[Donghae’s Day] Erasure

donghae erasur

Erasure

By : Ririn Setyo

Lee Donghae || Song Jiyeon || Park Jungsoo

Genre : Romance ( PG – 15 )

FF ini juga publish di blog pribadi saya : http://www.ririnsetyo.wordpress.com

Suara tangis samar-samar terdengar dari balik dinding tebal sebuah rumah mewah di kawasan Gangnam-gu, memecah kesunyian ruang-ruang besar tak berpenghuni di rumah yang hanya ditinggali oleh sepasang suami istri dan tak lebih dari 5 orang pengurus rumah. Suara benda pecah di atas lantai juga mengiringi tangisan wanita yang terdengar semakin memilukan, menyayat hati 5 pelayan yang sejak tadi berdiri di ujung anak tangga, menatap cemas pintu salah satu ruang di lantai 2. Meski ini bukan pertama kali mereka mendengar suara tangis dari nyonya mereka, tapi tetap saja mereka tidak bisa menyembunyikan rasa cemas dan berharap wanita yang sangat mereka sayangi itu bisa bertahan di dalam sana.

Pria dalam balutan jas mahal dari seorang perancang kenamaan Italia yang dikirim langsung padanya pagi ini terlihat memicingkan mata dinginnya, menghujam tajam sosok wanita bersurai hitam berkilau bak mutiara dari balik meja kaca yang menjadi pembatas satu-satunya di antara mereka. Tatapan itu terasa begitu menyakitkan hingga sejak tadi sang wanita terus saja memalingkan wajah, menghindar dari hal yang akan menjadikannya lemah hanya dalam hitungan detik.

“Lakukan apa yang aku perintahkan, Lee Jiyeon. Tidak ada negosiasi.” suara dingin pria itu kembali mengalun, kali ini terdengar lebih kejam dari barisan perintah yang sejak tadi pria itu layangkan.

Wanita itu tidak menjawab, ia tetap berpaling, menyembunyikan tetesan kristal yang sejak tadi berjatuhan tanpa henti dari kedua mata beningnya.

“Kau hanya perlu mendatangi Dokter Park, berbaring sebentar dan semuanya akan kembali baik-baik saja. Ini sangat mudah, jadi jangan mempersulit dan semakin menambah beban pikiranku.” pria itu beranjak, menatap pecahan keramik dari deretan Gucci berharga jutaan dollar yang tadi menjadi pelampiasan pria itu.

“Aku ingin nanti malam, aku sudah mendapatkan kabar baik,”

Pria itu berdiri di depan sofa yang diduduki Jiyeon, membungkuk seraya mencium puncak kepala wanita itu sesaat sebelum ia berlalu. Namun langkah pria itu tertahan sebelum tangannya dapat menyentuh gagang pintu, rahang pria itu kembali mengatub rapat, berbalik dan mendapati sosok Jiyeon yang sudah berdiri tegak di depan sana bersama kalimat yang membuat kemarahan pria itu kembali merangkak ke puncak ubun-ubun.

“Aku tidak mau melakukannya.”

“Apa kau bilang?”

“Aku tidak mau melakukannya, kau dengar?!”

Pria itu tersenyum dingin, mengusap wajah tampannya yang terpahat bak porselin tanpa cela seraya kembali mendekati Jiyeon. Mata hitamnya yang dulu selalu terlihat teduh dan menenangkan untuk Jiyeon, kini terasa seperti ujung pedang para Ninja Assasain yang mencabik hati Jiyeon hingga hancur berkeping-keping. Tak ada lagi luapan rasa yang dulu membuat Jiyeon jatuh cinta pada pria itu, tak ada lagi barisan puisi indah yang terlontar dari bibir tipis pria itu yang dulu membuat Jiyeon rela menganti nama depannya menjadi sama dengan pria itu.

 

Semua sudah berubah.

 

Pria itu bukan lagi pria yang menginginkan dirinya lebih dari hal berharga apapun di dunia ini, pria itu kini hanyalah seorang pengusaha kaya raya yang selalu memaksakan semua kehendaknya tanpa pernah memperdulikan hati dan perasaan Jiyeon sama sekali.

“Kau sadar dengan apa yang kau ucapkan, Nyonya Lee?” tangan pria itu terulur, menyentuh lembut sisa air mata yang masih berada di atas pipi pucat Jiyeon.

“Lebih baik aku mati, daripada aku kembali menyakiti darah dagingku sendiri.” kedua tangan Jiyeon menyilang di atas perutnya yang mulai tampak sedikit membuncit, memundurkan tubuhnya satu langkah, menatap tanpa ketakutan sosok pria kejam di depannya untuk pertama kali.

Jiyeon tidak tahu dari mana dia mendapatkan keberanian, rasa sesal atas kebodohan yang ia lakukan 2 tahun silam sedikit banyak mulai mengikis rasa takut dan membuat Jiyeon melawan. Rasa sesal yang selalu menghantui hidupnya, membuatnya selalu terjaga di malam hari bersama sesak yang melumpuhkan jantungnya.

“Dia hanya akan membawa kesialan Jiyeon, gugurkan bayi itu dan berhenti membantahku.”

“Tidak.”

“Lee Jiyeon!”

“Aku bilang aku tidak akan melakukannya, Lee Donghae!”

 

PLAKK!!!—-

 

Satu tamparan keras membuat jeritan Jiyeon lenyap seketika, menyisakan deru napas Donghae yang memantul di antara keheningan yang semakin membekukan hati wanita itu. Jiyeon mengangkat wajahnya, menatap sosok pria yang tampak tengah memandangi telapak tangannya sendiri yang gemetar. Ini pertama kalinya Donghae memukul istrinya, pukulan keras yang membuat ujung bibir Jiyeon berdarah. Tangan pria itu terasa perih, namun di saat yang bersamaan Donghae merasakan sesuatu yang lebih perih menjalari relung hatinya.

“Berapa kali kau akan memukulku, Lee Donghae?” Jiyeon mengenggam ujung dress biru yang dikenakannya kuat-kuat, menatap Donghae dari balik tumpukan cairan bening yang kembali mendatangi pelupuk mata.

“Dengar. Aku tidak peduli berapa kali kau akan memukulku, tapi yang pasti aku tidak akan mengugurkan bayiku untuk kedua kali hanya karena mimpi brengsekmu Lee Donghae.”

“Bayi itu perempuan Jiyeon, aku hanya menginginkan bayi laki-laki untuk menjadi penerusku.”

“Persetan dengan bayi laki-laki.”

 

PLAKK!!!—-

 

Sekali lagi Jiyeon merasa pipinya memanas, kali ini darah bahkan sudah menetes dari sudut bibirnya, jatuh menyentuh ujung high heel kuning muda yang dikenakannya pagi ini.

“Aku butuh bayi laki-laki Jiyeon. Kita butuh bayi laki-laki agar semuanya tetap berada di tempat yang seharusnya,” Donghae mencengkram kedua bahu mungil Jiyeon sangat kuat, menguncangkannya tanpa peduli kesakitan yang Jiyeon rasakan karena perbuatannya.

“Aku akan kehilangan semuanya jika kau melahirkan bayi perempuan, aku bahkan akan kehilangan dirimu hanya karena bayi perempuan yang kini tengah kau kandung. Bisakah kau mengerti itu Jiyeon.” satu hempasan membuat Jiyeon terjatuh di atas sofa, wanita itu meringis, menahan rasa sakit yang teramat sangat dari dalam perutnya.

“Aku akan selalu bersikap egois jika sudah menyangkut dirimu, karena aku tidak akan pernah bisa menghapusmu dari kehidupanku, kau paham?”

Jiyeon tidak menjawab, ia hanya meremas ujung sofa guna menahan rasa sakit di perutnya. Peluh mulai membasahi dahinya, mengaburkan pandangan Jiyeon saat samar-samar ia melihat Donghae berbalik, meninggalkan ruangan dengan sebaris matlumat yang kembali menghujamnya sebelum pria menghilang di balik pintu dan tidak pernah tahu jika kesadaran Jiyeon saat itu juga telah menghilang.

“Gugurkan kandunganmu hari ini juga.”

****

Seas Prazer Corporation

Donghae’s Office Room

“Jiyeon baik-baik saja, dia hanya kelelahan dan meminta tenggang waktu hingga besok pagi. Pukul 10 semuanya akan berakhir di meja operasi seperti 2 tahun silam.”

Donghae masih terlihat sibuk dengan setumpuk berkas penting yang harus ia tandatangani, menatap Jungsoo sekilas dari balik meja kerjanya yang luas. Waktu adalah hal yang paling berharga untuk Donghae, ia tak mau repot-repot menangapi percakapan tidak penting dan memilih untuk melanjutkan pekerjaan, satu jam lagi Donghae harus menemui klient penting dari Oklahoma, mendatangi kontrak kerjasama bernilai milyaran dollar yang akan semakin menambah pundi-pundi kekayaannya.

“Pernakah kau berpikir, jika Jiyeon akan terhapus dari kehidupanmu Lee Donghae?”

Pernyataan yang Jungsoo lontarkan, berhasil membuat gerakan tangan Donghae yang ingin menandatangi berkas terhenti, ia menatap Jungsoo yang tengah berdiri menatap pemandangan kota dari balik dinding kaca ruang kerjanya. Menelusuri jejeran atap gedung pencakar langit yang menjilat hamparan nirwana biru yang kini menaungi kota.

“Dia tidak akan bisa melakukannya.” jawab Donghae dingin, tak ada keraguan di lisannya kali ini. Donghae masih sangat percaya jika wanita yang ia nikahi 2 tahun lalu itu, masih sangat mencintainya seperti dulu.

“Tentu. Aku tahu tentang hal itu, Jiyeon tidak akan pernah bisa menghapusmu dari kehidupannya. Tapi pertanyaanku adalah, bagaimana jika Jiyeon terhapus dari kehidupanmu?”

“Maksudmu?”

“Bagaimana jika ada yang menghapusnya?”

“Kau semakin ngelantur Park Jungsoo, lebih baik sekarang kau menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan istriku besok pagi.”

“Tidak perlu mengusirku sekejam ini, Donghae.” Jungsoo membalikkan badannya, tersenyum menatap Donghae yang terlihat tidak tertarik dengan topik yang kini tengah mereka bahas.

“Bagaimana jika takdir menginginkan Jiyeon terhapus dari kehidupanmu, Lee Donghae?”

****

Lee’s House

Donghae Room

“Donghae Oppa.”

Langkah terburu Donghae saat memasuki kamar tidurnya yang luas terhenti, mendapati Jiyeon yang sudah berdiri beberapa langkah di depannya, tersenyum manis dalam balutan dress mini di atas lutut yang mengekspos kaki jenjang wanita itu. Donghae mendekat seirama dengan langkah anggun Jiyeon yang mendatanginya, pria itu melepaskan ikatan dasi dan beberapa kancing kemejanya sesaat sebelum merengkuh tubuh langsing Jiyeon ke dalam pelukan erat hingga puluhan detik ke depannya.

“Kau baik-baik saja?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Donghae, sejujurnya seharian ini Donghae tak bisa bekerja dengan benar setelah mengetahui Jiyeon jatuh pingsan tadi pagi.

“Aku baik-baik saja, Oppa tidak perlu khawatir.” Jiyeon melonggarkan pelukannya, membantu Donghae untuk melepaskan jas dan kemeja pria itu, menyisakan singlet putih yang mencetak otot perut Donghae yang terbentuk sempurna.

“Kau tidak ingin melepaskan ini juga?”

Donghae melirik singlet dan celana panjang yang masih membungkus tubuhnya, membuat senyum lebar merekah di wajah Jiyeon yang bersemu merah muda. Donghae meloloskan singlet putih yang dipakainya, menarik pinggang Jiyeon ke dalam rengkuhan protektifnya seraya menyatukan bibir keduanya.

Jiyeon mendorong bahu bidang Donghae saat ciuman pria itu semakin menuntut, jemari Donghae sudah berada di balik dress yang Jiyeon kenakan. Donghae bahkan sudah melepaskan pengait pakaian dalam Jiyeon dan memberikan sentuhan seduktif di sepanjang punggung hingga dada wanita itu.

Oppa… aku, aku ingin,” Jiyeon berusaha menuntaskan kalimatnya di sela-sela deru napasnya yang tersengal, menahan hasrat tubuh yang mulai mengambil alih otaknya saat jemari Donghae mengusap lembut permukaan dadanya.

“Dengan senang hati, bahkan hingga pagi aku akan rela menjadi tawananmu, Lee Jiyeon.” senyum menggoda tersungging di ujung bibir tipis Donghae yang baru saja hendak kembali meraup bibir merah Jiyeon.

“Bukan itu,” jawab Jiyeon cepat, seraya menahan pergerakan Donghae hingga ciuman mereka tertunda di udara.

“Lalu?”

Jiyeon dapat melihat kekecewaan di wajah Donghae, ia hanya tersenyum tanpa jawaban. Menarik Donghae untuk mengikutinya ke balkon kamar. Donghae menahan saat Jiyeon ingin membuka jendela balkon, pria itu memilih melingkarkan tangannya di sekeliling pinggang Jiyeon, menumpukan dahunya di bahu wanita itu.

“Ini sudah malam, udaranya akan menyakitimu.”

“Aku sudah sakit sejak 2 tahun lalu.”

Mata Donghae yang baru saja hendak terpenjam kembali terbuka lebar, merasakan sesuatu menusuk jantungnya dan seketika menyempitkan paru-paru pria itu.

“Jiyeon.”

“Aku akan melakukannya. Aku akan melakukan apapun yang bisa membuatmu bahagia.” Jiyeon melepaskan rangkulan Donghae, ia berbalik, mengusap wajah Donghae dengan jari-jarinya.

“Malam ini aku ingin memandangi wajahmu sampai puas, sampai otakku penuh dengan semua hal tentangmu. Tentang seorang laki-laki yang sangat aku cintai, laki-laki yang tidak akan bisa dihapus dari dalam hatiku sampai kapanpun.”

Jiyeon memejamkan mata saat Donghae mencium keningnya, pria itu kembali membawa Jiyeon ke dalam pelukan erat yang terasa sama dengan pelukan pria itu di awal pernikahan mereka sebelum petaka datang dan menghancurkan semuanya.

“Aku sangat mencintaimu, Donghae Oppa.”

“Aku bahkan lebih dari itu.”

“Setelah malam ini, aku berharap Oppa akan selalu merasa bahagia.”

Jiyeon mengeratkan pelukannya, menahan desakan air mata yang sudah memenuhi pelupuk hingga pandangannya mengabur, setelah Donghae menuntaskan kalimatnya. Kalimat yang terasa begitu menyakitkan untuk Jiyeon.

“Kita akan bahagia Jiyeon, selamanya.”

****

The Day

Donghae Office Room

9.30 AM

Dengan pandangan gusar Donghae menatap sosok pria paruh baya yang kini duduk di hadapannya, pria yang telah mewariskan marga Lee di depan namanya. Pria itu datang untuk memastikan keputusan Donghae tentang bayi yang dikandung Jiyeon, keputusan berat yang lagi-lagi harus diambil Donghae hanya untuk sebuah harga dari pria arogan yang sayangnya sangat dihormati oleh Donghae sedari dulu.

“Ayah, aku memutuskan untuk mempertahankan bayi perempuan yang Jiyeon kandung.”

Seketika Lee Jaebin bangkit dari sofa yang didudukinya, pria itu menatap datar Donghae yang masih memilih memaku di atas sofa tanpa menatap ke arahnya.

“Dua tahun lalu aku sudah membunuh bayiku sendiri karena Ayah, aku telah membuat wanita yang paling aku cintai di dunia ini menderita dan menangis hingga detik ini. Semua aku lakukan hanya untukmu Ayah, sejak dulu aku tidak pernah membantahmu, aku…,” ucapan Donghae tertahan begitu saja saat Jaebin berucap, dingin dan tak terbantahkan.

“Kalau begitu kali ini kau juga tidak membantahku, gugurkan bayi itu.”

“Tidak.”

Langkah Jaebin tertahan sesaat, sebelum pada akhirnya pria itu kembali melangkah ke arah pintu bersama kalimat yang seketika membuat Donghae memaku.

“Tinggalkan Seas Prazer Corporation, hiduplah menjadi gelandangan bersama istri dan bayi perempuanmu.”

“Dengan senang hati, aku tidak akan melakukan kesalahan untuk kedua kali. Seperti yang Ayah lakukan pada ibuku.” jawab Donghae kemudian.

Jaebin mengatubkan rahangnya, mengepalkan tangannya kuat-kuat sebelum ia menarik gagang pintu, meninggalkan Donghae bersama kisah kelam masa lalu yang sejatinya selalu menghantuinya sejak dulu.

Donghae memejamkan matanya sejenak selang beberapa detik setelah kepergian ayahnya, semalam ia berpikir sangat keras setelah perkataan Jungsoo menganggu pikirannya. Donghae sangat menyesali perbuatannya 2 tahun lalu pada Jiyeon, ia bahkan tidak bisa bernapas dengan benar hingga detik ini, tiap kali menatap air mata kehilangan yang dicucurkan dari mata bening favoritnya.

Donghae tersenyum mendapati perasaan lega yang menjalari hatinya, ia melangkah pasti menuju meja kerja dimana terdapat telepon selular miliknya di sana. Dengan lihai Donghae menekan beberapa angka di layar ponsel, menunggu sambungan panggilannya terhubung dengan seseorang di seberang sana. Namun hingga panggilan ke 3 Donghae tak jua mendapat jawaban, detak jantungnya pun tiba-tiba bergemuruh kencang tanpa bisa ia kendalikan. Donghae kalut tanpa sebab, ia merasa kesedihan tiba-tiba memayungi hatinya.

“Lee Jiyeon, apa kau baik-baik saja?”

****

Seoul Internasional Hospital

09.00 AM

“Kau yakin akan melakukannya sekarang? Jadwal kita masih satu jam lagi, Jiyeon?” Jungsoo memandangi Jiyeon yang telah siap dengan pakaian operasi, wanita itu bahkan sudah berbaring di atas ranjang operasi seraya mengangguk singkat.

“Dia tidak mengatakan sesuatu padamu tentang pembatalan operasi ini?” Jungsoo semakin gusar saat Jiyeon hanya menggeleng lemah.

“Ini yang dia inginkan, mana mungkin dia membatalkannya.”

“Dia sangat mencintaimu.”

“Aku juga. Tapi dia lebih mencintai obsesi ayah mertuaku.”

“Jiyeon, tidak bisakah kau memikirkannya sekali lagi?”

Lagi-lagi Jiyeon menggeleng. “Sampai kapanpun aku tidak akan bisa menghapusnya dari kehidupanku, begitupun sebaliknya.” Jiyeon menatap Jungsoo yang sudah berdiri di sisi ranjang operasi.

“Jadi harus ada orang lain yang menghapus diriku dari kehidupannya. Aku percaya padamu Park Jungsoo, aku dan bayiku pasti akan bahagia setelah ini, begitu pula dengan Donghae. Percayalah padaku.”

“Aku ingin sekali mempercayainya, tapi…,”

“Lakukan saja. Hapus aku dari kehidupan Lee Donghae.”

Lampu operasi menyala sesaat setelah Jiyeon menuntaskan kalimatnya, ia tersenyum saat Jungsoo mulai mengisi cairan pada tabung suntikan yang akan dimasukkan ke dalam nadi dan menjalar ditiap aliran darahnya, cairan yang akan membekukan detak jantung Lee Jiyeon untuk selamanya.

THE END

5 Comments (+add yours?)

  1. Hwang Risma
    Oct 20, 2015 @ 18:58:06

    Ya ampun sad ending 😢😭 sebel banget sama donghae yg lebih nurutin obsesi ayahnya ketimbang perasaan jiyeon 😒. Feel sadnya dapet banget, good job thor!^^

    Reply

  2. annisaputriramadhani
    Oct 20, 2015 @ 21:58:59

    Aduhhhh,,kok END sihhhh
    Butuh sequel nihhh, ceritanya gantung,kan nggak tau nanti jiyeon kenapa !!!!!

    Reply

  3. yeonlee
    Oct 21, 2015 @ 23:02:52

    Donghae nya keren, feel nya dapet banget. tapi kenapa jiyeon nya harus pergi setelah donghae sadar? sad ending, tapi berharap ada sequel dan happy ending hehe

    Reply

  4. Yoohee
    Oct 22, 2015 @ 15:03:01

    Oh NO !! Pliss itu gimana lanjutan’a ?? Kok gantung min ?? Eyii

    Reply

  5. Hana
    Sep 01, 2016 @ 19:49:51

    godness -_- miinnn jgn sad ending plis, duh kan guetelat banget komentarnya kan, bodo ah emang baru baca jd baru koment u,u

    Reply

Comment's Box