The Black Message

The Black Message

Tags: Cho Kyuhyun, Park Jehoon.

Support Cast : Park Jungsoo, Lee Donghae | Rating: PG -13 | Genre: Family, Friendzone, Romance.

***

Jungsoo...

“Hoon-ah, cepat! Kau tidak ingin aku ketinggalan pesawat kan?” Tanyaku tak sabar sambil mengetuk pintu kamarnya kencang.

“Ah, kau tidak sabar sekali.” Jawabnya dengan santai.

Jika aku bisa memilih aku lebih memilih tetap tinggal dengan Jehoon disini dibanding harus pergi ke Amerika melanjutkan kuliahku disana. Kalau bukan karena permintaan Appa (ayah) yang tak bisa aku tentang, Appa ingin aku berkuliah disana untuk melanjutkan kedudukan Appa diperusahaan miliknya. Aku sudah terlalu nyaman disini, tinggal di apartemen ini dan menjaga yeodongsaeng (adik perempuan) yang aku cintai.

Ya, yeodongsaeng yang aku cintai… Mengertikan? Aku mencintainya sebagai seorang yeoja (wanita) yang sesungguhnya, bukan mencintainya hanya sebatas yeodongsaeng-ku saja. Aku selalu ingin bersamanya, melindunginya, bahkan ketika seorang namja (lelaki) yang mendekatinya aku sungguh tak  rela.

“Kau ini kenapa melihatnya seperti itu?” Suaranya yang berhasil membawaku kembali kedunia nyata.

“Eh? Aku tidak melihatnya.” Langsung saja kubuang muka dari wajah Jehoon yang sedari tadi kupandangi.

“Lihatlah, wajahnya sampai merah seperti itu. Apalagi kalau bukan karena kau tak melepaskan matamu darinya saat keluar dari apartemen tadi?” Suaranya berbisik ditelinga kananku, dan kupastikan Jehoon tak mungkin mendengarnya. Benarkah selama itu aku terus memandanginya?

“Sudah, kalian hanya perlu mengantarku sampai sini saja.” Kataku dihadapan mereka hingga mau tak mau mereka menghentikan langkahnya. Karena ini sudah mendekati Gate utama.

Aku memeluk Kyuhyun, sahabat terbaikku sekaligus namja yang tadi menyadarkan lamunanku. Sekaligus saksi mata atas proses kedekatan dan perasaanku yang kini tumbuh untuk Jehoon. Tapi ia sama sekali tidak tahu yang sebenarnya.

“Jagalah adikku, Kyu.” Dengan berat hati aku mengatakannya, pasalnya Kyuhyun pernah menyukai Jehoon di awal kedekatan kami setelah Eomma meninggal.

“Aku tahu, kau setengah hati mengatakan itu kepadaku kan? Aku tahu sikap protective-mu terhadapnya. Tapi aku akan menjaganya saat kau tak ada.” Aku Kyuhyun sambil mengucapkan janjinya, masih dalam pelukanku sambil menepuk-nepuk puncak kepalaku. Yang benar saja. Seharusnya akulah sebagai tertua yang melakukannya.

“Walau sedikit tak rela, tapi siapa lagi yang akan menjaganya kalau bukan kau, huh?” Benar. Siapa lagi yang akan menjaga adik manisku ini kalau bukan Kyu. Selama ini aku hanya tinggal berdua diapartemen, Appa sejak aku berumur 16 tahun sudah menetap di Amerika.

Tak heran jika perasaanku seperti ini kepada Jehoon, bayangkan saja kami hanya tinggal berdua selama 8 tahun, dengan umur kami yang tak terpaut jauh, selama itu juga Jehoon adalah tanggung jawabku. Dan sifat protective-ku sejak aku memergokinya hampir berciuman dengan seorang lelaki semakin menjadi, mungkin namjachingu-nya (teman lelaki). Aku tak peduli, mulai dari situ aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang seharusnya tak ada disini, dihati ku.

Dengan paksa ku tatap kedua bola mata yeodongsaeng-ku yang hitam pekat, tak ada cahaya kegembiraan seperti yang selama ini aku lihat.

“Kau bisa hidup tanpa ku kan?” Tanyaku pelan, dan seketika ia langsung memelukku erat. Seolah darah berhenti mengalir sepersekian detik, dia menumpahkan semua air matanya dipelukan ini. Meredam isakannya dibahu kananku. Aku lega, ternyata reaksi itulah yang ditunjukkan padaku. Walau menyakitkan untuk pergi, tapi setidaknya bila aku pergi nanti ada seseorang yang menantikan kepulanganku.

“Kalau untuk sementara, jawabannya ya, Oppa.”

Segera aku lepas pelukannya dan mendorong sedikit menjauhiku. Kuamati dengan cermat wajahnya, mengingatnya, dan mengagumi ciptaan Tuhan yang selama ini aku cinta. Hidungnya memerah karena tangisannya. Dengan cekatan aku melepas syal putih yang bertengger dileherku, dan melilitkannya dileher Jehoon. Perlahan aku menyusupkan jari-jemariku ke tengkuk belakang Jehoon dan menyibakkan rambutnya yang ikut terlilit di syal putih.

“Jehoon-ah.. Diluar sangat dingin, jaga dirimu. Jangan sampai sakit.”

“Jaga dirimu juga. Dan..” Aku menaikkan kedua alisku, meminta penjelasan yang lebih dari perkataannya yang masih belum terselesaikan. Bagaimana aku sanggup meninggalkannya disini. Dia memelukku lagi. Lebih erat daripada tadi. Dan membisikkan sesuatu disela-sela pelukan kami.

Jehoon…

“Banyak yeoja cantik disana, Oppa.” Suara pelanku terdengar ragu, seolah aku ini bukanlah Jehoon yang kuat, tapi sangat rapuh.

Entah darimana Appa mengetahui adanya sesuatu yang tak wajar diantara kami. Appa tidak menyalahkanku ataupun Jungsoo, tapi Appa mengatakan bahwa Jungsoo akan dijodohkan oleh anak temannya Appa. Tidak ada kuliah, yang ada hanya perjodohan itu. Yang aku sayangkan, Jungsoo sama sekali tidak mengetahui. Ya, walau bagaimana pun, keadaan ini tak bisa dibenarkan. Pikiranku terbelah. Senang karena bisa keluar dari lubang cinta yang salah, tapi sekaligus sedih, tak bisa dipungkiri, mungkin aku mencintainya.

“Kau menyuruhku melupakan mu?” Dengan cepat dia menangkap maksud kalimatku.

“Jehoon-ah.. Jangan berkata seperti itu. Aku mencintai mu.” Belum sempat aku menjawab Jungsoo melanjutkan kalimatya, cepat-cepat aku menggelengkan kepala. Air mata sudah tertimbun dipelupuk matanya, hanya sekali kedip maka semuanya tumpah.

“Itu tidak benar. Aku hanya dongsaeng-mu. Tidak seharusnya kau berkata seperti itu. Pergilah, jangan pernah kembali hanya karena aku.”

Bukannya aku tak mencintainya, bertahun-tahun aku tinggal dengannya tapi belum yakin dengan perasaanku sendiri. Meski berkali-kali ia mengatakannya, aku tak pernah membiarkan rasa cintaku tumbuh subur melampaui batas. Walau sepertinya aku gagal melakukannya.

Aku melepaskan pelukan, dan mundur selangkah. Seperti disulap, sekarang senyuman terulas dibibirku. Aku meletakkan telapak tangan dibahu kanannya.

“Jaga Appa disana. Dia sudah terlalu tua untuk hidup sendirian.” Kataku dengan wajah yang menurutku terlalu dipaksakan. Terpaksa mengulas senyum yang menurutku sama sekali tidak meringankan bebannya untuk meninggalkan Korea.

“Ne..” Hanya itu jawabannya. Jungsoo mundur selangkah, dia tersenyum dan menepuk lengan atas Kyu pelan, dan melihat wajahku. Kesedihan tak bisa disembunyikan diwajahnya. Aku terhanyut dalam matanya yang sendu. Parasnya yang tampan, tegas, dan sangat bertanggung jawab, juga mata yang mampu membuatku tenang merupakan sebuah nilai lebih untuknya. Tapi kini matanya yang terukir kepedihan menatapku tajam.

Jungsoo menundukkan kepalanya hingga sekarang aku sejajar dengan wajahnya.

“Ingatlah, aku melakukan ini yang pertama. Dan kupastikan ini yang terakhir.” Pernyataan yang membingungkan untukku. Dia mendekatkan wajahnya, meninggalkan kecupan sekilas dibibirku. Dengan senyum yang mengembang, dia mengelus puncak kepalaku pelan dan melanjutkan langkahnya untuk semakin jauh dari tempatku berdiri.

Kaget. Tentu saja. Senang. Entahlah. Perasaanku terlalu labil bila mengingatnya. Sampai saat ini jantungku bertalu 2 kali bahkan 3 kali lebih cepat. Walau kami bukan saudara sedarah, tapi bukankah ini tidak boleh terjadi? Terjerumus dalam arus cinta yang tak seharusnya tercipta diantara kami.  Jujur saja, aku tak ingin ini menjadi yang terakhir. Aku tak percaya harus mengatakan ini, aku senang dengan perlakuannya, tapi saat ini aku malah merasakan kehilangan yang tak berujung, tak berdasar, dan rasanya sebentar lagi hidupku akan menjauhi sinar yang selama ini menjadi peneranganku.

Kyuhyun…

Benarkah Jungsoo mengecup bibir Jehoon? Walau singkat tapi sangat jelas. Aku ingat perkataannya beberapa hari lalu, bahwa Jungsoo mencintai seorang yeoja. Tapi aku tak percaya bahwa yeoja itu Jehoon.

Aku mengerti sekarang perkataan Jehoon saat tadi memeluk Jungsoo. Aku tahu sikap protective Jungsoo terhadapnya, kukira itu hal wajar karena Jungsoo sangat menyayangi Jehoon sebagai yeodongsaeng, jujur saja aku pun baru beberapa hari kembali ke Seoul setelah beberapa tahun tinggal di Busan. Jadi sama sekali tidak tahu tentang kelanjutan hubungan asmara mereka.

“Ayo kita pulang.” Ajakku saat Jungsoo sudah tak terlihat terhalang orang yang berlalu lalang. Dia masih bergeming sejak Jungsoo menciumnya. Wajahnya terlihat kaget, tapi sekarang aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam di matanya. Dia berjalan sangat pelan ke deretan tempat duduk sambil menyuruhku untuk mengikutinya.

***

Yang selalu menghiasi malamku sejak kecelakaan itu, isakan tangis Jehoon setiap malam tak pernah absen menemaninya. Ya, Jungsoo mengalami kecelakaan pesawat yang ditumpanginya. Aku merasa tak berguna melihatnya seperti ini. Bagaimana pun aku tak tega melihat satu-satunya perempuan yang selalu mengisi hari-hariku tak bisa keluar dari jeratan hitam yang mengurungnya. Aku begitu memperdulikannya, hingga beberapa hari terakhir aku terpaksa menginap di apartemennya hanya untuk membuatnya tidak merasa sendiri.

Pertanyaan yang kulemparkan setiap hari hampir sepenuhnya terabaikan. Tatapan hampanya begitu dominan dibola matanya. Seperti mayat tapi masih membutuhkan oksigen. Tak ada semangat, senyum, bahkan tawa yang biasanya memenuhi hari-harinya. Aku mulai rindu segala yang ada di dirinya yang lama tak kulihat lagi.

Bagaimanapun aku seorang manusia. Kesabaranku mulai habis. Aku berusaha mengalah pada keadaan, tapi percuma. Mungkin bila aku kembali ke apartemenku yang sudah beberapa hari aku tinggal, aku bisa mengumpulkan kesabaran super lagi untuk Jehoon. Ya benar, sebaiknya aku pulang dan membiarkannya melakukan apapun yang bisa menenangkannya.

 

Jehoon…

Itulah dirimu. Yang meninggalkan ku dalam kegelapan. Pergi dan tak kunjung datang lagi.

Kau satu-satunya orang yang bisa masuk kedalam hatiku, kau memenuhinya hingga tak ada ruang yang tersisa. Dan tiba-tiba saja kau seenaknya pergi begitu saja. Apa kau tahu bagaimana rasanya ditinggalkan seseorang yang begitu berarti? Kau pikir aku bisa menjalani hariku selanjutnya seperti biasa seolah-olah ini semua tidak terjadi? Aku bisa, tapi meninggalkan ukiran trauma kesakitan yang begitu dalam.

DAMN! Kemana pun aku pergi, kemana pun aku menoleh hanya ada wajahmu yang tersenyum. Tapi rasanya menyakitkan. Seolah senyummu adalah sumur racun akan kepedihan. Dan aku tenggelam disana, dalam kepedihan yang tak kunjung surut. Menenggelamkanku lebih dalam hingga mencapai dasar. Terlalu nyaman hingga membuatku merasa muak. Aku butuh pertolongan agar keluar dari sini. Tapi disaat pertolongan datang aku tak menghiraukannya, kuabaikan karena aku merasa belum pantas menghirup udara kedamaian lagi.

Rasanya seperti mimpi, saat aku terbangun pun rasa sakit itu tidak lekas pergi, tetap singgah dan sampai kapan pun akan tetap singgah dihati. Setiap terjaga ditengah malam, berharap ada seseorang yang selama ini disampingku. Jungsoo, terkadang dia tidur disebelahku bila dia terlalu lelah lembur dikantor. Aku membiarkannya, tapi malam itu.. kosong. Rasa dingin menjalar tengkuk. Merasakan hadirnya dunia entah-berantah yang selama ini belum ku jamah. Dengan paksa kulangkahkan kaki keluar kamar. Biasanya ada dia, Kyu yang hadirnya kuabaikan. Memetik lembut senar gitar menghasilkan lagu tanpa lirik disofa. Aku tersenyum melihatnya, tapi saat dia menoleh kearahku, kuhapus senyum dan menggantinya dengan tatapan datar. Tapi sekarang sama kosongnya. Tak ada tanda kehidupan disini selain aku.

Kyuhyun. Mengingatkanku akan Jungsoo Oppa. Ketertarikannya dalam seni musik, Oppa selalu melahirkan nyanyian dari mulut dan diiringi piano lembut mengalun. Sesuatu yang selalu kuminta ketika suntuk. Piano dipojok kamarnya melahirkan rindu tak terbatas. Ketika larut dalam musiknya sendiri, dia seperti bukan Jungsoo, senyum lembut menghias wajahnya. Seperti itu juga seorang Kyuhyun, bakat terpendam menciptakan instrument dan lagu yang indah. Sayup-sayup setiap malam kudengar petikan gitar pelan diluar kamar, menghanyutkanku dalam setiap getaran suara gitar menentramkan. Membuatku terlelap dengan setetes ait mata.

***

Berhari-hari tidak ada yang berubah. Kekosongan tetap hadir dalam hati. Tapi lebih kosong sejak tak pernah lagi kudengar alunan gitar dari balkon apartemen. Hawa dingin yang dihasilkan AC membuatku merinding, siang ini tidak terlalu bagus, awan hitam menggelayuti langit kota Seoul. Aku mengambil Smartphone yang sudah lama hampir tak ku sentuh. Apa yang kulakukan? Membuka social network yang tak pernah lagi update sepertinya akan penuh dengan ucapan bela sungkawa dari teman-teman kampusku, membuatku makin hanyut dalam kesedihan. E-mail? Ah, sudah lama sekali rasanya. Biasanya hanya ada notification dari social network yang masuk kedalam e-mail ku. Tapi kali ini ada beberapa message tak ku kenal. Message pertama hari Senin lalu.

‘Cinta yang tulus tak akan memaksa keadaan, bila kau punya itu kau akan melepaskannya sekarang.’

Apa itu? Bullshit, tidak ada cinta yang melepas sang kekasih pergi secara cuma-cuma. Kubaca lagi message lain pada hari yang sama tapi berbeda waktu.

 

‘Kau mengenal ‘cinta’? Bila jawabannya ‘iya’, maka kau juga harus mengenal ‘perpisahan’.’

 

Benarkah?

Love in First Sight, first kiss dari mu yang tak bisa kudapatkan.’

First kiss? Mengingatkan ku akan suatu insiden di airport. Kubaca lagi kiriman message dihari yang berbeda.

‘Keluar dari jerat hukum mu sendiri, kau pantas menikmati cinta yang nyata adanya.’

 

Maksudnya cinta yang selama ini tidak nyata untukku? Memang benar, setidaknya dulu nyata tapi sekarang sudah tidak lagi.

‘Kau akan menemukan cinta dari sebuah kehilangan.’

 

‘Buka matamu, kau akan sadar betapa banyak orang yang peduli terhadapmu.’

 

Semakin sedikit yang peduli terhadapku semakin bagus.

Kenapa semua ini tertuju padaku? Seolah menegurku secara halus. Kukirim balasan untuknya:

 

‘Apa maksudmu? Kau tidak tahu apa-apa tentang hidupku.’

Tak butuh waktu lama, sebuah message balasan masuk.

‘Kau salah, aku tahu hidupmu, bahkan hampir sama tahunya kau tentang hidupmu sendiri.’

Black message tanpa nama itu semakin sering mengirimku message yang semakin memojokkanku. Tetap saja aku abaikan semuanya, hanya membaca sekilas tanpa perlu memikirkannya dilain waktu.

‘Kenapa aku begitu peduli terhadap mu, Park Jehoon?’

Bahkan dia tahu nama lengkapku.

 

‘All I know.. is that I love you.’

Cinta? Benarkah? Dia peduli karena cinta kepadaku?

‘Omong Kosong!! Kau ini siapa? Kau tidak berhak berkata seperti itu. Aku tidak mengenalmu dan tidak akan pernah.’

 

Dengan cepat pula ia membalas:

 

‘Kata siapa? Kau sangat kenal denganku.’

 

Belum sempat kubalas, sudah ada e-mail masuk darinya lagi.

 

‘Cinta yang datang tak selalu sama dengan yang kita harapkan, apabila cinta itu tulus dan membawa kebaikan kenapa kau menolaknya?’

 

‘Apa aku harus menerima setiap cinta yang datang padaku? Freaking ridiculous!

 

‘Tentu saja tidak, aku hanya ingin kau menikmati desiran darah dalam nadimu bersama orang yang kau cinta. Cinta yang nyata. Yang hidup satu alam denganmu.’

 

Black-Message-No-Name membuatku takut sekarang, kerongkongan tercekat, tangan bergetar, sebenarnya siapa dirimu? Aku tak suka dipermainkan. Lagi-lagi aku merasakan dingin luar biasa menjalar tengkuk. Kuputuskan untuk kekamar menata kembali pikiran yang berkelana. Menyatukan seluruh kesadaran dan mulai berpikir, what should I do? Tidak secepat itu aku melupakannya, mengingat berapa lama yang membuat cinta ini tumbuh, butuh waktu lama pula aku melupakannya. Tidak semudah itu, tidak secepat itu.

Smartphone-ku bergetar lagi, kubuka e-mail masuk, sudah kuduga orang yang sama.

 

‘wanita dan pria memliki satu sayap, bila mereka bertemu maka dengan mudah mereka terbang ke awan mencari kebahagiaan. tapi bila tuhan berkendak lain, mematikan cinta pada salah satu pihak bahkan sebelum mereka menemukan destinasi, jangan biarkan cintamu itu ikut mati bersamanya. maka kau akan menemukan cinta dari sebuah kehilangan’

 

‘Berhenti mencintainya tidak sama seperti menghentikan waktu, tidak sama seperti menghentikan jantung yang selama ini berdetak, tidak sama seperti memadamkan sumber penerangan dalam hatimu.. biarkanlah tetap menyala agar dengan mudah aku menemukanmu.’

Berhenti mencintainya? Waeyo? (Kenapa?) Kenapa aku harus melakukannya? Tak lama message kembali masuk.

‘Memangnya apa yang kau harapkan dari kisah cinta yang seharusnya tak pernah ada diantara kalian?’

Apa yang aku harapkan?

Pertanyaan yang begitu sederhana yang tak bisa ku jawab, pertanyaan yang selama ini tak pernah muncul dalam benakku. Pertanyaan yang kutakutkan. Dia benar, apa yang kuharapkan dari cintanya? Sebuah kebahagiaan? Menyatukan cinta dalam ikatan janji suci? Mempunyai keluarga kecil dan anak-anak yang tumbuh dewasa? Menautkan cinta hingga dimakan usia? Hingga hidup bersamanya sebagai seorang sesepuh dengan rambut yang dominan berwarna putih? MUSTAHIL. Takkan pernah terjadi walau maut tak menjemputnya waktu itu.

Tuhan, apa ini ganjaran yang harus kuterima? Sudah beruntung aku mendapatkan kasih sayang dari keluarga Park, dari kakak angkatku yang waktu itu sulit kudapat. Tapi kini, dengan mudahnya semua kasih sayang Oppa terlampau jauh dari yang seharusnya kuterima. Tapi tidak adil Tuhan, kenapa hanya aku yang merasakan kehilangan begitu dalam? Kehilangannya sebagai sosok kakak penuh kehangatan dan bertanggung jawab, juga sebagai sosok lelaki tampan dengan cintanya yang begitu besar. Kisah cinta yang tak pernah kuharapkan terjadi dalam hidupku.

Aku tahu, ada begitu banyak cinta yang tersedia dialam, terlalu banyak kasih yang mampu mengoles tangis dan tawa dalam simponi yang bersamaan, terlalu banyak rasa yang berkecamuk yang mampu melahirkan berjuta tanya tanpa satupun yang terjawab.

Aku tahu, berjuta kisah cinta bahagia yang terlahir didunia, tapi tak ada satupun yang bisa kurasakan. Bahkan sensasi cinta itu sendiri hanya bisa kurasakan sesaat, terlalu terlambat untukku menyadari cinta yang begitu besar hanya untuknya seorang.

Tuhan, bila engkau tak mengambilnya dari sisiku mungkin hingga sekarang pun aku tak menyadari cinta yang sudah mendarah daging dalam diriku sejak lama. Cintaku terlalu dalam untuknya, sebuah kehilangan yang mampu menciptakan rasa yang lebih besar daripada sebelumnya.

 

Kyuhyun…

Kututup hari ini dengan berat, meratapi nasib yang tak menentu. Terombang-ambing dalam rasa cinta yang seharusnya kudapat dari dulu. Tapi dengan jurang lebar berisi magma yang mampu menjauhkanku dari apa yang seharusnya kudapat. Aku begitu mencintainya sejak dulu, bukannya pengecut, hanya saja aku lebih nyaman bila dia didekatku sebagai seorang sahabat. Aku tetap bisa menjaganya, melindunginya, walau selalu saja keduluan Jungsoo yang protective.

Park Jehoon, dia yang selalu menjadi inspirasiku dalam semua simponiku. Cinta untuknya yang berhasil membuatku menjadi seorang penulis lagu handal walau hanya untuk kunikmati sendiri. Begitu besar cinta untuknya hingga aku menikmati kesendirian ini, terlalu senang berpura-pura dihadapannya. Terbelenggu dalam status yang tak akan pernah ada kemajuan. Tetaplah sahabat. Tak menginginkan lebih dirinya menjadi milikku seutuhnya. Yang aku ingin, dia menikmati indahnya hidup dengan cinta yang sebenarnya. Bukan cinta yang begitu menyakitkan.

Bohong! Aku pembual besar bila mengatakan aku tak menginginkannya. Cinta yang sudah bercampur dengan darahku tak mungkin bila aku tak menginginkannya. Hanya saja aku selalu menjadi pihak yang tersakiti. Kalau dipikir-pikir, dia lebih bodoh dariku. Terbelit cinta kepada kakaknya sendiri. Tapi siapa yang lebih tersakiti disini? Entahlah, aku merasa lebih tersakiti daripada siapapun orang didunia. Aku terlihat begitu picik ketika memaksakan pikiranku untuk mendapatkannya seutuhnya. Apa aku salah? Rasanya ingin kukeluarkan Jehoon dalam jerat hukumnya sendiri. Tapi aku terlalu takut akan penolakannya. Terlalu menyakitkan, dan aku belum siap untuk itu.

Jehoon…

Hari demi hari terus berlanjut tanpa jeda walau hanya sedetik. Tentu saja dengan semua e-mail yang masuk setiap harinya. Tanpa terasa aku mulai mengaguminya. Mengagumi larik indah yang diciptakannya. Konyol memang, tapi itu yang kurasa. Setiap syair yang diciptakannya mampu membuatku tertegun. Kata-kata yang indah, meyentuh dan menuntunku kesebuah cahaya. Tidak ada lagi kata-kata yang memojokkan ku, menegur, dan menyindirku walau secara halus seperti waktu itu.

Setiap bait yang dibuatnya seperti kata-kata ajaib yang mampu menghipotisku. Menguapkan segala kesepian dan kesedihan yang selama ini ku rasa walau hanya sedetik saja. Menyalurkan sengatan listrik kedalam aliran darahku yang membuatku kembali merasakan sepercik kesenangan dan harapan. Aku benar-benar mengaguminya. Ingin mengenalnya lebih jauh lagi, dan memaksanya membuatkan syair indah lagi setiap harinya tanpa henti untukku.

Dengan kesenangan yang meluap-luap ini tak bisa kubiarkan diriku tetap tinggal diapartemen, hanya ingin meyalurkan kebahagiaanku dipagi ini. Bahagia? Iya, detik-detik pertama aku membuka mata lagi yang kubutuhkan adalah smartphone-ku. Memilah-milih berbagai message yang terakhir kali masuk ke e-mail ku. Tatapanku terhenti dan membuka message yang kutunggu-tunggu dari malam. Dan disitulah, bait-bait terindah yang kubaca pagi ini. Senandung lagu tanpa instrumen.

Dengan langkah gontai, dan senyum tipis dibibirku menemani perjalanan ini.  Walau matahari sudah menunjukkan sinarnya tapi jalan raya di Kota Seoul masih sedikit lengang dari biasanya. Masih terlalu pagi untuk melakukan aktifitas. Menghirup dalam-dalam udara sejuk yang belum tercemar berbagai polusi. Menikmati sensasi udara dalam dada, aku merindukannya. Rasanya sudah lama tidak merasakan sesuatu  yang nikmat seperti ini. Aku melangkahkan kaki kedalam gedung apartemen seseorang yang kurindukan. Aku rindu semuanya, berdiri didepan pintu apartemen bernomor 0302 yang dulu hampir menjadi rutinitasku setiap hari. Dengan tangan bergetar kupencet sederet angka password, dan.. pintu terbuka. Tak kusangka dia masih menggunakan password lamanya.

Ruangan kosong, sedikit berantakan dengan beberapa lembar kertas tergeletak sembarangan, dan cucian piring kotor yang menumpuk. Kuketuk pintu kamar utama 3 kali. Tidak ada jawaban. Dengan sangat hati-hati kuputar kenop pintu, dan disanalah dia. Meringkuk dengan mata terpejam diatas ranjang dan dibalut springbed berwarna senada dengan sprei-nya. Kamarnya juga sedikit berantakan, buku-buku berbagai warna berserakan diatas ranjang dibalik punggung milik namja itu.

Aku duduk dipinggir ranjang menghadap kearahnya. Rambut coklat gelapnya berantakan membuat kesan seksi si pemilik rambut, wajahnya, kulitnya, semuanya tidak ada yang berubah. Jariku menyisir sedikit poni yang berantakan didahinya. Mengingatkanku akan kejadian waktu kecil ketika dia jatuh tersungkur dan kakinya terkilir. Namja kecil itu menangis dan memelukku, seolah aku ini seorang Noona yang bisa melindunginya. Faktanya, aku 2 tahun dibawah namja itu. Aku tersenyum lagi untuk kesekian kalinya pagi ini. Lalu menyentuh bahunya seringan mungkin dan sedikit menggoyangkannya.

“Ya! Ireona (bangun). Sudah siang, ayo bangun..” Tak ada jawaban. Ku tepuk sedikit lebih kencang pipinya.

“Cho Kyuhyun, ayo bangun!” Dialah Cho Kyuhyun, yang sudah lama tak kulihat wajahnya, sahabat terbaikku. Dengan kesal ia menutup telinganya dengan bantal.

Shut up! Ini masih pagi.” Jawabnya dengan mata yang masih tertutup. Nadanya sedikit ketus, mungkin karena kedatanganku mengganggu jatah tidurnya.

 

Kyuhyun…

Kau lihat sendirikan betapa gilanya aku sekarang. Bahkan aku memimpikannya lagi pagi ini, mungkin karena sebelum tidur aku selalu memikirkannya, dan dia malah muncul dimimpiku. Masuk kedalam apartemenku tanpa izin, meneriaki namaku, dan menarik selimut yang sedang kugunakan secara paksa. Ah, yeoja bodoh. Dari dulu selalu saja melakukan sesuatu seenak hatinya. Tapi efek yang kurasakan dari mimpi ini benar nyata apa adanya, dia menarik paksa selimut yang melilit tubuhku hingga aku terjungkal jatuh hingga dahiku menyentuh lantai. Rasa sakit seketika memang benar aku rasakan, menyadarkanku bahwa ini bukanlah mimpi. Dan tawanya. Dia tertawa melihatku meringis kesakitan sambil mengusap dahi yang sakit.

Mataku beku melihat satu titik, wajahnya dengan tawa yang menggema. Dengan susah payah menahan tawa ia merebahkan badannya diatas ranjangku. Menyingkirkan beberapa buku yang tergeletak diatas ranjang. Aku kembali merentangkan badan diatas kasur. Niatnya ingin melanjutkan tidur yang tertunda. Tapi mataku membulat melihat apa yang Jehoon genggam.

Jehoon menggenggam beberapa foto, foto yang terselip dibuku yang tadi ia singkirkan dari kasur. Tiga foto dengan obyek yang sama, aku, Jehoon, Donghae, dan juga Jungsoo sedang berada dipantai 2 tahun silam. Dia terdiam, wajahnya sedikit tegang. Tapi wajahnya kembali melembut ketika Jehoon menoleh kearahku yang sedang terpaku menatap wajahnya.  Dia tersenyum manis kearahku, kini aku seperti orang idiot menatapnya tanpa membalas senyumannya.

“Kau tidak tidur lagi Kyu? Mianhae (maaf), membangunkan mu pagi-pagi.” Suara lembutnya menenangkan. Sekarang aku yang kelimpungan mencari kosa kata yang hilang mendadak ketika hendak menjawabnya.

Ne. Eh, maksudku tidak, aku tidak mengantuk lagi.” Jawabku sekenanya, masih mengamati wajahnya.

“Waeyo? Something wrong with me? Kenapa kau melihatku seperti itu, Kyu?” Nadanya senewen melihatku menatapnya terus menerus.

Aniyo. Ada apa kau kemari?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dia hanya menatap langit kamarku, dan menggedikkan bahunya untuk menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi dia tersenyum kecil.

Park Jehoon, dia disebelahku saat ini. Kau ingin mengetahui pendapatku tentangnya? Ia berubah, walau hanya sedikit tapi tetap mencolok dimataku. Aku senang sekali ketika membuka mata dan wajahnya lah yang pertama kulihat. Tapi, ada yang mengganjal saat aku melihat kedalam mata Jehoon. Sesuatu yang dulu tak ada, tapi sekarang terukir sempurna dimatanya yang hitam pekat. Mata hitamnya memang masih terlihat indah, tapi bola matanya bagaikan jurang yang bila kau melihat begitu dalam ke matanya maka kau akan terjerumus kedalam jurang itu. Seperti itulah dirinya kini dimataku.

Mengingat tatapannya, mampu memecah keheninganku yang di tunjukkannya tanpa uraian kata. Jurang itu muncul lagi, terbentang luas dibola matanya yang pekat. Apa aku bisa menutup jurang kepedihan itu? Dan menggantinya dengan lautan kedamaian?

“Kyu, sepertinya aku punya penggemar rahasia.” Dengan wajah polos ia membuat pernyataan seperti itu. Membuatku tertawa kencang karena percaya dirinya kelewat batas.

“Apa maksudmu? Percaya diri sekali kau.” Masih berusaha menahan tawa kuamati wajah seriusnya.

“Kau jangan menertawakan ku. Menurut mu kenapa dia tidak mau memberitahuku identitasnya ya?”

“Oh, aku tahu, mungkin karena dia malu bila orang-orang tahu bahwa dia adalah penggemar mu. Jadi dia memutuskan untuk menjadi penggemar rahasiamu.”

“Ck! Kau ini. Aku serius ingin curhat dengan mu. Listen to me!” Jehoon berdecak kesal sambil menelungkupkan badannya persis disampingku, hingga wajahnya terlihat jelas dalam jangkauan mataku.

“Ye, cepat katakan.”

“Beberapa hari ini ada yang mengirimku message. Kau tahu, aku menyukai syair ciptaannya. Begitu indah.” Ucapnya sambil tersenyum seperti remaja yang sedang kasmaran.

“Kau menyukai orang itu?” Cecarku.

“Entahlah, aku hanya mengaguminya saja. Dia itu seperti mu, Kyu. Sangat pintar membuat kata-kata yang indah.”

“Benarkah? Tapi pasti tidak sebagus dibanding dengan ciptaanku, kan?”

“Kali ini harus kuakui dia lebih jago dibanding kau.” Jehoon mengerucutkan bibirnya sambil memandangku sekilas.

“Tidak mungkin. Kau menyukainya, kan?”

“Tidak. Hanya mengagumi, lagipula aku tidak tahu orang itu, namanya saja aku tidak tahu. Mana mungkin aku menyukainya.” Jawabnya masih dengan senyum kecilnya.

“Pasti kau menyukainya. Lihat saja, wajahmu berseri-seri seperti remaja yang jatuh cinta, Jehoon-ah.”

Jeongmalyo? (benarkah?) Haha, entahlah, tapi tidak mungkin aku menyukainya.” Secara tak langsung Jehoon menyatakan bahwa ia menyukai namja itukan? Dia tidak tahu perasaannya sendiri. Didalam hatiku, aku cukup senang, dia menyukainya. Walau aku sendiri sangat mengetahui siapa sebenarnya namja penggemar rahasianya itu.

Beberapa saat hanya ada keheningan. Dari raut wajahnya sepertinya dia juga sedang berpikir keras. Tiba-tiba ia berdiri menuju meja kantorku yang ada diseberang ranjang.

“Kau tidur saja Kyu, aku akan menunggu mu bangun. Aku pinjam laptop-mu ya, pulsaku habis.” Aku hanya berdeham kecil mengiyakan pertanyaannya. Tanpa menutup mata aku mengikuti gerak-geriknya sekecil apapun. Jehoon membuka beberapa website terkenal, aku melihatnya membuka e-mail. Mataku kembali terpejam, aku ingin tertidur sebentar walau hanya 15 menit saja.

“Kyu..” Suaranya begitu pelan hingga nyaris aku tak bisa mendengarnya.

“Kyu, e-mail mu..” Kalimatnya terhenti. Mataku membelalak lebar seperti ada yang membunyikan alarm tanda bahaya ditelingaku. Ini memang bahaya, aku belum me-log out e-mailku semalam karena terlalu lelah. Dengan sigap aku bangkit dan menutup laptop, gerakanku sedikit kasar hingga ia terpaku menatap laptop dihadapannya.

“Kyu, neorogu? (itu kau?)” Tanyanya tanpa mengalihkan tatapan dari laptop yang sudah tertutup.

“Aku.. aku bisa..”

“Jawab aku! It’s you, right?” Kini matanya berkaca-kaca menatap tajam kearahku. Kakiku lemas seketika melihat tatapannya.

Ne..” Jawabku pelan, sambil menunduk menatap matanya.

“Penggemar rahasiaku, yang menyatakan cinta dulu, syair indah itu. Itu kau?” Nadanya naik 2 oktaf pada kalimat terakhir. Air mataya jatuh. Aku hanya mengangguk kecil mengiyakan. Dengan kasar Jehoon bangkit keluar kamar. Aku masih bergeming. Lalu dengan langkah lebar aku menyusulnya dan menahan tangannya kuat sebelum Jehoon keluar apartemen.

“Aku menyayangimu.” Aku berhasil mengeluarkan kalimat itu secara langsung, membuatku merasa melepas beban yang selama ini menimpaku. Jehoon menghentakkan kasar lenganku hingga terlepas. Dia berlari menutup mulutnya dengan tangan, aku tahu ia menangis, karena aku. Kubiarkan dia pergi, mungkin setelah ini dia akan benci padaku? Entahlah, aku hanya memandangnya pergi dengan nanar.

Jehoon..

Kubiarkan tatapan aneh orang-orang yang kutubruk. Aku tidak peduli sekarang, yang penting aku bisa dengan cepat keluar dari gedung ini. Pagi yang indah dengan cepat berganti menjadi pagi yang membuatku shock setengah mati. Kulangkahkan kaki kepinggir Sungai Han dengan air mata yang masih mengalir. Aku kecewa, Kyuhyun sahabat terbaikku. Menyimpan perasaan sedalam itu padaku. Aku tidak menyesal telah bersahabat dengannya selama bertahun-tahun,  tapi kejadian itu benar-benar bukan yang kuharapkan.

Baru saja aku bercerita tentang penggemar rahasiaku, yang selama ini aku kagumi. Bercerita kepada orang yang salah. Seperti keluar kandang singa, masuk kandang buaya. Aku mencurahkan hatiku tentang si penggemar rahasia kepada penggemar rahasia itu sendiri. Bodohnya aku tidak menyadari kemiripan diantara mereka. Si penggemar rahasia pernah berkata bahwa dia adalah seseorang yang aku kenal, seseorang yang mengenal kehidupanku hampir  sama seperti aku memahami hidupku sendiri. Siapa lagi, Kyu memang memang mengenal kehidupanku dan juga sebaliknya. Dan aku pernah berkata, Kyu dan penggemarku itu memiliki bakat yang sama, mampu menciptakan larik-larik indah yang menyentuh hati. Siapa lagi orang yang aku kenal memiliki kemampuan yang sama dengan Kyu? Tapi pikiranku sama sekali tidak tertuju kalau itu adalah Kyuhyun. Begitu bodohnya aku.

Dulu Kyu memang sering mengirimku surat ketika aku duduk dibangku Junior High School, ketika aku marah besar kepadanya karena suatu alasan yang aku tak ingat, setiap hari ia menaruh surat berisi bait yang sama indahnya didalam lokerku. Hingga membuatku luluh dan mau tak  mau aku memaafkannya. Tak disangka, kejadian ini terulang lagi.

Apa benar aku menyukainya? Berawal dari rasa kagum akan larik yang dibuatnya untukku. Tapi tidak masuk akal, waktu itu aku tidak tahu bagaimana rupa penggemarku. Wajahmu berseri-seri seperti remaja yang jatuh cinta, Jehoon-ah. Kata-katanya kembali terngiang dalam otakku. Bahkan ini lebih mengerikan, wajahku menunjukkan kalau aku bukan hanya menyukainya saja, tapi juga mencintainya. Benarkah seperti itu?

***

Aku tak tahu kemana langkah kaki ini pergi. Sekarang jalan raya sudah ramai, tidak seperti tadi, masih terlalu pagi untuk melancarkan segala macam aktifitas. Kuputuskan untuk menikmati Coffe dan Muffin di Jeon Coffee dekat stasiun Anguk. Cukup lama berperang dengan pikiranku sendiri, akan kudedikasikan penuh hari ini untuk menghibur diri berkeliling Kota Seoul. Sesuatu yang pernah aku lakukan bersama Oppa-ku. Kutarik napas dalam dan menghembuskannya dengan berat. Dada ini sesak lagi saat menyebut namanya.

Dengan pasti kulangkahkan kaki menuju stasiun untuk menaiki Saemul ke stasiun Myeongdong. Setelah beberapa pemberhentian, dengan sigap melangkahkan kaki ke bukit Namsan, dipuncak bukit ada Namsan Tower. Itulah tujuan utama ku, dengan menggunakan kereta gantung kulihat segala macam keindahan ciptaan Tuhan. Kuedarkan pandangan mata keseluruh pelosok yang mampu ditangkap retina mataku. Masih teringat jelas ingatanku beberapa bulan yang lalu saat terakhir kesini. Semuanya masih sama, yang membedakan dahulu aku tidak sendiri. Jungsoo Oppa menemaniku menikmati seluruh Kota Seoul dengan gedung-gedungnya yang mencakar langit, pepohonan yang menjulang tinggi, semua aktifitas makhluk hidup yang terlihat kerdil dari atas sini.

Semuanya ku ingat, t-shirt putih polos dibalut sweater hitam, celana jeans beggy, sneakers bertuliskan huruf ‘N’ kesayangannya, jam tangan  putih dan gelang dipergelangan tangan kanan dan kirinya. Seluruhnya tak terkecuali tawanya. Menyenangkan mendengar tawa renyahnya, suaranya, melihat setiap gerakan tubuhnya, ekspresi wajahnya yang terpahat sangat sempurna diotakku. Sayang, itu hanya sementara. Tidak ada yang abadi. Yang abadi adalah sosoknya dihati setiap orang yang dikasihinya. Aku memang bisa hidup tanpanya, tapi bisa kau lihat sendiri betapa suram hidupku belakangan ini.

Begitu larut hingga hari mulai gelap. Sama sekali tak berselera kembali ke apartemen walau kantuk dan lelah menyerang. Baiklah, akan kunikmati denyut kehidupan malam Kota Seoul seorang diri. Pergi ke Hongdae untuk melepaskan kantuk yang kuderita dengan menikmati hiburan dan kehidupan malam kaum muda disana. Banyak para pecinta musik berhuyung-huyung datang hanya untuk meresapi setiap lirik lagu yang dibawakan band-band indie yang unik dan berbakat. Inilah yang aku cari, keramaian ditengah kota, bukan kesendirian yang selama ini menguntitku.

Langkah ku berhenti melihat pub yang menarik perhatianku diantara pub-pub lainnya. Wolhyang, sudah tak asing dengan namanya karena para chingu-ku sering membicarakan pub di Hongdae ini. Rasa penasaran semakin dominan mengalahkan lelah. Kulangkahkan kaki masuk, disambut ramah namja paruh baya.

Eoseo oseyo, Agasshi.. (Selamat datang)” Sapanya ramah sambil menyodorkan menu saat aku sudah duduk didekat kaca menghadap jalan raya. Tanpa berpikir panjang aku memesan minuman yang menarik perhatianku diantara menu-menu lainnya.

Tak bosan menunggu pesanan datang karena musik yang menggema dengan volume tak kecil menemaniku, namja paruh baya kembali dengan senampan botol disertai gelas kecil disampingnya. Ini dia, makgeolli. Minuman dari campuran susu dengan anggur putih atau soju. Sengaja aku memesan makgeolli karena pub ini terkenal akan makgeolli dengan berbagai rasa, seperti apel, persik, jeruk, tomat, bahkan madu yang hanya menghabiskan uang 4000 won saja. Aku tak pernah meminum soju atau semacamnya sebelum ini. Tanpa berpikir panjang segera kuteguk gelas pertama makgeolli-ku. Biasa saja, tak ada efek apapun. Ku teguk lagi gelas ke-dua. Rasanya menyenangkan, walau sedikit ada rasa getir dilidah. Mungkin lidahku saja yang belum bisa menyesuaikan. Dan gelas ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya memasuki tenggorokanku sempurna.

Kyuhyun…

Dari pagi saat ia pulang dengan marah sampai sekarang tak ada 1 pun message atau telefon-ku yang dipedulikannya. Apartemennya pun sepertinya kosong, bayangkan aku menunggunya 2 jam lebih disana. Tapi harus kutelan rasa kecewaku bulat-bulat tak mendapati Jehoon diapartemennya. Sudah pukul 2 malam dan dia belum kunjung pulang juga. Kuputuskan kembali ke apartemen, mungkin dia menginap disalah satu rumah chingu-nya.

Baru saja merasakan kenikmatan duniawi diranjang, iPhone-ku bergetar. Nama ‘Lee Dongahe’ tertera dilayar.

Yeoboseo (Halo). Donghae..”

***

Sesampainya di apartemenku sambil membopong Jehoon menuju kamarku dia tak henti-hentinya bersenandung, bergumam sendiri tak jelas, menggerakkan tangannya keatas dan kebawah. Kesadarannya masih setengah, atau bahkan hanya seperempat saja akibat soju yang berlebihan. Aku mengamati wajahnya yang tertidur dalam mabuk diatas ranjang, wajahnya memang cantik, tapi siapa yang sangka yeoja cantik menyimpan begitu dalam luka yang terpahat. Menyedihkan.

Aku duduk dipinggir ranjangku sendiri menghadap Jehoon,

“Bisakah aku menyalakan lagi sinar dimatamu, Jehoon-ah? Bukan hanya Jungsoo yang bisa, kuyakin akupun bisa.” Gumamku sendiri, menelusuri tiap lekuk wajahnya tak henti-henti dengan tanganku.

“Kenapa kau bisa begitu bodoh Jehoon-ah, mencintai namdongsaeng-mu sendiri?” Suaraku melembut, dan kaget saat Jehoon membuka matanya perlahan, hanya seperempat detik dan matanya kembali terpejam.

“Dimana kau? Yang berbicara denganku. Aku tidak melihatmu.” Katanya sambil meluruskan kedua tangannya kedepan berusaha menggapai, entah apa. Tetap sambil memejamkan matanya, suaranya terhuyung-huyung, kosa katanya kacau seperti balita yang baru bisa bicara. Lagi-lagi aku terkekeh akan sikapnya.

“Heh, aku disini babo!” Jawabku lembut walau menggunakan tanda seru sambil menggenggam dan menuntun tangannya agar menyentuh kedua sisi wajahku.

“Asal  kau tahu, dia yang bodoh karena mencintaiku.” Jehoon melemaskan tangannya hingga terjatuh dikedua sisi badan. Dia tertawa sambil menjawab pertanyaanku. Bodoh, apa ada yang lucu?

“Tapi kau juga mencintainya, kan?” Suaraku terdengar sangat terluka, seharusnya aku tak tanyakan itu pada orang mabuk yang jelas-jelas sudah berada diambang kesadaran.

Bingo! Hahaha.” Satu kata yang membuat hatiku serasa terinjak ribuan gajah. Jehoon kembali bersenandung, sambil memainkan tangannya kesana kemari, tapi suaranya semakin lemah.

Waeyo, Jehoon-ah? Padahal dulu kau tahu aku sangat mencintaimu.” Suaraku seperti hembusan angin, begitu rapuh.

“Memang kenapa? Dia bukan kakak kandungku, apa aku salah mencintainya?” Suaranya tak kalah pelan, bukan rapuh melainkan sudah hampir tak sadar efek soju yang diminum.

Otakku berusaha mencerna kata-katanya. Mereka bukan saudara kandung? Sesang-e jeongmal? Atau Jehoon sedang mabuk jadi bicaranya ngelantur? Akh! Kepalaku seperti tertimpa batu sebesar gunung Jiri. Jadi selama ini? Sudah bertahun-tahun aku menjadi chinan chingu (teman baik) mereka tapi baru mengetahui ini sekarang. Ini konyol! Apa benar? Atau aku saja yang terlalu bodoh melihat kedekatan mereka layaknya seorang kakak beradik biasa yang saling menyayangi? Tapi kedekatan mereka memang tidak wajar. Sudah jelas jawabannya didepan mata.

Berjuta tanda tanya besar menghinggap dikepala, kini wajahnya begitu damai dalam tidur. Begitu polos, dengan semburat merah disekitar pipinya, dan senyum nyaris tak kentara. Inilah yeoja yang selama ini dilindungi mati-matian oleh sahabat terbaikku. Apa yang harus kulakukan, Jungsoo? Bagaimana bila perasaan yang selama ini mati-matian ku tenggelamkan namun muncul lagi dipermukaan? Apa aku akan mampu menenggelamkannya lagi?

Saranghae..” Ucapku lirih. Suara tulus yang berasal dari pusat hati terdalam.

“Nado saranghae, Oppa.” Suaranya nyaris tak terdengar. Lagi-lagi hatiku seperti terinjak jutaan gajah, dan tertimpa jutaan batu sebesar Gunung Jiri secara bersamaan. Dia menyebutku Oppa, sebutan hanya untuk Jungsoo seorang.

“Aku mencintaimu sebagai Kyuhyun, bukan Oppa-mu.” Semakin terluka saja bila aku disini. Aku mengecup lembut puncak kepalanya, meninggalkan Jehoon dalam kamar dan menghubungi seseorang yang jauh dari penglihatanku.

“Yeoboseo, Donghae…”

***

Jehoon…

Dengan paksa kubuka mata ketika seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku keras. Arrg! Pening yang kurasa sudah melebihi batas sewajarnya. Ingin rasanya ku makan hidup-hidup makhluk yang membangunkanku sekarang. Tapi niat itu ku urungkan ketika menyadari siapa yang membangunkanku. Hampir seluruh pening yang kurasa pergi seketika karena makhluk dihadapan ku.

“LEE DONGHAE!!” Pekikku keras.

“Omo! Cempreng sekali suara mu.” Dengan sigap ia menutup kedua telinganya. Lee Donghae? Bukan kaget karena ia sudah ada di Seoul, tapi karena ia berada dikamar pribadiku. Dia adalah sahabat terbaikku selain Kyuhyun. Dia tinggal di Eropa beberapa tahun terakhir. Tapi sekarang ia sudah berada dihadapanku.

“Kenapa kau ada disini? Cepar keluar dari kamarku Lee Donghae!” Aku teriak sejadinya, mendorong keras badannya hingga ia hampir terjerembap kelantai.

“Kau tidak lihat? Ini kamar Kyu! Harusnya kau yang pergi dari sini.” Donghae menghajar wajahku dengan guling, gerakannya sangat cepat hingga aku tidak bisa mempersiapan tameng untuk melindungiku.

“Kau mengusirku dari kamarku sendiri? Dasar tidak tahu diri.”

“Buka matamu lebar-lebar Jehoon-ah.”

Ah, aku yang tidak tahu diri, betapa malunya aku. Saat hendak menyerangnya balik aku menyadari sekarang, ini bukan kamarku. Wajahnya menatap wajahku girang bukan main membuatku mati kutu dihadapannya.

“Cepat mandi, aku sudah lapar.” Katanya sambil menarik lenganku agar terbangun dari ranjang empuk yang ternyata milik Kyuhyun. Tentu saja aku langsung bergegas mandi, tak ingin menderita dihadapannya menahan malu.

Donghae sudah menungguku di meja makan, tanpa sang pemilik apartemen. Dalam diam aku menghabiskan sarapan.

“Park Jehoon, kau kenapa? Tidak senang aku kembali?” Tanya Donghae membuyarkan lamunanku.

“B-bukan begitu.” Sejujurnya aku sedang mengingat apa yang terjadi semalam. Imajinasiku berkata semalam Jungsoo datang dan mengatakan ‘Saranghae’ kepadaku, dan aku menjawabnya dengan sepenuh hati bahwa aku juga mencintainya. Sesudah bahkan sebelumnya aku tidak ingat sama sekali. Aku merasa deja vu saat mendengar kata saranghae dari bibir Jungsoo. Aku sangat merindukannya.

“Kalau begitu kenapa kau tak menyambutku dengan pelukan?”

“Kau mengharapkannya? Baiklah. Selamat datang lagi di Seoul.” Senang aku melihatnya lagi, memeluknya seperti dulu, sesuatu yang sering kulakukan, tentunya pelukan persahabatan. Melihatnya aku teringat kejadian terakhir dengan Kyuhyun diapartemen ini. Tapi Kyuhyun tidak terlihat, bahkan bingkai foto yang bertengger diatas meja dikamarnya sudah tidak ada. Kuberanikan diri membuka lemari miliknya. Nihil, pakaiannya pun tidak ada. Apa dia pergi tanpa pamit?

“Hae-ya. Kau lihat Kyuhyun?” Dengan hati-hati aku bertanya padanya. Pasalnya ini apartemen Kyu, tapi sang pemilik tidak menunjukkan batang hidungnya.

“Memangnya dia tidak memberitahumu?” Aku mengerutkan kening sambil menggeleng.

“Aku mengantarnya ke bandara pagi-pagi sekali. Dia diterima disalah satu sekolah musik di Amerika, mungkin pesawatnya berangkat 15 menit lagi. Benarkah dia tidak memberitahu mu?” kerutan dikeningku semakin dalam, dia sama sekali tidak memberitahuku tentang kepergiannya. Jadi, kemarin adalah pertemuan terakhirku?

Kyuhyun pergi, tentu saja tidak ada yang mengirimku syair indah lagi. Aku tidak membencinya karena dia tidak mau jujur padaku, tapi kemarin aku begitu kaget mendengarnya. Tak tahu bagaimana sikapku yang canggung bila berdekatan dengannya lagi nanti. Aku tidak bisa lagi semena-mena dengannya, mengganggunya saat masih tertidur.

Aku masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Menahan isakan tangis yang bisa pecah kapan saja. Bahkan hingga sekarang aku mengharapkan penggemarku tidak pergi jauh dari sisiku, tetap mengawasiku, mengirimkan bait indah, dan yang terpenting tetaplah mencintaiku.

Cho Kyuhyun, sahabat dan penggemar rahasiaku. Berhasil membuatku mengagumi karya indahmu, membuatku gelisah dengan menunggu terlalu lama kiriman bait-bait ciptaan mu, dan membuatku seperti remaja kasmaran lagi, setidaknya begitulah yang Kyuhyun katakan padaku. Apa secepat itu aku melepas semuanya? Melepas sesuatu yang aku butuhkan, seperti kokain yang berhasil membuatku ketagihan akan kehadirannya.

15 menit lagi pesawatnya lepas landas, aku tersadar aku membuang waktu disini. Bila aku masih ada waktu bertemu dengannya kenapa harus kubuang waktu berharga itu?

“Donghae-ya, aku pinjam mobilmu ya.”

“Kau mau kemana? Aku akan ikut denganmu.”

“Tidak usah, aku ingin ke bandara. Masih ada waktu lagi kan?” Setelah mendapat anggukan darinya dengan cepat kulangkahkan kaki ke basement tempat mobilnya diparkir.

Tuhan, tolong aku. Tolong aku sekali ini saja.  Aku ingin melihatnya.

***

Dengan susah payah aku mengatur napas, menarik napas dalam dan membuangnya lagi. Dengan lemas kulangkahkan kaki keluar bandara, aku terlambat. Benar-benar bodoh, aku sampai dibandara dan saat itu juga pesawat lepas landas. Sangat miris memang. Bendungan air mataku jebol lagi, mengeluarkan segala rasa menyesal, dan tak henti-hentiya mengumpat meluapkan kekesalan. Tubuhku merosot dibalik pintu apartemen. Dan saat itu juga Donghae menghampiri, memelukku, aku hanya bisa meredam isakanku didadanya. Isakanku semakin menjadi ketika dia mengelus puncak kepalaku.

“Jehoon-ah, jangan menangis. Pasti ada jalan lain untuk bertemu lagi dengannya.”

“Seperti apa? Aku menyesal Donghae-ya, aku marah besar kepadanya kemarin, dan dia pergi sebelum aku meminta maaf, Hae-ya. Aku menyesal.” Aku berteriak disela tangisan.

“Kubilang jangan menangis. Lihat ini.” Ia melepaskan pelukanku. Dia menyodorkan 2 lembar kertas yang tak jelas terlihat karena air mata menutupiku.

“Ini tiket pesawat. Kita bisa menyusulnya besok.”

“Kau.. Bagaimana kau bisa tahu?” Suaraku tercekat.

“Kyuhyun sudah menceritakan semuanya padaku saat kau mabuk. Aku melihatmu di Hongdae, dan menyuruh Kyuhyun menjemputmu. Aku tahu akan seperti ini jadinya, aku sengaja membeli 2 tiket untuk mengantarmu menyusulnya.”

Jeongmalyo? Kau memang sahabat terbaikku, Hae-ya.” Aku memeluknya erat. Tak bisa kupikirkan bagaimana esok aku akan pergi menyusul Kyuhyun.

“Berjanjilah padaku. Tatalah hidupmu lebih baik disana Hoon-ah. Kau bisa tinggal dengan Appamu dan masih bisa bertemu dengan Kyu lagi.”

Aku janji, akan menata hidupku disana Hae-ya. Menata lebih baik dengan sang penggemar-rahasiaku. J

***

I don’t know why you keep staying with me, my secret-fan

tto nan nege neomu mojaraseo mianhae (and I’m sorry that I lack so much for you)

geujeo mideobwa, naega naega jalhalge (just believe me, I will be better)

***

Jungsoo Oppa, neul gomapgo saranghanda (I always thank you and love you)

 

 

-THE END-

Comment's Box