[Eunhyuk’s Day] In Despair

by slovesw

special present for Lee Hyukjae

.

Mengesampingkan tiket pesawat Hyukjae jelas bukan perkara mudah.

Tiket-tiket itu masih terselip di dompetku selagi Hyukjae membuka karton rotinya di jalan khusus pedestrian. Kami baru saja keluar dari Levain Bakery, memesan beberapa bomboloncini kesukaannya juga Rustic Fruit Tart-ku. Tiba-tiba selera makanku hilang begitu saja; menguap di jalanan Harlem. Korea Selatan akan segera menyambut Hyukjae, dan itu bukan dalam jangka waktu satu-dua hari saja.

“Kautahu, Lils?” Hyukjae bersandar di Peugeot-nya, memamah bomboloncini isi cokelat, “Malcolm Boulevard sedang macet kali ini—di depan Apollo Theatre, kita harus memutar lewat Fifth Ave. Kau keberatan?”

Aku mengangguk, “Aku selalu keberatan tentang apapun, Lee.”

“Bagus,” kata Hyukjae, membuka pintu mobil untukku tanpa melepas karton rotinya, “karena kita akan berjalan-jalan sampai petang nanti.”

Begitu Hyukjae masuk, dia langsung melempar rotinya di dasbor. Hari ini ia berpakaian kasual sekali; kaus oblong dirangkap kemeja denim yang kancingnya dibiarkan terbuka, celana Levi’s dan Yankee cap terbalik yang menutupi potongan rambut barunya.

Rambut barunya; semakin memperburuk suasana.

Hyukjae enggan memasang kunci mobil, entah karena alasan apa. Dia malah duduk bersandar di joknya yang sudah tua, membuang napas berulang kali dan peluh-peluh itu terus membanjiri pelipisnya. Aku tak begitu memperhatikan.

“Lil?”

Aku mendongak; Hyukjae mencegahku membuka karton roti. Aku membuka dompet, dan satu tiket keberangkatan ke Korea Selatan petang nanti keluar dari sana. Rasanya menyebalkan sekali, dan juga sedikit… ugh, bagaimana menyebutkannya?

“Tiketmu,” aku mengangsurkan kepadanya, “kau pasti tidak akan suka kalau kau sudah sampai airport dan harus ketinggalan pesawat.”

Ia mengerling, lalu menerima, “Ugh, aku sebenarnya berharap agar bisa tinggal saja.”

“Bullshit.”

Kami tertawa.

“Serius, Lil,” Hyukjae menyambung, “rasanya aneh, kalau aku harus kembali ke sana. Maksudku—well, ya, itu tempat tinggalku. Tapi rasanya berbeda saja, saat aku harus ke sana, tanpamu.”

Aku merenungi kalimat itu. Hyukjae mengetuk-ketuk roda kemudinya, menungguku menjawab. Aku bisa tolol sendiri, kalau begini caranya. Hyukjae, dalam cara tersinting bisa membuatku sedikit merasa, yah, kautahu itu.

Rindu.

Tapi jelas aku tidak akan mengatakannya, bukan?

“Kau sudah hidup di sana sejak lahir hingga remaja,” balasku, “dan tolong hentikan ini, kita semakin menjadi pasangan cengeng saja.”

“But it would never be the same.”

Aku mengangguk, menggampit bibir, “Kau tidak mungkin mengajakku untuk ke sana juga, ‘kan? Aku sibuk.”

“Yah, sampai-sampai kau tidak bisa mengantarkanku ke airport,” sindirnya sarkastis, mulai memasang kunci mobil, “tidak seperti kutipan yang ada di balik notes-mu.”

Kepalaku tertarik menghadap ke arahnya, “Kutipan apa?”

“Jangan pura-pura idiot, Lily,” dia terkekeh, “Airports see more sincere kisses than the wedding halls—“

“And walls of hospitals have heard more prayers than the walls of church,” sambungku, tiba-tiba merasa geli, “kau mengintip bukuku.”

“Dan aku cukup yakin kalau kau benar-benar ingin menciumku di airport, seperti David dan Jade^[1].”

Hyukjae menyeringai, dan aku menarik topi bisbolnya.

“Demi Tuhan, menggelikan,” aku terkikik, melihat bentuk wajahnya yang benar-benar aneh ketika barber mengkikis rambutnya. Ia sekarang menjadi lebih, ya, kharismatik—tapi tetap saja tidak koheren dengan style-nya yang a la Harlem.

“Berhenti menertawakanku, Lils.”

“Lee, kau benar-benar konyol.”

“Yah, dan kau sudah mengatakannya ratusan kali bahkan sebelum aku memangkas rambutku.”

Aku mengangguk, membiarkan Hyukjae untuk mengambil rotinya kembali sambil memanaskan mobil. Pembicaraan kami berhenti untuk beberapa waktu, dan ketika mesin mobil hidup, lagu-lagu Foo Fighters bermain-main dari radio.

Aku tidak ingin membual; berita tentang Hyukjae dan wajib militernya sudah kudengar sejak berbulan-bulan yang lalu. Kami menghabiskan waktu ke beberapa tempat sebelum wajib militernya; Cannes, Ibiza, Yunani. Tidak terasa hari ini sudah tiba.

Jelas aku menolak ajakannya untuk mengantarnya ke bandara. Rasanya lebih baik jika kami tidak berpisah di bandara—lebih baik jika kami berpisah di depan rumahku. Beranggapan bahwa esok hari Hyukjae masih datang ke rumahku dengan mobil Peugeot tua dan lagu dubstep-nya.

Lucu.

“Kau tidak ingin mengatakan sesuatu sebelum aku pergi?” katanya—agak susah dipahami karena ia berbicara sambil menggigit roti. Ia memperbaiki spion dalam.

“Mengatakan apa?” Aku menaikkan kaki ke dasbor.

“Ya, seperti apa yang dikatakan seorang kekasih jika kekasihnya akan pergi.”

Aku menimbang, memutar otak untuk mengatakannya pada Hyukjae. Kami sudah lama tidak bicara seserius ini, seintim ini—jika kau bisa menyebut ini pembicaraan yang intim.

“Jaga diri saja,” ujarku sekenanya, “aku masih ingin melihatmu satu-dua tahun lagi.”

Alisnya naik setingkat, Hyukjae semakin menyudutkanku. “Hanya itu?”

Aku mencebikkan bibir, menimang topinya, lantas memakai, “Tinggalkan saja ini denganku,” kataku.

Hyukjae terdiam, batal menjalankan sedannya. Ia berbalik menghadapku, “Don’t be fool, Lily.”

Hyukjae menyudutkanku; dalam makna sungguhan. Entah siapa yang lebih dulu, aku atau Hyukjae; tapi ketika bibirnya menyentuhku, tanganku sudah terkalung di lehernya. Kami bercumbu satu-dua kali lebih lama, karena tahu bahwa ini terakhir kalinya dalam rentang waktu yang tak sebentar. Semuanya terasa hening; bahkan pekik lagu dari radio rasanya kalah dengan kami berdua.

Aromanya terkecap untuk terakhir kalinya; wangi musk yang sebenarnya nyaman ketika aku memeluknya, kendati aku selalu mengelak ketika dia bertanya.

“I’ve left all my memories here with you, Lil, and all that you want is a cap?”

---

 

[1] Pemain di film Endless Love (2014).

a/n : IYAAAAK BAPER HAHAHAAHA. Kalo boleh jujur aku malah baru tau eunhyuk wamil-nya hari ini eee kirain masih kapan wkw. And…. ini coincidence aja atau apa kok Eunhyuk wamilnya ngepas sama No Bra Day? :””””D

we’ll see you in 2017, Lee Hyukjae!