. Ia keluarkan dompet lalu memperlihatkan isinya. Ia perlihatkan semuanya sampai pada dua buah uang recehnya.

“Lihat? Ini tidak cukup!” kata supir itu gusar setelah mengambil dompet Donghae dan mengambil beberapa lembar uang. “Silahkan keluar!”

“Apa? Dengar! Aku akan membayar sisanya setelah kau mengantarku sampai bandara.”

“Keluar!”

Donghae tidak mau keluar. Ia tetap duduk dan terus berusaha agar supir itu berbaik hati padanya. Tapi yang ada, supir itu keluar lebih dulu, membuka pintu belakang lantas menariknya dengan kasar lalu mendorongnya.

“Aku tidak suka direpotkan oleh penumpang sepertimu!”

Tubuhnya di lempar hingga hampir jatuh sedangkan supir itu langsung tancap gas bersama mobilnya. Sekarang ia tak tahu harus pergi ke sana dengan menggunakan apa. Tahu begini, lebih baik pakai sepeda seperti biasa.

Beberapa menit ia habiskan dengan melambai-lambaikan tangan-tangan pada semua mobil yang lewat. Selain taksi sekalipun, ia berusaha meminta tumpangan. Ada yang sempat berhenti dan bertanya, tapi begitu mengetahui tujuannya, ada yang memilih pergi. Namun, lebih banyak yang tidak memperdulikan aksinya. Jadi karena tak menemukan satu orangpun yang mau membantu, ia ambil ancang-ancang, menarik nafas perlahan-lahan lalu melepas jasnya. Tak ada pilihan lain, ini satu-satunya cara.

Lari!

Ia berlari sangat kencang. Jasnya sudah ia lempar entah kemana dan keringat sudah membentuk pulau-pulau dipunggung serta dadanya. Ia mungkin akan tampak bodoh, tapi kalau kenyataannya tidak ada satu orangpun yang mau sedikit rugi untuk mengantar, kenapa ia disebut bodoh? Ia punya sepasang kaki yang sehat dan masih bisa digunakan.

Semakin dekat, lajunya semakin kencang. Ia merasa kedua kakinya takkan berhenti sebelum tiba ke  tempat tujuan. Di depan matanya, ia sudah menanamkan satu nama. Jadi ia takkan jatuh sekalipun kelelahan mulai datang kalau nama itu belum bisa ia teriakan dan berhasil menghentikan kepergiannya.

**FinalChapter**

Hana menutup ponselnya dengan lemas. Jujur, ia sendiri masih tak percaya kalau jari-jarinya bergerak mencari nama Hyukjae lantas menghubunginya. Kemarin-kemarin ia sudah yakin dan berjanji pertemuan dengan Hyukjae di kampus waktu itu adalah yang terakhir. Tapi hingga waktu terus berjalan dan pemberitahuan keberangkatan pesawatnya terdengar, benteng yang ia bangun goyah juga. Dan tanpa sadar ia sudah meletakkan handphonenya ditelinga lalu terdengarlah suara yang begitu ia rindukan.

“Tunggu aku di bandara!!”

Perintah itu terdengar berulang-ulang di kepalanya. Hingga berlalu beberapa menit, ia tak bergerak sambil meyakinkan dirinya sendiri kalau itu memang benar suara Hyukjae yang memintanya untuk menunggu dan artinya pria itu menuju kemari. Apa yang harus ia lakukan? Apakah Hyukjae masih sempat kemari?

Satu sisi dalam dirinya mengatakan ia harus segera pergi atau setidaknya Hyukjae tak sempat kemari. Ia tak mau apa yang sudah ia pilih berubah lagi. Tak diijinkannya ada satu penghalang yang bisa membuatnya tidak jadi pergi, termasuk Hyukjae. Tapi sisi lain dalam dirinya juga tak bisa bohong kalau ia begitu ingin melihat Hyukjae, ia ingin lebih dari sekedar mendengar suara pria itu.

Lama ia tenggelam dalam peperangan dirinya sendiri. Bingung, takut, sedih, gelisah, semua berbaur jadi satu. Sempat ia lirik jam ditangannya dan sepertinya ia harus terima bahwa bagian dalam dirinya yang ingin bertemu dengan Hyukjae harus menelan kekalahan. Ia tahu benar, butuh suatu keajaiban bagi Hyukjae untuk tiba secepat kilat kemari. Jadi sekarang, yang perlu ia lakukan adalah menarik nafas panjang, berdiri lalu mulai melangkah.

“Ini kedua kalinya aku mendengar suara degub jantungmu. Begitu gugupkah menatap mataku?”

Bayangan awal-awal pertemuannya dengan Hyukjae mulai berputar dalam benaknya. Ia remas tas selempang yang ia gunakan. Kalau tidak begitu, ia mungkin sudah menangis sekarang.

“Jangan angkuh! Aku akan tetap mengenalkan diri. Aku Lee Hyukjae. Bukan seseorang yang kau katakan tadi, tapi hanya seorang pria yang ingin jadi temanmu.”

“Kalahkan aku, maka kita resmi berteman.”

Masa dimana Hyukjae begitu gigih mendekatinya adalah masa yang paling ia rindukan. Mereka kerap latihan bersama hingga kadang tak kenal waktu. Mereka pernah menari selayaknya pasangan sekalipun sebelumnya tak pernah direncanakan. Dan mereka pernah bersaing demi sebuah gelar.

“Jangan takut, aku tak akan menyakitimu seperti mereka.”

“Apa aku sudah cerita kalau sahabatmu itu sudah menolongku? Atau mungkin, dia sudah lebih dulu cerita padamu?”

“Sebenarnya semalam aku membeli ini, kebetulan bertemu denganmu. Tapi aku benar-benar lupa memberikannya.”

Lalu akhirnya ia dibuat kebingungan oleh Donghae. Begitu banyak kesalahpahaman terjadi akibat sikap Donghae yang selalu diam dan membuatnya berpikir kalau hal-hal yang sudah dilakukan Donghae adalah perbuatan Hyukjae.

“Kenapa tak bilang dari tadi? Kau akan meminjamkannya kan? Atau berikan padaku saja? Ah, kau menyelamatkanku!”

“Dulu, aku kira dia tak lebih dari seorang playboy kacangan. Tapi setelah mengenalnya…aku rasa harus belajar untuk tak menilai orang dari tampilan luarnya,”

“Haha…aku tahu, kau cemburu pada Coco, kan? Hana…tadi Coco sakit dan tidak mau jika orang lain yang merawat.”

Hyukjae memang sangat menyebalkan. Pria itu mampu mempermainkan perasaannya. Dari jengkel ke taraf sangat benci, lalu turun ke bahagia, senang dan ia tak menampik bahwa lama kelamaan perasaan itu muncul juga, bahwa ia ingin terus dipermainkan seperti itu oleh Hyukjae.

“Aku seperti anak kecil yang kebingungan mencari induknya. Kau tak ada dikampus. Kau tak bisa dihubungi. Elie tak tahu apa-apa. Kau tahu kalau aku sampai berpikir yang tidak-tidak?”

“Lain kali, jangan hanya memikirkan diri sendiri. Pikirkan kalau diluar sana ada seseorang yang selalu memikirkan keselamatanmu.”

“Jika kau butuh sesuatu, katakan padaku. Aku akan datang lebih cepat dari yang kau bayangkan. Lihat aku. Hanya melihatku.”

Ia remas tali tasnya semakin kuat. Dadanya semakin sakit dan sayangnya ia tak bisa hentikan bayangan-bayangan itu yang datang dengan sendirinya.

“Kalau kau jadi Donghae, apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan menuruti kemauan Ayahku.”

“Melupakan mimpimu?”

“Ya, aku yakin pilihan orang tuaku adalah yang terbaik. Hanya butuh waktu aku pasti bisa beradaptasi.”

“Cih, aneh. Kalau itu aku, aku akan membangkang. Mungkin aku akan berakting sementara didepan orang tuaku. Tapi jika sudah tiba waktunya, aku akan benar-benar berontak.”

Lucu sekali. Sekarang ia tak benar-benar memegang prinsip itu. Pada akhirnya ia kalah dan harus menerima kalau pilihan Hyukjae yang terbaik untuk mereka. Hyukjae tetap berpegang pada keyakinannya dan pria itu nampaknya sampai kapanpun enggan membuat orang tua sebagai penghalang. Apa yang dikatakan orang tua adalah perintah yang tidak boleh ditolak baginya. Dan ia tertular.

“Kim Hana, aku menyukaimu. Apa kau juga menyukaiku?”

Ya, Hana sangat menyukainya. Bukan sekedar suka, tetapi cinta. Hana terlanjur mencintainya. Hana terlalu mencintainya sampai-sampai ia mulai ragu untuk terus berjalan. Apa keputusannya untuk pergi sudah benar?

“Kita berpisah.”

Tapi untuk apa ia mundur kalau Hyukjae pun sudah memintanya untuk menjauh dan melupakannya?

“Lanjutkan hidupmu dengan baik.”

Ia berhenti melangkah. Matanya lalu terpejam dan sekali lagi segala peristiwa menyenangkan sekaligus menyakitkan itu terulang lagi. Hingga perlahan-lahan kaki kanannya mulai terayun, terus bergerak dan nyaris melengkapinya jadi satu langkah pasti sebelum akhirnya ia mendengar teriakan keras.

“KIM HANA!!!!!!!!!!!!”

Kontan ia berbalik dan apa yang ia lihat mampu membuatnya tercengang.

“Sudah kubilang tunggu aku.”

Ia tersenyum, menangis, entahlah. Ia bingung. Dan ia sungguh terkejut saat menyadari pria itu sudah berdiri tepat satu meter di depannya.

“Apa kau akan pergi dengan cengeng begini? Nanti seisi pesawat bisa berpikir kau sedang patah hati.”

Menyebalkan! Bahkan disaat-saat seperti ini pria sinting itu masih bisa berkelakar. Ia maju satu langkah lantas memukul dadanya.

“Aku memang sedang patah hati.”

Pria itu tersenyum lalu mengelap keringat yang mengucur dari dahi serta sela-sela rambutnya. Sepertinya ia baru saja lari marathon dari rumah kemari.

“Katakan padaku siapa yang membuatmu begini, biar ku hajar dia.”

Giliran Hana yang tersenyum, namun pahit. Ia usap air matanya lantas semakin memperkecil jarak antara mereka. “Namanya Lee Hyukjae, dia adalah pria paling gila yang pernah ku kenal. Dia adalah playboy paling jelek yang pernah kulihat. Dia adalah pria yang membuatku ikut gila. Dia menarikku, tapi lalu melepasku begitu saja. Dia berjanji, tapi kemudian melanggarnya.”

Ia berhenti sejenak dan ia tahu pria dihadapannya itu begitu ingin membalasnya. Tapi untuk sementara tak ia biarkan. “Tapi dia yang mengajarkanku untuk lebih memperhatikan orang tua. Dia menjunjung tinggi orang tua di atas segalanya. Dia bilang aku tidak boleh membantah. Dia bilang apa yang dinginkan oleh ayah dan ibuku adalah pilihan terbaik. Dan bagaimanapun aku membencinya, aku tak bisa bohong kalau aku juga mencintainya.”

Satu persatu air matanya jatuh. Tak beda dengan pria itu. Ia bisa lihat genangan air mulai mengambang dimatanya dan akhirnya satu tetes jatuh juga.

“Aku mencintainya. Aku sangat mencintainya.”

Hana luluh juga dalam pelukannya. Ia menyatukan tubuh mereka dan membiarkan ia lupa waktu untuk sesaat. Ia butuh pelukan itu. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya. Meski tak ada satu pun reaksi, ia tak perduli.

“Kenapa kau hanya diam? Kenapa kau tak mengatakan sesuatu lagi?”

Suara Hana mulai serak dalam isakannya. Tapi tangis itu secara perlahan memudar hingga ia mulai bisa menguasai diri dengan baik.

“Kau tahu apa yang ingin aku katakan.”

Ia mengangguk pelan. “Tapi aku ingin dengar sekali lagi.”

Ia bisa rasakan dada pria itu naik sejenak lantas hembusan nafas langsung menyapa kepalanya. Lalu setelah menunggu beberapa detik, ia bisa mendengar, “Aku tidak mencintaimu. Aku sangat membencimu.”

Ia tersenyum tanpa satu tetespun air mata. Ia benamkan sekali lagi wajahnya dalam dekapan.

“Ya, aku tahu itu, kau sangat mencintaiku.”

“Tidak! Aku tidak mencintaimu.”

“Kau sangat mencintaiku.”

Mereka terus bersahutan seperti orang tolol dan harus terhenti ketika suara pemberitahuan tentang pesawat terdengar lagi. Saat itulah Hana baru kembali merasa menjajaki tanah. Ia baru kembali dari awan dengan cara dihempas keras. Baru juga ia merasakan angin segar, tapi dalam sekejab angin itu pula yang menghantamnya ke bawah. Hanya begini?

“Sudah waktunya, cepat pergi.”

“Hyukjae…”

Hyukjae menghela nafas panjang, perlahan-perlahan melepas pelukan yang masih mengikat ia dan Hana.

“Jangan katakan apa-apa lagi. Sekarang cepat berbalik, lalu berlarilah hingga perlahan-lahan angin akan melenyapkan bayanganku.”

Hana mengangguk perlahan meski hatinya seperti dicabik-cabik binatang buas berkuku panjang dan tajam. Ia tahu Hyukjae adalah orang yang keras dan akan sulit berubah tujuan. Jadi ia mundur pelan-pelan, menatap tubuh tinggi berotot itu lantas mulai membalik badan.

“Aku tahu kau tidak akan berubah pikiran.” Ia tarik nafas panjang. Ia hembuskan sambil menengadah agar tangisnya tak datang lagi. “Aku pergi.”

Diawali dengan langkah satu satu yang begitu pelan dan tampak berat, tak lama ia mulai berjalan dengan normal. Lalu berubah jadi lebih cepat, lebih cepat hingga ia berlari kencang dan mulai membaur dengan kerumunan. Ini pilihan mereka berdua. Tidak ada yang perlu disesali dan setelah ini ia harus tersenyum menyambut hidup baru yang sudah menunggunya di depan. Namanya Kim Hana, dan ia masih menyimpan satu keyakinan bahwa suatu saat ia akan temukan jalan untuk menunjukan kekuatan mimpinya pada semua orang.

Saat itu Hyukjae masih berdiri diam meski ia merasa kedua lulutnya lemas hingga tak kuat berdiri. Tapi dengan terus menatap gadis itu, terus menatap punggungnya yang mulai mengecil, sisa-sisa kekuatannya masih ada. Hanya saja ia tak yakin apa yang akan terjadi setelah Hana tak terlihat lagi.

Ia dan Hana sudah memilih. Meski harus dengan mengorbankan perasaan masing-masing, keputusan tetap harus diambil. Ia yakin Hana akan baik-baik saja. Sedangkan ia sendiri diam-diam masih berharap bahwa masa depan akan berjalan berbeda seperti prediksi orang-orang sekitarnya.

“Dimana dia?”

Segara ia berbalik dan menemukan Kyuhyun terengah-engah sambil memegangi lutut. Oh, ada yang terlambat rupanya.

“Dia sudah pergi.”

Kyuhyun tak percaya dengan apa yang ia dengar dari Hyukjae. Hyukjae pasti sedang membuat lelucon. Tapi hingga beberapa saat Hyukjae tak mengatakan apa-apa lagi. Pria itu malah melenggang pergi setelah menyenggol bahunya lumayan keras.

“Apa hubungan kita akan terus seperti ini?” Ia langsung melontarkan pertanyaan sebelum Hyukjae melangkah semakin jauh. Ia tak bisa diam saja menanggapi perang dingin antara mereka. Dan sebenarnya ia tak pernah sekalipun mengibarkan bendera perang. Tapi ia tahu bahwa Hyukjae memendam suatu kekecewaan besar padanya.

“Kau ingin aku bagaimana? Menyalamimu lalu mengatakan selamat atas perjodohan kalian?”

Ia melangkah mendekati Hyukjae, mereka bertatapan intens untuk beberapa detik.

“Aku sudah berusaha untuk memberitahumu, tapi aku tak pernah punya kesempatan. Dan kalau kau pikir aku mensukurinya, kau salah besar!”

Tepat setelah kalimat itu, dapat ia lihat sebuah pesawat terbang melesat jauh ke atas awan. Jika benar Hana ada di dalam sana, artinya satu-satunya harapan untuk bicara dengan gadis itu pupus sudah. Ia terlambat, benar-benar terlambat.

“Untuk apa kau memasang tampang seperti ini? Bukankah sebagai calon suaminya kau punya peluang untuk terus menemuinya?”

Sekali lagi Hyukjae menyenggol bahunya lantas pergi begitu saja. Tinggal ia yang kemudian merasa sendirian. Padatnya orang-orang di sekelilingnya sama sekali tidak terasa. Ia hanya tahu ada banyak orang, tapi ia tidak merasakannya. Ia juga tidak mendengar suara apa-apa.

Sekali lagi ia melihat ke atas dan sudah tidak ada apa-apa. Hana sudah pergi tanpa tahu seperti apa perasaannya.

***FinalChapter***

Semakin lama, Donghae merasa ia hanya melakukan hal sia-sia. Ia tahu ia sudah berlari sangat jauh sedangkan waktu keberangkatan Hana mungkin sudah lewat. Tapi ia tak mau berhenti sebelum benar-benar tiba. Masalahnya adalah bukan tentang kemauannya yang keras, ini masalah kenyataan bahwa ia mulai kelelahan. Ia tahu kondisi tubuhnya dan ia merasa akan tumbang sebentar lagi.

Ia mulai kehabisan nafas dan tenaganya sudah terkuras banyak. Meski tak mau menyerah dan berhenti, tapi ia tahu larinya tak sekencang sebelumnya. Langkahnya menjadi pelan dan semakin pelan.

Dalam larinya yang sangat lambat, ia juga merasa tak bisa melihat dengan benar. Semua orang terlihat berbayang-bayang. Suara orang-orang seperti segerombolan nyamuk yang bernyanyi dengan suara paling buruk. Ia tidak mau kalah. Ia tidak mau menyerah, tapi tubuhnya yang tak mau di ajak bekerja sama lebih lama lagi.

Akhirnya ia berhenti sambil memegangi lutut dan dadanya. Tak ketinggalan ia menyalahkan diri sendiri karena tak pergi sejak pagi. Harusnya ia tak perdulikan larangan Hana dan tetap datang. Sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Isi dompetnya tak ada. Sukarelawan yang mau mengantarnya ke bandara juga tidak ada. Dan satu-satunya hal yang ia miliki mulai habis.

Merasa pusing, ia lepas kacamatanya. Tapi penglihatannya justru semakin memburuk. Dan belum sempat ia memakainya kembali, sebuah dorongan datang dari samping kirinya hingga ia terjatuh. Tak tahu ia berada dimana. Kacamatanya terlepas. Ia tak melihat apa-apa selain bayangan warna warni di sekelilingnya. Dan ketika ada sebuah teriakan yang begitu jelas yang diikuti suara klaskson, ia tahu  berada dimana.

“AWAS!!!!!!!!!!!!!!!!”

BRAKKKK

Sakit.

Donghae merasa melayang selama sepersekian detik lalu jatuh keras menghantam aspal. Kepala dan telinganya terasa mengalir sesuatu yang kental dan berbau. Matanya masih terbuka dan hanya menemukan bayangan putih. Ada yang berteriak lagi, ada yang mengatakan tolong, ada yang mengatakan ambulans dan sebagainya. Semuanya terdengar saling berlomba dan terlalu ramai.

Punggungnya sakit. Mulutnya tak bisa mengatakan satu patah katapun meski ia tahu sedang menganga lebar. Untuk sekedar mengatakan bahwa ia sedang kesakitan pun ia tak bisa. Ia merasa beku, tak bisa memerintahkan anggota tubuhnya untuk bergerak.

“Kacamatamu patah karena kejadian malam itu?”

“Baiklah, kita berkencan hari ini.”

Dunia seakan terbalik 360 derajat lalu menjatuhkannya lagi. Jarum jam seperti berputar ke arah berlawanan lalu membawanya ke waktu dimana ia masih bisa merasakan senang. Saat Hana menari dihadapannya, saat Hana menjulurkan tangannya dan saat Hana memberinya hadiah yang saat ini tak ia ketahui letaknya.

Tapi perlahan-lahan waktu terus mundur. Mundur dan tiba dimana ia melihat tubuh ayahnya yang lemah berada di dalam kamar. Ia menangis sambil mengintip dibalik pintu bagaimana kelakuan ayahnya membuat ia takut.

“Donghae, apa yang kau inginkan ketika sudah besar nanti?”

“Aku ingin seperti kakak. Aku mau jadi tukang masak yang hebat seperti kakak!”

“Tukang masak? Haha.”

Ia seperti ditarik mundur lagi dan sampai pada waktu dimana ia tengah bersama kakaknya. Saat itu rasanya ia masih paham bagaimana arti sebuah keluarga dan saudara. Ia masih bisa mengingat rasanya tertawa bersama kakaknya. Tapi belum apa-apa semua kembali bergerak begitu cepat, maju sedikit dan membawanya ke saat-saat yang paling ia benci.

Saat kakaknya berlari lantas kehilangan nyawa di depan matanya.

Tubuh kakaknya bersimbah darah. Mulut kakaknya terbuka lebar namun tak bisa mengatakan apa-apa. Beginikah yang dirasakan kakaknya kala itu? Beginikah sakitnya? Ia merasa lebih baik mati dibanding harus merasakannya lebih lama.

“Donghae, kau mau berjanji pada ayah akan menuruti semua perkataan ayah?”

“Apa kau benar-benar ingin menjadi seperti kakak?”

“Kumohon, ijinkan aku mengejar impianku. Bebaskan aku. Sejak kecil aku tidak pernah meminta apa-apa, bukan? Maka biarkan aku memilih apa yang menjadi keinginanku. Setelah ini aku takkan minta apa-apa lagi.”

“Donghae, kau punya bakat tapi malas!”

“Aku mencintaimu!”

“Kau mencintainya! Kau berbohong padaku!”

Gelap, terang. Hitam, putih. Sakit, tawa, bahagia. Berdiri, jatuh, terbang lalu terhempas lagi. Seperti sedang dipermainkan ia merasakan segalanya dan ia ingin berteriak cukup. Ia ingin berhenti disini. Jangan sakiti ia lagi dan ia ingin semuanya berakhir pada titik ini.

“Ikutlah dengan kami, Donghae.”

Tidak! Ia masih punya satu keinginan. Ia ingin mengatakan pada seseorang bahwa ia sangat mencintainya. Ia ingin mengatakannya.

“Kau terlambat.”

Dadanya seperti ditekan kuat-kuat hingga kesulitan mengambil nafas. Sakit sekali.

“Maaf atas hal yang tak bisa ku berikan padamu.”

Nafasnya semakin pendek. Ia tahu, kesempatannya sudah tertutup rapat. Dan di sisa-sisa helaan nafas  itu, ia berusaha mengatakan satu kalimat. Terus berusaha hingga akhirnya ia harus mengakui bahwa satu huruf pun takkan bisa ia hasilkan.

Pada detik-detik berikutnya, ia benar-benar tidak mendengar apa-apa lagi. Sunyi, sepi, tidak ada satu suarapun. Yang putih menjadi hitam pekat dan yang begitu ramai menjadi tenang. Keributan itu berubah menjadi sebuah kedamaian dalam sekejab. Ia tak merasakan apa-apa lagi. Ia bebas. Lepas. Tak ada sakit, tak ada luka.

***

*

*

*

*

*

*

***

Aku melihatmu dalam sunyi.

Aku mengikuti dalam diam.

Aku bicara denganmu tanpa suara.

Aku melindungimu tanpa bisa kau raba.

Aku berada di belakangmu tanpa kau lihat.

Aku menjagamu tanpa kau sadari.

Kim Hana……

Aku mencintaimu.

*

*

***********THE END**********

Hehe, gantung, ya? Ada sekuelnya. Tapi di blog pribadi saya. Makasih yang berkenan baca dan memberikan kritik dan sarannya. *sampaijumpa*

 

 

 

 

16 Comments (+add yours?)

  1. rizzzkiii
    Feb 09, 2014 @ 09:19:55

    ADMIN! ! Ini kenapa langsung 15b? Harusnya 15a dulu. Kalo ky gni y pasti readersnya bingung. G pas sama chapter awal,. Plis adminnya mohon dikoreksi dulu. Ini dihapus dulu.

    Reply

  2. trisnasmile
    Feb 09, 2014 @ 09:22:27

    Part 15a mana nich….

    Reply

  3. novanofriani
    Feb 09, 2014 @ 09:58:51

    Ya ampun endingnya….. aku suka bgt sumpah. Hebat thor. Endingnya kereeeeen daebak. Mana blog nya thor? Gak kebaca endingnya

    Reply

  4. AnnA
    Feb 09, 2014 @ 10:35:45

    ck knp jadi gini???? bukan masalah gantungnya, knp donghae selalu sial :v dari awal sampe akhir dia kaya pecundang -_- akhirnya meninggalkah??
    tapi aku salut sama author (: adorable ff 😀
    Keep writing!!!

    Reply

  5. Cho EunKyu
    Feb 09, 2014 @ 10:50:53

    Author ini knpa lngsung chapter 15b , 15a nya mna ???
    OMO Donghae nya knpa thor , jebal jngan di bikin mati hae nya kasihan
    Dan ini msih ng’gantung bangett msih butuh squel authornim

    Reply

    • rizzzkiii
      Feb 09, 2014 @ 10:56:50

      Aku jg g tau knp. Aku sdh krm smua chapter. Knp 15a g dipost? Tanya para admin disini. Sekuel ad diblogku

      2014-02-08 19:50 GMT-08.00, Superjunior Fanfiction 2010

      Reply

  6. rizzzkiii
    Feb 09, 2014 @ 11:02:27

    Buat semuanya. Sepertinya adminnya ada kesalahan jd part 15.A terlewat. Buat yg mau bc 15.A dan sekuelnya, silahkan kunjungi blog pribadi sy. Rizzzkyuhaelf.wordpress.com

    Reply

  7. ainikyu
    Feb 09, 2014 @ 11:16:19

    ahaaah.. Kenapa donghae nya meninggal author kejam banget, bahkan sape akhir ga ada keinginan donghae yg terwujud.

    Reply

  8. iamlala
    Feb 09, 2014 @ 13:26:33

    authorniiiiim I need sequeel pleasee 😦

    Reply

  9. littlefishy
    Feb 09, 2014 @ 16:12:17

    Ceritanya.., unpredictable banget, tapi kok rada gantung ya thor? Endingnya g cuma gtu doang kan thor?

    Reply

  10. Pendekarcantiq
    Feb 09, 2014 @ 21:57:52

    Lop lop lop so much ma ni ff..silent is the BEST ff i ever read.

    Reply

  11. Monika sbr
    Feb 09, 2014 @ 22:12:09

    Haaa…. Ngga rela hae meninggal

    Reply

  12. Monika sbr
    Feb 09, 2014 @ 23:01:41

    Aku udah baca di blog pribadi ttg kelanjutan silent. Aku agak ngga rela soalnya ngga ada kyu ama hana. Walaupun donghae ngga jadian ama hana, tapikan setidaknya hubungan kyu ama hana di perjelas dong thor. Bikin mereka berdua bersatu juga ngga apa2 , walaupun pada awalny aku ngedukung hae ama hana sich….. Tapikan hana ama kyu kan bahgian dari mereka juga…..

    Reply

  13. Silvia
    Feb 11, 2014 @ 14:48:42

    Daebakk.
    Ending nya benar-benar gak bisa ditebak.
    Surprise
    Aku suka.
    Good job thor.

    Reply

  14. woonakim13
    Mar 31, 2014 @ 10:07:28

    Ngga rela, maunya Hae sama Hana.. terus itu dara gmna??? Kasian sama Hyukjae :” blognya apa thor?? Mau baca sequelnyaaa xD

    Reply

Leave a reply to novanofriani Cancel reply